Oleh karena itu, pasca reformasi harus terus dilakukan perbaikan-perbaikan termasuk di bidang pendidikan. Namun, setelah reformasi hingga saat ini pendidikan di Indonesia nampaknya yang menjadi masalah dalam pendidikannya adalah kurikulum sehingga ganti menteri maka kurikulum pun berganti.Â
Lalau kemana arahnnya kurikulum merdeka saat ini? Apakah masih ada muatan politik seperti orde baru atau ada arah lain? Mengenai pertanyaan ini saya akan membahasnya lagi-lagi dengan menggunakan mazhab pendidikan kritis.Â
Liberalisasi Pendidikan
Munculnya gagasan kurikulum merdeka menimbulkan segenap pertanyaan, selain pertanyaan apakah kurikulum kita selama ini terjajah atau tidak, maka pertanyaan berikutnya kemanakah arah pendidikan kita. Kurikulum merdeka menurut saya mengarah pada liberalisasi pendidikan.Â
Kata kurikulum merdeka, berarti awalnya terjajah, setelah tejajah maka merdeka, tapi bagaimana merdeka dalam sebuah pendidikan dan kucninya dimana?Â
Pada titik ini kita masih mempercayai bahwa dasarnya adalah di kurikulum maka kurikulum kita terus berganti contoh Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006, kemudian Kurtilas (2013) dan sekarang kurikulum merdeka (2022). Pendidikan kita mencari arah dan mencoba merelevansikannya dengan perkembangan zaman.Â
Kurikulum KTSP dan Kurtilas merupakan masa transisi pendidikan untuk menentukan arah pendidikan kita, maka munculah gagasan kurikulum merdeka yang saat ini mulai diujicobakan.Â
Jika kita kaji secara kritis perubahan kurikulum memiliki keterkaitan dengan berbagai aspek kehidupan manusia disamping aspek politik, tetapi juga ekonomi. Nah, pendidikan akan menyesuaikan dengan arah perekonomian baik nasional maupun internasional. Pendidikan kita diarahkan pada aspek pasar, hasilnya jelas materialistik. Hal inilah yang kemudian menuju pada proses liberalisasi pendidikan.Â
Artinya sangat jelas, liberalisasi yang menjadi prinsip dasar neoliberalisme tidak hanya berlaku dalam  ekonomi, tapi juga merambah pada bidang pendidikan. Liberalisasi pendidikan dapat kita maknai bahwa institusi pendidikan hanyalah alat untuk memproduksi tenaga kerja.Â
Sehingga pendidikan hanya dijadikan jembatan dalam memenuhi tujuan pragmatisnya. Disadari atau tidak, budaya pragmatis saat ini sudah menjadi budaya masyarakat kita.Â
Hal ini dibuktikan dengan adanya anggapan kuat bahwa sekolah itu identik dengan mencari kerja. Pertimbangan utama orang tua menyekolahkan anaknya adalah agar kelak mendapatkan pekerjaan yang memadai sesuai dengan investasi yang telah ditanamkan di sekolah.Â