Mohon tunggu...
Lyfe Pilihan

Menjelajahi Kelenteng di Surabaya

4 Desember 2017   15:52 Diperbarui: 4 Desember 2017   16:00 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertengahan November kemarin (2017), saya menyempatkan diri berkunjung ke dua buah kelenteng yakni Kelenteng Boen Bio serta Kelenteng Hong Tik Hian. Kegiatan ini diselenggarakan dalam memenuhi mata kuliah Ilmu Budaya Sosial Dasar (IBSD). Kami bersepakat untuk berkunjung kesana bersamaan dengan teman -- teman dengan ditemani beberapa orang dosen dari Universitas Ciputra.

Kami memutuskan berkumpul pada pagi hari kurang lebih jam sepuluh. Kami berkumpul di sebuah mall dekat Jembatan Merah. Namanya Jembatan Merah Plaza.  Jangan salah, Jembatan Merah Surabaya sendiri merupakan salah satu ikon loh. Kenapa demikian? Karena Jembatan Merah merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan bangsa, terutama pemuda-pemuda Surabaya saat melawan kolonialisme Belanda. Salah satu unsur nama Jembatan Merah karena pernah terjadi pertumpahan darah antara pejuang dan penjajah saat melawan pasukan Sekutu yang ingin merebut kembali Surabaya, dengan tewasnya pemimpin pasukan Sekutu saat itu, A. W. S. Mallaby.

Setelah berkumpul, kami melakukan perjalanan kami sekitar kurang lebih 200 meter sampai tempat pertama. Di tempat pertama itu, kami bertemu beberapa teman kami yang langsung berkumpul disana. Disana, kami langsung berfoto untuk mendokumentasikan kegiatan kunjungan kami, meskipun ada juga teman yang takut untuk berfoto disana, karena muncul stigma takut berat jodoh.

Sangat terasa awalnya bau dupa yang sangat menyengat di Kuil Hong Tik Hian ini. Konon,  menurut sebuah kertas doa,  kuil Tridharma ini sudah dibangun sejak 500 tahun sebelum tahun 1899. Artinya sudah dari sekitar tahun 1399 dan sudah berdiri lebih dari 6 abad. 

Tahun 1899 baru dilakukan pemugaran oleh para simpatisan Kuil Hong Tik Hian ini, sesuai dengan batu memoar yang memuat keterangan  di bagian dinding altar utama belakang " Saat ini setelah pemugaran tahun 1983, setelah kebakaran bangunan utama, marmer peringatan di tempel di dinding sebelah kiri atau dinding sebelah altar "Kong Co Boen Chiang Tee Koen".

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Disebutkan juga, dari arsip yang saya lihat mengenai kuil ini, pada pemugaran tahun 1899 bahwa ada 5 lantai di bawah bangunan utama, yang mengungkapkan bahwa Kuil ini sudah ada sekitar 500 tahun (1399), dan pemugaran dilakukan setiap 100 tahun, seperti yang tercantum pada kertas doa.

Pada tahun 1949, akibat Perang Dunia II pada tahun 1940 sampai 1945, juga karena pergolakan Indonesia -- Hindia Belanda tahun 1945 sampai 1949, kelentang ini banyak ditinggalkan dan tidak terurus dan tidak sempat diurusi lagi oleh pengurus saat itu. Maka, pada tahun 1949, bersama dengan para umat serta simpatisan Kuil Hong Tik Hian, dipimpin oleh Bapak Ong Kie Tjai, maka membentuk suatu panitia pembangunan/pemugaran kelenteng juga diadakan perayaan HUT  ke 50 dari pemugaran tahun 1899, maka dilakukan acara sebagai berikut :

  • Upacara Keagamaan secara besar -- besaran
  • Kirab / arak -- arakan Kiem Sien Dewa Kong Tik Coen Ong keliling kota untuk Tolak Bala dan memberi berkah.
  • Gelar Seni Budaya Agama, pertunjukan berhubungan dan bernuansa keagamaan

Setelah itu, panitia pemugaran dibubarkan serta bersamaan dengan itu dibuat suatu Badan Pengurus bernama Hong Tik Sian King Sin Sia tahun 1949 dan terdaftar di Komtabes 101 Surabaya.

Pengurus kelenteng bercerita tentang sejarah Klenteng Tridharma ini.
Pengurus kelenteng bercerita tentang sejarah Klenteng Tridharma ini.
Saat memasuki kelenteng Hong Tik Hian, yang didominasi oleh warna merah,  saya langsung memasuki ruang Hio Lo, dimana ruangan itu berfungsi sebagai  tempat melakukan ritual  pembakaran Hio (semacam media untuk mengiringi doa- doa, dengan dibakar pada ujungnya, dan ditempatkan suatu tempat kotak yang berisi abu hio -- hio lain yang sudah terlebih dahulu dibakar disana) untuk berdoa dan menghormati arwah leluhur.  Disana, tempatnya cukup besar untuk  dimasuki 50 orang. 

Lampu yang tidak begitu terang menyebabkan nuansa ruangan menjadi  temaram, yang memungkinkan orang khusyuk berdoa. Setelah dari ruangan tersebut, kita berpindah ke bangunan di depannya, dimana terdapat suatu panggung kecil. Tapi, kita melanjutkan perjalanan ke ruangan sebelah atas. Disana, kami berkumpul dan mendengarkan cerita dari bapak pengurus kuil Tridharma tersebut. Beliau membawa pembicaraan ke arah pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, terutama di Indonesia. 

Kita harus bersyukur bahwa kita memiliki Pancasila, yang menjadi  adiliuhung ideologi di Indonesia. Menurut beliau, tempat ibadah itu harus bersifat universal, tidak terbatas dengan sekat -- sekat kehidupan. Manusia juga akan mengalami 4 penderitaan, yakni lahir, tua, mati dan meninggal, dan menju pada kedamaian.

Saya sendiri memperhatikan simbol -- simbol yang ada disana. Selain didominasi warna merah, juga kuning, terdapat banyak ornamen naga, yang dipercaya merupakan hewan suci yang dapat terbang. Juga banyaknya lilin -- lilin dimana mempunyai lingkar yang betul -- betul besar, dengan aksara Tiongkok.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Dinding yang saya lihat juga memiliki gambar -- gambar yang tertuang di dinding. Ada gambar Nirwana, sebagai tempat suci yang akan dituju setelah manusia menghadapi kematian.

Saya juga berusaha memperhatikan orang yang  berada disana untuk mengucapkan doa. Pertama membakar dupa, menaruh hio di tangan, kemudian membaca doa, dan menaruh hio tersebut di kepala,  lalu menancapkan pada sebuah benda logam yang mungkin terbuat dari kuningan dan tembaga, yang sangat mungkin saja berusia ratusan tahun.

Ritual yang saya rasa sangat khusus, dari orang yang terbiasa berkonsentrasi, padahal ada sekitar 40 -- 50 anak sedang mendengarkan pesan-pesan persatuan dari pengurus  kelenteng.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Selain itu kelenteng ini mempunyai unsur Tridharma, dimana ada agama Budha, Tao, serta Konghuchu dapat berdoa dan menghaturkan persembahan disana. Terjadi kejadian unik salah seorang teman kami pingsan disana. Selain karena kondisinya yang lemas, hal yang saya rasa adalah penyebabnya adalah sirkulasi udara yang kurang lancar. 

Selain ruangan yang gelap pada siang hari, asap dari pembakaran Hio yang sangat banyak saat ramai orang juga menyebabkan orang sulit menarik nafas dengan jernih pada ruangan bawah.

Setelah waktu menunjukan pukul 12.00, kami tertarik untuk pergi ke bawah. Ternyata disana  terjadi pertunjukan wayang yang menampilkan cerita cerita yang erat kaitannya dengan sejarah Tiongkok, seperti Sam Kok (Dongeng Tiga Kerajaan). Pengurus juga bercerita bahwa pertunjukan ini sudah berlangsung lama. 

Saya berusaha memahami bahwa wayang Pho Tee Hi ini berasal dari akulturasi budaya Tiongkok dan Indonesia pada zaman dahulu. Ternyata kesenian ini sudah lama dan berasal dari daratan Tiongkok dari Dinasti Jin dan berkembang pada Dinasti Song.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Setelah dari sana, kami bersama -- sama melanjutkan kunjungan kami ke tempat kelenteng selanjutnya yakni Kelenteng Boen Bio. Kelenteng Boen Bio ini berjarak cukup jauh dari kelenteng kami yang pertama. Hampir 30 menit kami berjalan kaki diantara kedua kelenteng ini. Kelenteng kedua ini terletak di jalan Kapasan  nomor 131. 

Kelenteng ini ruangan utamanya hanya 1 ruang besar di depan. Ruang besar ini terdapat kursi -- kursi panjang untuk melepas lelah. Kami pun duduk dan menunggui sebagian kawan kami yang menuaikan ibadah sholat. Setelah itu, pengurus kelenteng  memberikan penjelasan tentang  Kelenteng Konghuchu Boen Bio.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Kelenteng ini dibangun pada tahun 1903 dan selesai pada tahun 1906, merupakan miniatur dari sebuah Kelenteng Klenmyou di Tiongkok. Arsitekturnya berasal dar Tiongkok. 4 pilar merupakan simbol yang menunjukan  spirit bahwa  semua manusia bersaudara. Terdapat 5 pintu yang menjelaskan sbuah ajaran Konghuchu, yang menandakan 5 hubungan sosial kemasyarakatan yakni Orang Tua, Kakak Adik, Suami Istri, Pertemanan, Pemimpin dan Bawahan. 

Agama Konghuchu sendiri kurang lebih sudah 5000 tahun berada di dunia ini. Konfusius menjadi nabi terakhirnya. Mereka mempunyai Tepak Salira kepada masyarakat yang kata -- katanya menjadi Golden Rule di Perserikatan Bangsa -- Bangsa yakni "DO INTO OTHERS AS YOU WOULD HAVE THEM DO INTO YOU". Juga terdapat 4 pantangan, yakni yang asusila jangan dilihat, didengar, dibenarkan, dilakukan."

Selain itu simbol -- simbol lain yang terdapat adalah pada bagian altar antara lain 2 simbol minyak yakni melambangkan Yin dan Yang. Lampion melambangkan harapan  dan dinyalakan oleh umat. Dinyalakan setiap setahun sekali.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Bangunan kelenteng ini juga apabila ingin dilakukan pemugaran setiap setahun sekali, harus dengan izin tertulis karena sudah menjadi bangunan cagar budaya dan melalui dinas pariwisata. Kelenteng ini juga berperan aktif pada masa perjuangan dengan menyembunyikan beberapa pejuang, bahkan pernah dijatuhi bom oleh pihak Sekutu. Tetapi bangunan utama selamat dari hujan bom.

Diceritakan pula orang Wei De Dong Tian, pengurus kelenteng tadi, setiap tahun, kelenteng ini mengadakan pembagian sembako untuk 4000 warga yang kurang beruntung, juga diadakan acara pewayangan sehari sebelum kelahiran Nabi Kungze. 4 arah mata angin adalah Utara (karir, pengetahuan), sedangkan selatan unsurnya adalah terang atau pencerahan. Sisi Timur Naga Hijau sedangkan sisi Barat adalah Macan Putih.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Apabila bangunan ini dilihat dari atas, maka bentuknya adalah seperti kura -- kura. Kura -- kura melambangkan panjangnya usia. Diterangkan pula, merah adalah simbol kebahagiaan, kerukunan sedangkan warna kuning melambangkan kemuliaan juga kesetiaan. Menarik juga saat dibahas soal Feng Shui, yakni ilmu yang mempelajari energi alam dan diterapkan pada bangunan.   

Sungguh menarik bahwa ada foto Gusdur dipajang di samping kanan altar utama. Gusdur yang merupakan seorang Kyai juga tokoh dari organisasi Islam Nadahtul Ulama.

Gusdur mendapat hati dalam masyarakat Konghuchu karena banyak membantu penyamarataan hak beribadah pada masyarakat Konghuchu saat beliau menjadi presiden. Gudsur yang merupakan seorang tokoh pruralisme memang banyak membantu kaum -- kaum termajinalkan di bumi pertiwi ini.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Hal menarik juga yang saya temukan adalah ketika memperhatikan papan pengumuman. Papan pengumuman yang ada bercerita tentang seorang siswi Muslim yang diberangkatkan dengan beasiswa dari Kelenteng dan belajar di Tiongkok. Sungguh sebuah bingkai keberagaman yang manis sekali bisa berada di bumi pertiwi tercinta, Indonesia.

Terlihat bahwa Cagar Budaya kedua Kelenteng yang berada di Surabaya ini menjadi tempat yang baik untuk umat beragama Budha juga Konghuchu melatunkan doa -- doa kepada Sang Pencipta. Keuntungannya ialah  letaknya di pusat kota juga menyebabkan akses masyarakat dekat untuk menjangkaunya. Tapi harus diperhatikan sirkulasi udaranya, khususnya yang kuil Hong Tik Hian karena kalau banyak umat, cukup sulit untuk bernafas dengan leluasa disana.

Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Melihat keberagaman yang ada di Indonesia ini, saya sangat percaya, bahwa menghargai  setiap perbedaan ini penting untuk memelihara persatuan bangsa. Keramah-tamahan yang kami dapatkan juga sinyal positif untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.
Dok. Pribadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun