Di sini Sukarno tidak menerima secara take for granted teori kebangsaan dari kedua ahli tersebut, tetapi ia juga mengiritiknya. Misalnya, Ernest Renan, seperti yang dikutip Sukarno dalam bukunya, “Pantjasila Dasar Filsafat Negara” mengatakan bangsa adalah kehendak untuk hidup Bersama (Le desir d’etre Ensembel). Sedangkan menurut Otto Bauer, bangsa adalah persatuan karakter dan watak yang tumbuh karena persatuan pengalaman. Kedua teori ini, di mata Sukarno belum sempurna jika persatuan itu tidak dibangun di atas satu wilayah geopolitik yang satu kesatuan, seperti Indonesia.
Fase Perumusan
Gagasan Kebangsaan Sukarno terus diasah dan diinternalisasi menjadi sebuah ideologi yang tertanam kuat dalam jiwa Sukarno. Bahkan di saat ia diasingkan ke Ende, pulau terpencil di Flores, gagasannya tentang kebangsaan terus ia matangkan. Menurut Yudi Latif dalam bukunya “Wawasan Pancasila” (2018: 33) Sukarno di Ende mendapatkan waktu luang untuk merenungkan berbagai pemikiran, termasuk pemikiran kebangsaan. Dari sini ia mantapkan konsepsinya tentang “sosio-nasionalisme” yang terilhami dari pemikiran Mahatma Gandhi, “my nationalism is humanity”.
Terdapat kurang lebih 27 tahun Sukarno menggali dan mengkaji konsep kebangsaan yang dipelopori oleh para pemikir barat dan timur hingga kemudian menemukan titik puncaknya pada 1945. Titik puncak ini digapai ketika fase perumusan Pancasila mulai mengemuka di kalangan tokoh pendiri bangsa.
Fase perumusan Pancasila sendiri mulai dilakukan pada masa pendudukan Jepang. Di mana pemerintah Jepang menjanjikan kemerdekaan Indonesia melalui pembentukan lembaga Dokuritsu Junbi Cusakai atau dikenal BPUPKI yang diketuai oleh Dr. RadjimanWediodiningrat. Lewat BPUPKI inilah Pancasila dirumuskan para pendidiri bangsa dalam sidang 29 Mei hingga 1 Juni 1945.
Dalam sidang BPUPKI tersebut, Sukarno mendapat kesempatan terakhir berpidato, dari 30 tokoh bangsa telah terlebih dahulu menyampaikan gagasannya tentang Dasar Negara Indonesia. Sukarno mengemukakan rumusan Pancasila sebagai Dasar Negara Indonesia pada 1 Juni 1945, yang kemudian menjadi hari kelahiran Pancasila yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Dalam pidato tersebut, Sukarno menyampaikan rancangan dasar negara di hadapan para anggota BPUPKI. Di buku “Lahirja Pantjasila” Sukarno begitu bersemangat mengemukakan pidatonya, bahwa Indonesia yang akan merdeka harus berdiri di atas sebuah dasar negara, yang Sukarno sebut sebagai philosophische grondslag dan weltanchauung. Dan dasar negara itu adalah kebangsaan, yang kemudian Sukarno meletakkannya pada dasar negara yang pertama atau sila pertama. Kebangsaan bagi Sukarno bukan kebangsaan yang masing-masing pulau berdiri sendiri, dan bukan pula chauvinisme, melainkan kebangsaan yang bulat dan satu nationale staat.
Setelah sidang BPUPKI berakhir, dibentuklah Panitia Kecil/Panitia Delapan yang beranggotakan delapan orang dan diketuai oleh Sukarno untuk bertugas menyusun rumusan dasar negara Indonesia. Akan tetapi, di waktu yang hampir sama, tepatnya 22 Juni 1945, Sukarno berinisiatif membentuk Panitia Sembilan, dengan alasan Panitia Delapan tidak seimbang antara golongan nasionalis dengan islamis.
Hasil musyawarah Panitia Sembilan tersebut disepakati rancangan preambul (Piagam Jakarta) yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila tidak sama dengan pidato Sukarno 1 Juni 1945. Selain prinsip kebangsaan mengalami perubahan di dalamnya, juga dasar negara yang menurut Syaiful Arif, sebelumnya bersifat inklusif menjadi eksklusif yang ditandai dengan ditambahkannya “tujuh kata di belakang kata ketuhanan”, yaitu: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Karena perumusan Pancasila bersifat kompromi (konsensus), maka prinsip kebangsaan mengalami beberapa perubahan di dalamnya, di antaranya, urutan dan kata dan makna kebangsaan. Dari segi urutan, Sila Kebangsaan yang tadinya berada pada sila pertama, lalu dipindahkan ke sila ketiga. Sedangkan dari segi perubahan kata dan makna, di sila ketiga, bukan lagi bertuliskan “Kebangsaan Indonesia” tetapi “Persatuan Indonesia”.
Perubahan urutan, bagi Sukarno tidaklah masalah. Hal ini diakui Sukarno dalam bukunya, “Pantjasila Dasar Filsafat Negara” (1958). Namun perubahan “kebangsaan” menjadi “persatuan” sepertinya mereduksi makna kebangsaan yang universal menjadi parsial. Hal ini juga disampaikan Mohammad Hatta dalam bukunya, “Pengertian Pancasila” (1977: 18) mengatakan, “sesungguhnya sila Kebangsaan Indonesia lebih dalam artinya, karena rasa kebangsaan dengan sendirinya meliputi rasa persatuan”. Selain itu, perubahan tersebut juga seakan “melukai” perjuangan Sukarno dalam menggali konsep kebangsaan menjadi dasar negara Indonesia. Meskipun faktanya, Sukarno sendiri menerima rumusan itu, karena sekali lagi, Pancasila menjadi dasar negara dirumuskan secara kompromistik.