Islam dan kebudayaan merupakan dua entitas yang berbeda; Islam sebagai agama yang asalnya dari Tuhan, sedangkan kebudayaan sumbernya dari manusia. Ketika Islam diturunkan ke bumi, interaksi antar keduanya tidak bisa dihindari. Sehingga Islam yang sebelumnya suci, kemudian menjadi profan.
Islam tentu tidak akan sempurna sebagai agama jika tidak menjadikan kebudayaan sebagai medium dalam mentransformasi pesan-pesan ketuhanan. Seandainya Tuhan tidak menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran, boleh jadi manusia tak akan tahu seperti apa petunjuk dari Tuhan. Â Â Â Â Â
Karena itu, Islam dan kebudayaan memiliki hubungan yang sangat "intim". Hal itu dapat dilihat pada daerah yang mengalami proses panjang islamisasi, misalnya, di Jawa terdapat Ranggon atau atap Masjid Demak yang Gus Dur menyebutnya sebagai simbol akomodasi Islam dengan budaya Jawa. Â
Demikian pula di Mandar, ada banyak jejak-jekak kebudayaan Islam yang terbentuk dari proses Islamisasi yang dilakukan oleh penyebar Islam di daerah ini.
Bermula dari Islamisasi
Islamisasi (bukan arabisasi) di Mandar mulai pada abad 17 M. Penyebar Islam pertama bernama Syaikh Abdurrahim Kamaluddin, ulama utusan Kerajaan Gowa-Tallo. Daerah yang pertama kali dikunjungi adalah Kerajaan Balanipa. Saat itu Kerajaan Balanipa di bawah kekuasaan Kanna I Pattang Daetta Tommuane, Mara'dia (Raja) ke empat Kerajaan Balanipa.
Politik-kekuasaan merupakan metode islamisasi Syaikh Abdurrahim Kamaluddin. Metode ini dianggap bagian dari strategi kultural agar proses Islamisasi berlangsung dengan cepat, tanpa ketegangan dan perlawanan. Strategi kultural ini diterapkan berdasarkan peta relasi kekuasaan antara raja dan rakyat yang bersifat patronasi dan sentralistik.Â
Karakteristik dakwah Syaikh Abdurrahim Kamaluddin bercorak sufistik, suatu tipologi dakwah yang dominan digunakan oleh para penyebar Islam periode awal di Nusantara, seperti yang dilakukan Wali Songo di Jawa dan tiga Dato' di Bugis-Makassar.
Dakwah Islam yang ditempuh secara sufistik dianggap sangat efektif dalam mengakomodasi ajaran Islam dengan budaya lokal. Islamisasi sufistik menurut Khamami Zada, yakni islamisasi yang lebih mementingkan dialog dalam mekanisme proses kultural. Islam tidak diterima begitu saja tanpa melalui tawar menawar oleh budaya setempat. Di sinilah, Islam dan budaya di tempatkan dalam posisi yang sejajar untuk berdialog secara kreatif agar salah satunya tidak berada dalam posisi yang subordinat.
Berujung pada Akomodasi
Islamisasi di Mandar berujung pada akomodasi. Hal itu terjadi hampir di semua struktur sosial dan kebudayaan di Mandar. Mulai dari aspek sistem ketatanegaraan, sastra, seni, upacara siklus hidup, sampai pada norma dan etika sosial masyarakat Mandar.