Mohon tunggu...
SUY ONO BRAM
SUY ONO BRAM Mohon Tunggu... Wiraswasta - Suka membaca saja

Lentera jiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyum Gadisku

2 April 2020   22:53 Diperbarui: 2 April 2020   23:06 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pexels photo

   Pertemuan kemarin itu betul-betul menyisakan sejumlah pertanyaan yang mungkin agak sukar untuk mencari jawabannya. Sambil rebahan di sofa kupandangi dinding yang berwarna  ungu beberapa figura yang berisi foto. 

Ada satu foto yang membuat penasaran hingga membuatku beranjak dari sofa. Disaat hendak berdiri, tiba-tiba tuan rumah muncul dengan membawa nampan yang berisi dua gelas, dari warna dan aroma sepertinya air jeruk hangat. 

Kuurungkan niatku sambil tersenyum. Dan diapun membalas senyuman, seakan aku lebih membutuhkan senyuman itu daripada segelas air jeruk hangat. Itu betul. 

Dulu aku pernah dibuatnya tak berdaya, malam susah tidur dan dada ini selalu bergetar hebat jikalau berpapasan dengannya. Itu dulu. Dengan berjalannya waktu aku berusaha rileks, tak baik punya pikiran yang macam-macam dengan istri orang. 

Ya, dia telah bersuami kan seorang dokter. Kalau mengingat kejadian itu rasanya aku ingin berlari sejauh mungkin. Bagaimana tidak, kami berpacaran selama tiga tahun, dari kelas satu SMA sampai lulus.

Di saat  aku meneruskan kuliah, tiba - tiba dia memberi kabar bahwa akan dijodohkan dengan seorang calon dokter. Tak ayal lagi ini membuatku tidak fokus diawal perkuliahan. 

Hari - hari kulalui dengan kesibukan merapikan senyumannya yang berceceran di setiap tempat yang kusinggahi. Seperti orang gila pada mulanya. Semakin ku berlari semakin cepat pula senyuman itu menghampiri. 

Seolah tak mau kutinggalkan. Hingga pada akhirnya aku berkeputusan berdamai dengan senyuman itu,  kuajak kemanapun. Hitung - hitung sebagai penyemangat dalam berkuliah.

Dan ternyata keputusan ku membawa dampak positif , aku selesai kuliah tepat waktu, membuat kedua orang tuaku tersenyum sumringah dan bangga atas keberhasilanku. Jadi aku memiliki  tiga senyuman yang sangat berarti, dua dari kedua orang tuaku, dan ini pasti aku dapatkan disetiap ada di rumah, dan satunya senyuman dari mantan yang tak mungkin ku dapatkan secara nyata, hanya mengandalkan kekuatan imajinasi untuk mendapatkannya. Itu saja sudah cukup bagiku. 

Dan aku berharap dia tidak mengikuti langkahku hanya untuk sekedar mengingat senyumanku, karena aku tak ingin dia mencederai perkawinannya. Rasanya fair saat itu. Pikirku. Tapi dalam perbincangan kemarin itu seperti ada sesuatu yang  membenturkan anggapanku. Aku salah besar. Ternyata dia masih menyimpan semua memori  selama kami menjalin hubungan. 

Tadinya aku tidak percaya atas omongan teman karibnya, Ningsih. Dari Ningsih pula aku mendapat kabar bahwa suami gadisku telah meninggal dunia. Ningsih ingat betul bahwa aku sering memanggil dia dengan sebutan " gadisku ". 

Suaminya meninggal karena kecelakaan mobil. Karena gadisku tidak  terlalu aktif di dunia medsos, maka aku mengandalkan Ningsih sebagai nara sumber tentang keberadaan nya. 

Sayangnya aku tidak bisa menghadiri pada waktu pemakaman. Ada urusan yang tidak bisa kutinggalkan.  Aku sedang bertaruh memperbaiki kualitas pendidikan dengan meneruskan S 2 dinegeri matahari terbit lewat seleksi beasiswa LPDP. Karena nasib berpihak, aku terpilih dan dinyatakan lolos untuk berangkat ke Jepang. Disaat menunggu jadwal terbang aku sempatkan bersilaturahmi ke rumah gadisku sekaligus melayat  mendiang suaminya.

