Mohon tunggu...
Suardi KacoH
Suardi KacoH Mohon Tunggu... Dosen - Dosen di Universitas Al Asyariah Mandar

menulis biasa-biasa saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebudayaan Islam di Mandar

5 April 2024   18:34 Diperbarui: 5 April 2024   18:39 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda; Islam sebagai agama yang asalnya dari Tuhan, sedangkan kebudayaan sumbernya dari manusia. Ketika Islam diturunkan ke bumi, interaksi antar keduanya tidak bisa dihindari. Sehingga Islam yang sebelumnya suci, kemudian menjadi profan.

Islam tentu tidak akan sempurna sebagai agama jika tidak menjadikan kebudayaan sebagai medium dalam mentransformasi pesan-pesan ketuhanan. Seandainya Tuhan tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran, boleh jadi manusia tak akan tahu seperti apa petunjuk dari Tuhan.         

Karena itu, Islam dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat "intim". Hal itu dapat dilihat pada daerah yang mengalami proses panjang islamisasi, misalnya, di Jawa terdapat Ranggon atau atap Masjid Demak yang Gus Dur menyebutnya sebagai simbol akomodasi Islam dengan budaya Jawa.  

Demikian pula di Mandar, ada banyak jejak-jekak kebudayaan Islam yang terbentuk dari proses Islamisasi yang dilakukan oleh penyebar Islam di daerah ini.

Bermula dari Islamisasi

Islamisasi (bukan arabisasi) di Mandar mulai pada abad 17 M. Penyebar Islam pertama bernama Syaikh Abdurrahim Kamaluddin, ulama utusan Kerajaan Gowa-Tallo. Daerah yang pertama kali dikunjungi adalah Kerajaan Balanipa. Saat itu Kerajaan Balanipa di bawah kekuasaan Kanna I Pattang Daetta Tommuane, Mara'dia (Raja) ke empat Kerajaan Balanipa.

Politik-kekuasaan merupakan metode islamisasi Syaikh Abdurrahim Kamaluddin. Metode ini dianggap bagian dari strategi kultural agar proses Islamisasi berlangsung dengan cepat, tanpa ketegangan dan perlawanan. Strategi kultural ini diterapkan berdasarkan peta relasi kekuasaan antara raja dan rakyat yang bersifat patronasi dan sentralistik. 

Karakteristik dakwah Syaikh Abdurrahim Kamaluddin bercorak sufistik, suatu tipologi dakwah yang dominan digunakan oleh para penyebar Islam periode awal di Nusantara, seperti yang dilakukan Wali Songo di Jawa dan tiga Dato' di Bugis-Makassar.

Dakwah Islam yang ditempuh secara sufistik dianggap sangat efektif dalam mengakomodasi ajaran Islam dengan budaya lokal. Islamisasi sufistik menurut Khamami Zada, yakni islamisasi yang lebih mementingkan dialog dalam mekanisme proses kultural. Islam tidak diterima begitu saja tanpa melalui tawar menawar oleh budaya setempat. Di sinilah, Islam dan budaya di tempatkan dalam posisi yang sejajar untuk berdialog secara kreatif agar salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat.

Berujung pada Akomodasi

Islamisasi di Mandar berujung pada akomodasi. Hal itu terjadi hampir di semua struktur sosial dan kebudayaan di Mandar. Mulai dari aspek sistem ketatanegaraan, sastra, seni, upacara siklus hidup, sampai pada norma dan etika sosial masyarakat Mandar.

Pertama, akomodasi di bidang sistem ketatanegaraan. Kerajaan Balanipa dalam kurung pra islamisasi memiliki dua kelembagaan kerajaan, Mara'dia (raja) dan Ada' (adat). Setelah mengalami islamisasi, bertambah menjadi tiga lembaga, yaitu Parewa Sara' (lembaga keagamaan). Hal yang sama juga terjadi di kerajaan-kerajaan Bugis-Makassar yang memasukkan unsur sara' dalam struktur panngandereng. 

