Mohon tunggu...
Hsu
Hsu Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang manusia biasa

Somewhere Only We Know

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kota Air

22 Januari 2014   02:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:36 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13903305011565654558

Tekun bekerja dan semangat selalu aku hembuskan dalam hembusan napas pagi ketika berjalan kaki dari rumah deret kontrakan yang lokasinya tak jauh dari pabrik tempatku bekerja. Meskipun kadang tak sarapan dan kadang tanpa segelas kopi pun aku tetap semangat. Apalagi jika sudah berhadapan dan tatap-tatapan mata dengan seorang gadis yang line kerjaannya hadap-hadapan denganku.

Deg... deg... deg... jantung berdegup kencang ketika berpandangan dengannya. Ahh membuatku jadi salah tingkah saja tapi senang dan bahagia rasanya. Haduh... inikah cinta? Dia lah gadis yang meluluhkan hati dan jiwaku... hahay... dia lah Teri, lengkapnya Wateri. Dan singkat cerita walaupun pacarannya sembunyi-sembunyi karena takut jadi gosip di pabrik. Akhirnya kuputuskan untuk melamarnya. Wateri sendiri berasal dari Swarnadipa, tapi ke dua orangtuanya sebenarnya asli Jawadipa. Semakin nyambung jadinya.

Setelah menikah di desa dan kembali ke pekerjaan, maka di rumah deret kontrakannya pun tak lagi sendiri. Ada isteri yang cantik menemaniku. Indah dan bahagia, serta nikmat juga rasanya. Pengantin baru, walaupun rumah masih ngontrak, judulnya aku bahagia dan memiliki tanggung jawab membahagiakannya lahir bathin.

Hampir lima tahun berumah tangga, dan lima tahun pula tinggal di kontrakan. Hingga akhirnya atas inisiatif Wateri, kami sepakat untuk mengajukan kredit rumah. Kebetulan tak jauh dari lokasi pabrik mulai dibangun perumahan BTN alias Bayar Tapi Nyicil istilah kerennya waktu itu.

Sebenarnya menurut penuturan beberapa teman yang sama-sama bekerja di pabrik dan kebetulan adalah penduduk asli daerah situ telah menyarankan agar berpikir kembali, karena daerah yang kini di bangun perumahan itu tadinya adalah rawa-rawa yang kemudian diuruk dengan menggunakan tanah kerukan yang dibuat anak sungai.

Namun menurut Wateri isteriku, jika tidak segera, kapan lagi kami akan memiliki rumah sendiri. Tidak harus bayar kontrakan setiap bulan namun kontrakannya tak pernah jadi milik. Dan akhirnya aku mengikuti apa yang isteriku katakan.

***

Alangkah bersukacitanya ketika pihak bank mengabarkan bahwa pengajuan kredit rumah kami disetujui dan setelah tanda tangan pada perjanjian kredit, maka kunci rumah pun di serahkan. Rumah baru, rumah sendiri walaupun masih belum resmi milik karena harus bayar kreditan. Rumah yang nyaman walaupun hanya ada satu kamar dan belum ada pagarnya. Dicicil sedikit-sedikit pasti bisa kataku. Rajin menabung dan berhemat adalah kuncinya. Hidup sederhana. Rumah yang nyaman juga untuk mulai melepas alat kontrasepsi dan ikut anjuran pemerintah waktu itu yaitu "dua anak cukup". Keluarga kecil berencana yang bahagia. Alamaaakkk.

***

Sepuluh tahun berlalu setelah itu. Kami sudah memiliki dua orang puteri. Yang sulung Waterna dan yang bungsu Waterni. Perabotan rumah yang kami beli secara cicilan dan satu demi satu dapat dikatakan sudah memadai dan bagus. Pohon mangga yang kutanam di halaman depan pun sudah tiga kali berbuah. Buah yang besar dan manis. Semanis perjalanan hidupku. Hhmmm tinggal memikirkan membeli kendaraan untuk keluarga. Namun yang utama pendidikan puteri-puteri kami tentunya. Rajin menabung. Tanggung jawabku makin berat karena Wateri sudah full mengurus rumah tangga sejak puteri pertama kami lahir.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun