Pertengahan November kemarin (2017), saya menyempatkan diri berkunjung ke dua buah kelenteng yakni Kelenteng Boen Bio serta Kelenteng Hong Tik Hian. Kegiatan ini diselenggarakan dalam memenuhi mata kuliah Ilmu Budaya Sosial Dasar (IBSD). Kami bersepakat untuk berkunjung kesana bersamaan dengan teman -- teman dengan ditemani beberapa orang dosen dari Universitas Ciputra.
Kami memutuskan berkumpul pada pagi hari kurang lebih jam sepuluh. Kami berkumpul di sebuah mall dekat Jembatan Merah. Namanya Jembatan Merah Plaza. Â Jangan salah, Jembatan Merah Surabaya sendiri merupakan salah satu ikon loh. Kenapa demikian? Karena Jembatan Merah merupakan salah satu saksi sejarah perjuangan bangsa, terutama pemuda-pemuda Surabaya saat melawan kolonialisme Belanda. Salah satu unsur nama Jembatan Merah karena pernah terjadi pertumpahan darah antara pejuang dan penjajah saat melawan pasukan Sekutu yang ingin merebut kembali Surabaya, dengan tewasnya pemimpin pasukan Sekutu saat itu, A. W. S. Mallaby.
Setelah berkumpul, kami melakukan perjalanan kami sekitar kurang lebih 200 meter sampai tempat pertama. Di tempat pertama itu, kami bertemu beberapa teman kami yang langsung berkumpul disana. Disana, kami langsung berfoto untuk mendokumentasikan kegiatan kunjungan kami, meskipun ada juga teman yang takut untuk berfoto disana, karena muncul stigma takut berat jodoh.
Sangat terasa awalnya bau dupa yang sangat menyengat di Kuil Hong Tik Hian ini. Konon, Â menurut sebuah kertas doa, Â kuil Tridharma ini sudah dibangun sejak 500 tahun sebelum tahun 1899. Artinya sudah dari sekitar tahun 1399 dan sudah berdiri lebih dari 6 abad.Â
Tahun 1899 baru dilakukan pemugaran oleh para simpatisan Kuil Hong Tik Hian ini, sesuai dengan batu memoar yang memuat keterangan  di bagian dinding altar utama belakang " Saat ini setelah pemugaran tahun 1983, setelah kebakaran bangunan utama, marmer peringatan di tempel di dinding sebelah kiri atau dinding sebelah altar "Kong Co Boen Chiang Tee Koen".
Pada tahun 1949, akibat Perang Dunia II pada tahun 1940 sampai 1945, juga karena pergolakan Indonesia -- Hindia Belanda tahun 1945 sampai 1949, kelentang ini banyak ditinggalkan dan tidak terurus dan tidak sempat diurusi lagi oleh pengurus saat itu. Maka, pada tahun 1949, bersama dengan para umat serta simpatisan Kuil Hong Tik Hian, dipimpin oleh Bapak Ong Kie Tjai, maka membentuk suatu panitia pembangunan/pemugaran kelenteng juga diadakan perayaan HUT Â ke 50 dari pemugaran tahun 1899, maka dilakukan acara sebagai berikut :
- Upacara Keagamaan secara besar -- besaran
- Kirab / arak -- arakan Kiem Sien Dewa Kong Tik Coen Ong keliling kota untuk Tolak Bala dan memberi berkah.
- Gelar Seni Budaya Agama, pertunjukan berhubungan dan bernuansa keagamaan
Setelah itu, panitia pemugaran dibubarkan serta bersamaan dengan itu dibuat suatu Badan Pengurus bernama Hong Tik Sian King Sin Sia tahun 1949 dan terdaftar di Komtabes 101 Surabaya.
Lampu yang tidak begitu terang menyebabkan nuansa ruangan menjadi  temaram, yang memungkinkan orang khusyuk berdoa. Setelah dari ruangan tersebut, kita berpindah ke bangunan di depannya, dimana terdapat suatu panggung kecil. Tapi, kita melanjutkan perjalanan ke ruangan sebelah atas. Disana, kami berkumpul dan mendengarkan cerita dari bapak pengurus kuil Tridharma tersebut. Beliau membawa pembicaraan ke arah pentingnya menjaga persatuan dan kesatuan, terutama di Indonesia.Â
Kita harus bersyukur bahwa kita memiliki Pancasila, yang menjadi  adiliuhung ideologi di Indonesia. Menurut beliau, tempat ibadah itu harus bersifat universal, tidak terbatas dengan sekat -- sekat kehidupan. Manusia juga akan mengalami 4 penderitaan, yakni lahir, tua, mati dan meninggal, dan menju pada kedamaian.
Saya sendiri memperhatikan simbol -- simbol yang ada disana. Selain didominasi warna merah, juga kuning, terdapat banyak ornamen naga, yang dipercaya merupakan hewan suci yang dapat terbang. Juga banyaknya lilin -- lilin dimana mempunyai lingkar yang betul -- betul besar, dengan aksara Tiongkok.
Saya juga berusaha memperhatikan orang yang  berada disana untuk mengucapkan doa. Pertama membakar dupa, menaruh hio di tangan, kemudian membaca doa, dan menaruh hio tersebut di kepala,  lalu menancapkan pada sebuah benda logam yang mungkin terbuat dari kuningan dan tembaga, yang sangat mungkin saja berusia ratusan tahun.
Ritual yang saya rasa sangat khusus, dari orang yang terbiasa berkonsentrasi, padahal ada sekitar 40 -- 50 anak sedang mendengarkan pesan-pesan persatuan dari pengurus  kelenteng.
Selain ruangan yang gelap pada siang hari, asap dari pembakaran Hio yang sangat banyak saat ramai orang juga menyebabkan orang sulit menarik nafas dengan jernih pada ruangan bawah.
Setelah waktu menunjukan pukul 12.00, kami tertarik untuk pergi ke bawah. Ternyata disana  terjadi pertunjukan wayang yang menampilkan cerita cerita yang erat kaitannya dengan sejarah Tiongkok, seperti Sam Kok (Dongeng Tiga Kerajaan). Pengurus juga bercerita bahwa pertunjukan ini sudah berlangsung lama.Â
Saya berusaha memahami bahwa wayang Pho Tee Hi ini berasal dari akulturasi budaya Tiongkok dan Indonesia pada zaman dahulu. Ternyata kesenian ini sudah lama dan berasal dari daratan Tiongkok dari Dinasti Jin dan berkembang pada Dinasti Song.
Kelenteng ini ruangan utamanya hanya 1 ruang besar di depan. Ruang besar ini terdapat kursi -- kursi panjang untuk melepas lelah. Kami pun duduk dan menunggui sebagian kawan kami yang menuaikan ibadah sholat. Setelah itu, pengurus kelenteng  memberikan penjelasan tentang  Kelenteng Konghuchu Boen Bio.
Agama Konghuchu sendiri kurang lebih sudah 5000 tahun berada di dunia ini. Konfusius menjadi nabi terakhirnya. Mereka mempunyai Tepak Salira kepada masyarakat yang kata -- katanya menjadi Golden Rule di Perserikatan Bangsa -- Bangsa yakni "DO INTO OTHERS AS YOU WOULD HAVE THEM DO INTO YOU". Juga terdapat 4 pantangan, yakni yang asusila jangan dilihat, didengar, dibenarkan, dilakukan."
Selain itu simbol -- simbol lain yang terdapat adalah pada bagian altar antara lain 2 simbol minyak yakni melambangkan Yin dan Yang. Lampion melambangkan harapan  dan dinyalakan oleh umat. Dinyalakan setiap setahun sekali.
Diceritakan pula orang Wei De Dong Tian, pengurus kelenteng tadi, setiap tahun, kelenteng ini mengadakan pembagian sembako untuk 4000 warga yang kurang beruntung, juga diadakan acara pewayangan sehari sebelum kelahiran Nabi Kungze. 4 arah mata angin adalah Utara (karir, pengetahuan), sedangkan selatan unsurnya adalah terang atau pencerahan. Sisi Timur Naga Hijau sedangkan sisi Barat adalah Macan Putih.
Sungguh menarik bahwa ada foto Gusdur dipajang di samping kanan altar utama. Gusdur yang merupakan seorang Kyai juga tokoh dari organisasi Islam Nadahtul Ulama.
Gusdur mendapat hati dalam masyarakat Konghuchu karena banyak membantu penyamarataan hak beribadah pada masyarakat Konghuchu saat beliau menjadi presiden. Gudsur yang merupakan seorang tokoh pruralisme memang banyak membantu kaum -- kaum termajinalkan di bumi pertiwi ini.
Terlihat bahwa Cagar Budaya kedua Kelenteng yang berada di Surabaya ini menjadi tempat yang baik untuk umat beragama Budha juga Konghuchu melatunkan doa -- doa kepada Sang Pencipta. Keuntungannya ialah  letaknya di pusat kota juga menyebabkan akses masyarakat dekat untuk menjangkaunya. Tapi harus diperhatikan sirkulasi udaranya, khususnya yang kuil Hong Tik Hian karena kalau banyak umat, cukup sulit untuk bernafas dengan leluasa disana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H