Lembaga Parewa Sara' ini dipimpin oleh seorang bergelar Kali (qadhi) dan diberi kewenangan untuk mengatur urusan keagamaan, seperti pengembagan ajaran Islam, upacara-upacara keagamaan, dan pembinaan masjid. Parewa Sara' mempunyai sub kelembagaan di bawahnya, yaitu Parewa Masigi yang diberi tugas dan kewenangan untuk mengelola masjid. Parewa Masigi ini terdiri dari, imang (imam), katte' (khatib), bilal (muazzin), dan doja (bendahara masjid).

Hal yang menarik dari Kerajaan Balanipa, walaupun memiliki kelembagaan di bidang keagamaan, tetapi tidak secara otomatis rajanya berganti gelar menjadi sultan dan kerajaan berubah menjadi kesultanan. Berbeda halnya di kerajaan-kerajaan lainnya, seperti di Gowa, Aceh, Banten, Jawa, dan Bima.

Kedua, akomodasi di bidang kesusastraan dan seni. Di buku "Sejarah Islam di Mandar" menyebutkan bahwa kesusastraan Mandar terdapat di dalam pappasang  (pesan-pesan leluhur) dan kalinda'da' (pantun). Pada aspek inilah pengaruh Islam sangat besar, misalnya, salah satu teks atau lirik pappasang dan kalinda'da' yang masih kerap kita dengar dari orang tua, yaitu "dalle pole dipuang, barakka di Nabitta, anna salama' lino anna ahera'", artinya, rezki dari Tuhan, berkah dari Nabi, agar selamat dunia dan akhirat.

Kalinda'da' biasanya dilantunkan di saat penyelenggaraan messawe saeyyang pattu'du' (menunggangi kuda menari) bagi anak-anak atau remaja yang sudah khatam Alquran. Tradisi messawe ini juga menarik dikemukakan di sini, sebab ajaran Islam dan unsur-unsur kebudayaan Mandar saling akomodatif. Salah satu unsur kebudayaan Mandar yang melekat di tradisi ini adalah penggunaan baju adat (pokko) bagi penunggang perempuan. Di tradisi inilah negosiasi kreatif Islam dan budaya Mandar nampak begitu jelas.

Selain itu, lagu-lagu Mandar (elong-elong) yang didendangkan bersama dengan iringan instrument kacaping (kacapi) juga mengalami pengaruh islamisasi kultural. Salah satu penggalan lirik elong-elong Mandar yang menunjukkan hal itu: "bismillah urunna elong, Allah salama' nasang inggannana mairrangngi", artinya, "dengan nama Allah, pembuka lagu, dari Allah keselamatan bagi semua yang mendengar lagu ini".

Ketiga, akomodasi di bidang upacara siklus hidup. Upacara siklus hidup itu mencakup upacara kehamilan, kelahiran, pernikahan, dan kematian. Di masyarakat Mandar, upacara ini masih tergolong sakral, dan pelaksanaannya pun melibatkan banyak orang, baik dari pihak keluarga, tetangga, tokoh agama, maupun tokoh adat. Simbol ajaran Islam yang melekat dalam tradisi ini, yaitu pembacaan kitab barasanji (karya Syeik Ja'far al-Barasanji) dan tahlilan (upara kematian) dengan perangkat budaya yang khas dan unik. 

Di bidang lain pun juga demikian. Seperti di bidang arsitektur bangunan rumah, etika sosial, kearifan-kearifan lokal dan ritual-ritual masyarakat pesisir dan pedalaman, semua itu menampilkan corak tersendiri sebagai bentuk dari akomodasi Islam dengan kebudayaan Mandar.  Khazanah kebudayaan Mandar inilah turut membentuk perilaku dan pandangan dunia (world view) masyarakat Mandar, yang kemudian membedakan orang Mandar dengan orang lain.  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun