Mohon tunggu...
Suaib Napir
Suaib Napir Mohon Tunggu... -

Direktur Mars Institute

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pembangunan Desa Belum Otonomi Penuh

13 Mei 2018   08:15 Diperbarui: 13 Mei 2018   08:49 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabar menggembirakan tahun 2014 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa akhirnya disahkan. Sebuah kado yang sangat indah untuk desa yang selama ini selalu terlupakan dari pengaruh kehidupan kota. Lewat UU Desa tersebut, secara utuh desa memiliki otonomi dalam menentukan arah pembangunan desa sekaligus memberikan kesempatan dalam menguatnya otonomi asli desa yang berbasis pada nilai sosial dan identitas kearifan lokal pedesaan. 

Namun realitasnya masih banyak kebijakn yang bersifat interventif menyebabkan desa dari segi otonomi masih sebatas harapan.

Orang desa perlu mengapresiasi kado akhir tahun yang diberikan oleh pemerintah dan DPR sebagai bagian dari percepatan pemerataan pembangunan yang selama ini men-anak tirikan orang desa karena pembangunan berfokus pada kota. Melalui Undang-Undang desa, maka pembangunan dapat terpusat di desa dalam skala yang lebih besar.

Apalagi regulasi dalam Undang-Undang Desa secara terang-terangan memuat  dua kewajiban yang sangat penting. Pertama, nilai alokasi Anggaran yang diperuntukkan ke desa nilainya sebesar 10 % dari dan diluar dana transfer daerah. Sederhananya jika Anggaran Belanja  Negara (APBN) Tahun 2018 mencapai 706,16 Triliun untuk transfer ke daerah, maka  alokasi anggaran desa untuk seluruh Indonesia harusnya bisa mencapai 70,616 Triliun ditambahkan dengan Rp 60 triliun untuk dana desa. Sayangnya dana transfer ke daerah belum juga sepenuhnya diimplemetasikan sesuai dengan amanah undang-undang desa.

Kedua, Selain bersumber dari APBN, desa ini memiliki potensi yang luar biasa yang bersumber dari desa itu sendiri. Sarjana dari desa lulusan perguruan tinggi tak perlu lagi beramai-ramai menuju atau tinggal di kota. Ayok kita kembali kedesa masing-masing untuk mulai membangun kampung sendiri dengan hal-hal sederhana, tetapi memiliki manfaat yang besar untuk pembangunan desa.

Pemuda pemudi desa sudah harus berpikir bagaimana membangun desa. Jika seorang sarjana pertanian, mulailah berfikir mengembangkan pertanian di kampung saudara. Jika lulusan ekonomi, berpikir membangun usaha produktif yang dapat memberdayakanu ekonomi desa lewat badan usaha milik desa (BUMDES) agar menyamai industri kota bahkan kalo bisa lebih berkembang. 

Para lulusan sekolah guru, mari mengajar di kampung halaman dan mulai memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak desa, demikian pula lulusan sarjana politik suda waktunya membangun tatanan politik yang sehat di Kampung kita masing-masing untuk mengurang kebiasaan-kebiasaan yang kurang bernilai.

Saat ini desa membutuhkan seseorang yang terdidik untuk berkembang walau pada sisi tertentu juga sudah waktunya orang kota untuk belajar dari pesona desa, tantangan kehidupan desa, dan  keaslian desa. Dengan demikian, mereka tidak memandang  desa sebagai objek eksploitasi, tetapi desa dijadikan sebagai sarana harmonisasi antara kehidupan kota dan kearifan desa.

Ekonomi Politik

Potensi besar yang dimiliki desa saat ini tidak cukup dengan dorongan kebijakan pemerintah pusat saja, akan tetapi menurut saya perlu ada penguatan pada tiga aspek, yaitu  kelembagaan, aktornya dan mekanisme pengawasan.

Pertama, aspek kelembagaan. Dalam aspek kelembagaan terletak adanya kehususan dari setiap bentuk desa, asal-usul, dan batasan otoritas adat istiadat ialah celah besar, karena pada titik tertentu berpotensi kembali menjadi persoalan jika tidak diantisipasi sejak dini.

Walaupun dalam ketentuan umum pada pasal 1 ayat ke-5 hal tersebut telah dijelaskan, keragaman yang begitu besar atas aspek kelembagaan desa disetiap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) membuat pemerintah pusat perlu merumuskan dengan baik secara bersama-sama dengan kepala daerah masing-masing, baik di tingkat provinsi maupun di tingkat Kabupaten, dalam hal persoalan keragaman kelembagaan tersebut.

Jangan sampai nilai luhur ini malah menjadi celah bagi lahirnya perpecahan dan konflik. Apalagi dengan jelas Undang-Undang Desa juga mengandung persoalan politik yang besar, terutama  pada BAB 7 pasal 44 tentang mekanisme pemilihan kepala desa yang memiliki popularitas actor terbuka luas untuk menjadi Kepala desa. Dengan UU Desa yang berlaku, kewenangan seorang kepala desa menjadi begitu besar,  mulai dari menyusun APB Desa sampai pada hakim perdamaian desa (lihat UU Desa pasal 24 ayat 2) dictum Lord Acton telah mengingatkan bahwa kekuasaan dan korupsi terkadang berjalan seiring sejalan.

Jangan sampai Undang-Undang Desa justru hanya perangkat untuk memindahkan prilaku korup dari atas menjadi menyebar keseluruh pelosok desa.  Mekanisme pengawasan internal atas kekuasaan dan otoritas kepala desa menjadi penting untuk dilakukan sehingga tujuan mulia Undang-Undang Desa dapat berjalan sesuai harapan rakyat, bukan justru melahirkan kekuasaan baru yang membangun dinasti dengan tindakan korupsi yang banyak terjadi selama ini.

Ketiga, mekanisme pengawasan. Dalam UU Desa pasal 75 ayat 1 tercantum pemerintah desa dapat mengadakan kerja sama dengan pihak ketiga. Pasal ini adalah sebuah celah yang begitu rawan jika tidak diawasi dengan baik. Kita sudah melihat fakta sejak diberlakukannya otonomi daerah, begitu banyak kepala daerah tersandung kasus hukum hanya karena terjerat oleh kepentingan para pengusaha.

Pada titik inilah dibutuhkan gerakan pengawasan yang serius dari organisasi sipil untuk tetap memberikan perhatian lebih lagi bagi desa agar tidak hanya sekedar menjadi boneka dari kepentingan elite para pengguna kekuasaan. 

Karena itu, saatnya desa dapat dengan nyata menjadi pusat pembangunan bukan lagi titik tumpul pembangunan semata. Semoga ini menjadi kado terindah untuk desa dan menjadi awal yang baik untuk membangun desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun