Hujan yang turun begitu dahsyatnya di akhir tahun Ular Air ini seperti mengetahui kesedihanku yang begitu mendalam. Sudah tiga kali tahun baru Imlek yang kulewati begitu putihnya, namun juga senantiasa aku syukuri dengan penuh sukacita walaupun tak seperti beberapa tahun yang lalu. Tahun demi pergantian tahun yang pernah begitu bermakna.
Bermakna dalam pergantian tahun dan berkumpul bersama orang tua dan juga saudara-saudara, saling mengucapkan selamat tahun baru dan juga berbagi doa dan rejeki (ang pao) kepada yang belum mencari rejeki. Pernah juga merasakan selama beberapa pergantian tahun rasa senang saat menerima Ang Pao dari Papa dan juga Mama. Imlek yang begitu lengkap walaupun pada masa Pemerintahan yang lalu-lalu hanya diperbolehkan merayakan di lingkup rumahan dan keluarga.
Aku terlahir dalam keluarga keturunan Tiong Hoa yang masih memegang teguh adat istiadat. Dalam banyak hal sehari-hari begitu banyak tata krama yang harus diteguhkan. Baik itu dalam berbicara, makan, panggilan dan sebutan yang masih menggunakan istilah-istilah dari leluhur.
Begitu kuat dan ketat. Seperti tak boleh berisik saat makan bersama keluarga dan tak boleh ada sebutir nasi pun yang tersisa. Bukan karena pelit, namun membawa makna bersyukur bahwa Tuhan masih memberikan rejeki dalam bentuk makanan dan juga menghormati jasa para petani yang telah bersusah payah menanam padi. Agak ribet memang, namun karena sudah terbiasa sejak kecil, hal tersebut sudah membaur dalam aktivitas sehari-hari.
Akim, Koh Akim, atau juga Kokoh Akim, biasanya orang memanggilku. Panggilan Kokoh yang artinya Kakak atau Abang. Aku masih single, masih kuliah di semester ke-3. Aku anak pertama dari 3 bersaudara, 2 orang adikku semuanya perempuan. Aku adalah penerus keluarga dan penerus Marga Leluhur. Sebagai anak lelaki dan juga tertua, tanggung jawabku begitu berat apalagi setelah Papa dan Mama meninggalkan kami. Selain kuliah, ada toko peninggalan Almarhum Papa yang harus aku urus demi kehidupan kami bertiga. Bergantian kami mengurus dan mengelola toko tersebut.
***
Malam ini malam pergantian tahun dalam kalender Imlek. Pergantian tahun dari Tahun Ular Air ke Tahun Kuda Kayu. Dan Tahun apapun itu, yang pasti dan kenyataan bahwa malam ini adalah malam Imlek Putih kami yang ke-4. Ya Imlek Putih ke-4 dan masih akan ada Imlek Putih ke-5 dan juga terakhir ke-6 dalam keluargaku kini.
Kusebut sebagai Imlek Putih karena aktivitas apapun buat kami bertiga hingga 3 tahun ke depan masih tak patut mengenakan warna merah. Warna Merah yang begitu bermakna bagi yang merayakan Imlek sesuai legendanya yaitu seorang anak kecil yang mengenakan baju berwarna merah yang berhasil mengusir raksasa pemakan manusia dari pegunungan. Raksasa yang ternyata takut dengan warna merah. Dan sejak itu warna Merah begitu mewarnai pergantian tahun dalam kalender Imlek. Warna merah yang harus kami sisihkan sementara waktu ini hingga 3 tahun ke depan.
3 tahun lalu, kami bertiga serta Mama begitu berduka dengan kepergian Papa karena sakit yang dideritanya. Sebagai anak-anaknya kami begitu kehilangan. Kami bertiga menjadi begitu putih. Baju yang kami kenakan berwarna putih tanda kami berduka. Mengenakan gelang kain pada lengan kiri yang artinya orang tua laki-laki telah tiada, di teras rumah kami digantungkan lentera berwarna putih, sebagai anak laki-laki maka aku akan memegang tongkat dari batangan bambu yang pada bagian atasnya ditutup dengan kain putih, bambu yang memiliki ruas sebagai batas-batas bermata dan menandakan kasih sayang orang tua laki-laki dengan ruas bambu yang berbatas. Sedangkan kedua adikku yang perempuan akan mengenakan kerudung putih.
Kami berduka selama tiga tahun. Telah 3 Imlek kami lalui tanpa mengenakan apapun berwarna merah, termasuk dupa (hio) untuk persembahyangan pun tidak berwarna merah. Tidak bersenang-senang dalam bentuk yang bagaimanapun. Itulah sebagian gambaran adat istiadat yang masih kami pegang teguh.
***
Sempat terpikir bahwa tahun depan sudah akan bisa mengenakan warna merah, namun tiada seroangpun yang tahu perjalanan hidup manusia selain Tuhan. Di pertengahan tahun dan kembali tak terduga... Mama pun dipanggil olehNYA. Mama meninggal karena tersengat aliran listrik saat mencuci pakaian. Kami begitu terpukul dengan kepergian Mama. Ada sedikit penyesalan karena sebagai seorang anak laki-laki diri ini tak mampu menjaga Mama dengan baik.
Gelang kain putih yang kukenakan kini bertambah pada lengan kanan sebagai pertanda bahwa orang tua perempuan telah meninggalkan kami anak-anaknya. Lentera putih di teras rumah bertambah menjadi dua buah kiri dan kanan dan akan tetap terpasang hingga masa berduka kehilangan Mama telah selesai 3 tahun ke depan lagi. Kembali aku memegang tongkat namun bukan dari bahan bambu seperti ketika Papa Meninggal. Kali ini memegang tongkat dari batang kayu kedondong pagar yang tiada ada batasan ruasnya sebagai perlambang bahwa kasih sayang seorang Ibu tiada batasannya. Tongkat kayu yang juga dibungkus kain putih pada bagian pangkalnya. Sementara kedua adikku kembali mengenakan kerudung putih.
Tiga tahun Imlek Putih yang kami lalui akan bertambah tiga tahun lagi hingga masa berduka kehilangan Mama selesai. Ya... kami akan berduka kembali selama tiga tahun ke depan.
***
Malam ini ku duduk di teras lantai dua rumah orang tuaku ini. Sementara adik-adikku berdoa di depan altar persembahyangan orang tua kami. Dalam lamunanku kini... banyak peristiwa yang kami lalui kini bak sebuah rekaman yang diputar kembali. Teringat satu waktu ketika masih usia anak-anak, ku merengek kepada Almarhum Papa meminta dibelikan mainan untuk hadiah ulang tahunku. Dengan sangat tegas papa menolak dan mengatakan bahwa saat aku ulang tahun adalah hari yang begitu menderita bagi mamaku, hari di mana Mama dalam keadaan hidup dan mati untuk melahirkanku, hari di mana Mama dalam keadaan menahan segala kesakitan untuk melahirkanku. Hari di mana sepatutnya aku bersujud di hadapan Mama untuk bersyukur dan berterima kasih bahwa aku telah dilahirkan dengan selamat dan telah mendapatkan perawatan dan kasih sayang dari Almarhumah Mama.
Jika sudah seperti itu, aku hanya bisa menangis, yang aku ingat hanyalah perkataan-perkataan Almarhum Papa tanpa aku mengerti maknanya dan yang aku selalu ingat bahwa setelah itu secara sembunyi-sembunyi Almarhumah Mama membelikan mainan yang aku mau tanpa sepengetahuan Almarhum Papa.
Terlintas jua saat Almarhumah Mama berkata jika pada saat perayaan Dong Zhi / Tang Cie (perayaan makan onde-onde) yang dalam penanggalan kalender nasional bertepatan jatuh pada 22 Desember atau berbarengan dengan perayaan Hari Ibu Nasional. Perkataan yang merupakan hal yang boleh dipercaya dan boleh juga tidak, yaitu bahwa jika pada saat hari perayaan Dong Zhi hujan turun maka pada saat Tahun Baru Imlek tidak akan turun hujan dan sebaliknya.
Banyak hal yang kuingat malam ini. Dan satu hal yang pasti bahwa malam ini, di malam Imlek ke-4 kami yang begitu putih ku kan berdoa kepada Tuhan dan kemudian memberikan penghormatan dengan membakar dupa berwarna hijau di hadapan altar persembahyangan. Penghormatan untuk menghormati jasa-jasa kedua orang tua dan tidak untuk tujuan lain selain menghormati jasa mereka berdua. Sungguh pun seorang anak tak akan pernah bisa membalas kebaikan kedua orang tua, namun inilah yang terbaik yang bisa kami lakukan sebagai anak-anak dari kedua orang tua kami.
***
Esok pagi... sebelum mengucapkan selamat tahun baru Imlek kepada yang lainnya. Kami akan berdoa kepada Tuhan, setelah itu akan datang ke makam ke dua orang tua kami untuk memberikan sujud dan penghormatan.
Tiga tahun ke depan... Imlek kami bertiga masih akan berwarna putih.
***
Selamat Tahun Baru
Xin Nian Kuai Lek
新年快樂
~oooOOOooo~
Fiksi Imlek
Ilustrasi "Sky Lantern Sa Pualas" dari wikimedia.org
Video "Ode to My Family-The Cranberries"
~Hsu~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H