" Ini diminum " seolah-olah dia tahu jalan pikiranku dan berusaha menghentikan sesaat, " Tidak terlalu manis kok, " selorohnya sambil tetap menjaga ritme senyumnya. Dan menurutku dia berusaha menutupi kedukaan sepeninggal suaminya atau bahkan membuangnya.  Aku hargai itu. Sebab hidup akan terus berlanjut, entah akan  menghadapi  apa lagi nantinya.

" Terimakasih, masih ingat minuman favoritku" sahutku sambil membenarkan posisi duduk. Dan dia hanya membalas, lagi - lagi dengan senyuman. Aduh biyung.....jadi salah tingkah nih. 

" Maaf baru bisa datang " inisiatifku untuk memulai pembicaraan. Karena aku merasa ada sesuatu yang sulit dijelaskan dari pertemuan kami ini. Namun aku tetap harus gentle dan menegaskan bahwa kedatanganku saat ini murni sebagai bentuk rasa empati dan simpati atas suasana duka yang menimpanya. Tidak lebih. 

Andaikan nanti ada sesuatu yang menggiring  untuk buka -bukakan tentang perasaan kami, rasanya butuh penyelesaian yang rumit, karena hatiku yang dulu kubiarkan kosong, lambat laun terisi dengan kehadiran senyuman wanita lain selain dia. Memang belum lama, tapi cukup memberi arti sekaligus menjadi pijakan untuk melangkah ke jenjang berikutnya. Apalagi kedua orang tuaku tak henti-hentinya mendorong mencari penggantinya. Sesekali ibuku ngledek dengan bahasa kekinian. 

" Kamu harus bisa move on dong Andi , tak baik memikirkannya terus " 

" Sabar ibu, nunggu bulan purnama datang " jawabku sekenanya. Aku belum terbuka perihal keberadaan gadis lain selain gadisku. Atau belum merasa yakin. Entahlah.

" Bukankah minggu - minggu kemarin sudah ada bulan purnama Bu," tukas bapak ke ibu serasa keheranan. Rupanya bapak ikut nyimak obrolan kami. Padahal bapak lagi asyik memainkan keyboard dengan alunan tembang Jawa.  

" Iya ini Andi kalau ngomong seenaknya sendiri " ibu seperti tidak puas dengan jawabanku.

" Aduh, kenapa ibu nggak mengingatkanku " candaku sambil pura - pura ikut nimbrung sama bapak menyanyikan lagu Gethuk. Kami selalu kompak dalam bermusik, karena saking seringnya mendengarkan bapak memainkan tembang - tembang jawa, aku pun ikut menikmatinya. Terkadang aku memainkannya sendiri. Aku suka tembang Mawar biru, Nyidam sari, dan Gethuk yang baru saja duet dengan bapak, dan banyak lagi yang lainnya.

Melihat tingkahku yang lebih memilih gabung sama bapak bertembang ria , membuat ibu mengurungkan niat untuk melanjutkan omongan. Ibu hanya berdehem dan menghela nafas agak panjang. Sambil geleng-geleng kepala pula.   

"Terimakasih pula mau berkunjung " tiba - tiba suaranya membuyarkan bayang - bayang keasyikanku bercengkrama dengan kedua orangtua. Oh ternyata aku sedang berada dirumah gadisku. Ini yang terkadang  aku tidak suka dengan jalan pikiranku. Selalu berbelok arah bila sedang  bertandang dilain tempat. 

 " Sendirian saja ? ", diapun melanjutkan omongannya yang sebenarnya tidak aku kehendaki, karena ini merupakan pertanyaan bernada menghakimi sekaligus mengintrogasi. Atau jangan-jangan ini hanya bentuk spontanitas dari rasa cemburu yang menyeruak tanpa mampu dia kontrol. Apakah dia masih pantas memiliki rasa cemburu ? Mestinya aku. 

Empat tahun yang lalu dia meninggalkanku dengan alasan perjodohan. Tanpa perlawanan untuk menolak  sedikitpun. Aku bingung dan marah sekali, sampai - sampai aku tolak ajakan Ningsih untuk berbarengan datang menghadiri pesta perkawinannya. Ningsih pun tak sanggup membujukku. Kubiarkan Ningsih melangkah dengan langkah ragunya saat meninggalkan pintu rumah, sesekali menoleh kebelakang, barang kali aku berubah pikiran. Aku tetap tak bergeming dengan keputusanku.  

Namun menjelang pukul sembilan malam kuputuskan berangkat, tak kuhiraukan lagi hujan deras dan suara petir menggelegar. Kedua orang tuaku pun tak menghalangi niatku. Karena mereka tahu, mereka pernah muda. 

Kalau mengingat kejadian itu rasanya aku tersenyum geli, apa yang kulakukan benar-benar hampir menenggelamkan jiwa ksatriaku. Dan kini aku tengah berhadapan dengannya  mencoba untuk memahami perasaannya,. Perihal tentang pertanyaan yang diajukan kepadaku, kuanggap basa basi menyambut tamu. Akupun  menjawab dengan bahasa yang diplomatis.

" Lebih enak sendiri, tidak merepotkan orang " suaraku datar. Kuharap dia tidak menelisik terlalu jauh tentang statusku. Aku kurang pandai berbohong kalau dihadapannya. Maka aku berkesimpulan harus bisa menggiring pembicaraan dalam pertemuan kami ini agar  tidak membahas tentang kehidupanku. Tentang kejombloanku. Gengsi dong. Aku buru - buru ambil inisiatif, kebetulan dari pertama datang aku penasaran dengan sebuah foto yang menempel ditengah dinding tembok ruang  tamu, tepat dihadapanku.

" Eee........" Ternyata kami hampir bersamaan dalam menggerakkan bibir kami. Masing-masing dari kami pun tersenyum tipis.

" Kamu dulu "  ujarnya agak malu-malu.

" Nggak ....kamu aja " akupun akhirnya tak sampai hati untuk mendominasi pembicaraan, padahal tadinya  ini yang kuinginkan. Dengan tatapan yang mengiyakan, diapun menerima usulku. Namun saat mau memulai tiba - tiba terdengar bunyi suara hp.

" Maaf aku terima dulu ya " pintanya sambil mengambil hpnya. Dibacanya dalam hati siapa si penelponnya.

" Nggak apa-apa " jawabku menyetujui.

" Halo " terdengar suaranya. Selang beberapa detik kulihat agak tercenung sejenak parasnya. 

" Ada " kudengar lagi suaranya, kali ini wajahnya agak terlihat menahan kesal.  Rasa heranpun ku tepiskan, aku tidak mau mencampuri urusan orang lain.Tak berapa lama dia pun menyudahi obrolannya, atau yang disebrang yang menyudahinya. Aku tak tahu. 

Kembali kami berpandangan, tapi kali ini sorot matanya sungguh berbeda dengan pertama kali saat kami berpapasan. Benar - benar aneh. Aku jadi membayangkan jika aku ini suaminya seolah-olah aku telah berbuat salah atau dianggapnya telah berselingkuh. Diapun dengan leluasa ingin menerkamku. Hhiii.....ngeri. Sambil menunggu dia ngomong, tenggorokan ini rasanya minta dibasahi. Kuambil segelas jeruk hangat yang disuguhkan tadi. Disaat bibirku dan bibir gelas bersentuhan, tiba - tiba......

" Ada apa dengan Ningsih ?" Dengan intonasi yang tenang dan bernuansa bossanova  terucap dari bibirnya. Kalem dan teduh. Namun itu membuatku terhenyak. Hingga seruputan wedang jeruk hangat pun sebagian berceceran dilantai.

" Ooohh rupanya tadi yang menelpon Ningsih teman karibnya " batinku sambil mengernyitkan dahi. Entah apa yang jadi topik pembicaraan diantara mereka berdua, aku tak tahu. Dan akupun hanya bisa bengong. Tidak sanggup menjawab pertanyaannya. Untuk saat ini.

 Cirebon, 2 April 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun