Ada yang tidak dibahas dalam buku sejarah tentang sisi gelap sejarah Indonesia. Hal ini seolah ingin menyembunyikan sebuah kebenaran dari khalayak publik karena dianggap tidak layak untuk disuguhkan kepada mereka generasi sekarang. Ini berlanjut hingga sekarang!
Saya hanya ingin mengungkapkan bahwa dalam materi sejarah yang disuguhkan di sekolah ada kebenaran yang disembunyikan. Hal ini saya sadari ketika saya kuliah. Saya banyak membaca buku sejarah, tapi banyak sejarah yang tidak dituliskan di buku mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Adagium yang diungkapkan oleh Winston Churcill "History has been written by the victors" bahwa sejarah itu ditulis oleh para pemenang nampaknya benar. Maksud adagium ini bahwa yang menulis sejarah itu yang menang dan sudut pandang sang pemenang ini yang menentukan penulis sejarah tersebut.
Kebenaran dan Hak atas Kebenaran
Seorang filsuf Jerman bernama Martin Heidegger berkata bahwa asal muasal dan inti dari makna kebenaran adalah pengungkapan atau membuka apa yang sebelumnya tersembunyi. Tidak semua yang benar terlihat terang-benderang. Ada juga kebenaran-kebenaran yang tersembunyi, disembunyikan, bahkan dihilangkan, sehingga kita perlu melakukan berbagai cara seperti bertemu dengan banyak orang dan pergi ke banyak tempat untuk menemukan kebenaran.
Hak atas kebenaran adalah hak yang dimiliki oleh semua warga negara tanpa terkecuali. Hal ini otomatis menjadi milik semua orang, sama seperti hak-hak lainnya yang harus dipenuhi oleh negara. Hak kebenaran juga menjadi bagian dari hak korban bersama hak atas keadilan, hak atas reparasi pemulihan dan jaminan bahwa pelanggaran hak takan berulang (Fadila Hana, dkk, 2016).
Hak atas kebenaran tidak hanya dimiliki oleh korban dan keluarga dari kasus-kasus pelanggaran hak yang mereka alami, namun juga wajib dipenuhi oleh negara untuk mencari mereka yang hilang dan mengungkapkan informasi kepada keluarganya. Jangan sampai kebenaran itu disembunyikan, dihilangkan seperti kasus Irjen Ferdy Sambo yang membunuh ajudannya, beberapa pekan lalu.
Pelanggaran HAM tahun 1965
Ketika membahas peristiwa G30 S tahun 1965 selalu diuraikan pada pembunuhan enam jendral dan seolah menanamkan kebencian terhadap partai PKI karena PKI menjadi dalang dalam pembunuhan tersebut. Mungkin orang lain juga pernah merasakan yang sama diposisi ini ketika sekolah, bahwa kita selama ini didoktrin untuk benci terhadap PKI bukan ditanampkan dalam jiwa kita arti sebuah kemanusiaan.
Terlepas siapapun yang menjadi dalang dalam peristiwa tersebut, menurut saya ada hal yang lebih penting untuk diungkap yaitu pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pasca peristiwa 1965 yang di sekolah tidak pernah dibahas. Mengenai pelanggaran HAM tahun 1965-1966 ini salah satunya diuraikan oleh Yosep Tugio Taher dalam bukunya berjudul "Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia". Yang pasti G30S bukan sekedar tentang PKI.
Taher mengungkapkan tentang G30S adalah tentang pembunuhan brutal atas jutaan bangsa Indonesia yang tak berdosa, tentang kekejaman kaum militer terhadap bangsanya sendiri, tentang Soeharto, militer yang dengan licik mengingkari Pancasila. Menurut Taher, Orde Baru mempunyai "versi sejarah" yang sejak 1965 dipaksakan, dijejalkan ke dalam benak para generasi muda dan yang sampai hari ini masih diteruskan oleh sisa-sisa dan penerus orde baru yang masih duduk dim kursi empuk pemerintahan.
"Mereka mencoba untuk mengelabui dan membodohi rakyat dengan berbagai dalih dan cara seperti "membicarakan masalah G30S sebagai tidak produktif," jelas Taher. "Ini berarti nasib lebih dari 3 juta manusia yang dibunuh dengan kejam oleh rezim orde baru tidak perlu dibicarakan. Membicarakannya dianggap sebagai hal yang tidak produktif, tidak ada harga,"Â lanjutnya.
Lebih lanjut Taher mengatakan, lebih parah lagi pemerintah mengizinkan atau memaksakan, hanya satu sejarah G30S yaitu versi orde baru yang menurutnya kebenarannya sangat diragukan, untuk para pelajar dan generasi muda, seperti apa yang dilakukan oleh pemerintah dengan menutup rapat-rapat pintu penyelidikan atas segala kebohongan dan penipuan sejarah yang dilakukan oleh orde baru dengan melarang dan menarik dari peredaran, semua buku yang tidak mencantumkan  PKI di belakang kata G30S. Dan apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini, tidakkah itu berarti menerima, menelan bulat-bulat dan melanjutkan sejarah yang dikarang oleh orde baru yang juga bisa diartikan bahwa pemerintah adalah sesungguhnya penerus dari rezim orde baru.
Taher mengatakan, sejarah adalah milik pemenang. Realitas tersebut terbukti dalam pengungkapan fakta peristiwa G30S selama ini yang merupakan interpretasi sejarah dari penguasa orde baru. Karena sejarah adalah milik pemenang, yang berkuasa hampir 1/3 abad dan yang memaksakan versinya, karenanya, kata Taher; Apakah bisa menjadi jaminan bahwa sejarah yang mereka tulis itu adalah benar? "The winner takes all," kata pribahasa "si pemenang memperoleh segala-galanya!".
Pemenang menciptakan dan mengarang sejarah termasuk sudah barang tentu mlecehkan, menabur fitnah dan kebohongan terhadap mereka yang dilumpuhkan, dikalahkan, serta memutarbalikan segala fakta kebenaran. Untuk generasi muda bangsa Indonesia sekarang, kita punya hak penuh untuk mengetahui sejarah bangsanya, sejarah leluhurnya, pahlawan-pahlawan bangsa. Berhak penuh untuk mengetahui penghianat-penghianat bangsanya, mengetahui sejarah terang dan sejarah kelam, gelap dan hitam dari bangsa dan pemimpinnya.
Dari penulis, tulisan ini tidak maksud apapun. Tulisan ini hanyalah refleksi saya terhadap pembelajaran di sekolah yang menurut saya masih kurang terutama pembahasan pelanggaran HAM sekitar tahun 1965-1966. Pesan saya almarhum Presiden Soekarno pernah mengatakan, dalam menyikapi sejarah bangsa, ambilah abunya! masih ada segumpal api dalam abu dari sisa yang telah terbakar dan hangus. Sementara itu filsuf Prancis George Santayana mengungkapkan orang yang tidak belajar sejarah dikutuk untuk mengulanginya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H