Namaku Tero, lengkapnya sih Watero. Sebuah nama sederhana namun aku sangat bangga karena itu nama yang diberikan ke dua orang tuaku. Usiaku sekarang sudah mencapai kepala empat, tidak muda lagi. Aku telah berkeluarga. Isteriku bernama Wateri. Loh kok mirip? itu pun bukannya kebetulan, sudah jodohnya, sudah ada yang mengatur. Malah jadi bagus dan seimbang serta indah. "Yang Berbahagia Watero dan Wateri" demikian yang tertulis dalam surat undangan berwarna merah muda bermotifkan ukiran bunga yang sederhana sekitar dua puluh tahun yang lalu.
Selama dua puluh tahun menikah, sudah dianugerahi dua orang puteri yang pastinya cantik-cantik. Mereka berdua cantik-cantik karena Wateri isteriku itu pun cantik. Kata siapa? ya kataku sendiri lah. Terlalu membanggakan diri sendiri? sebenarnya tidak, karena aku ini orangnya apa adanya saja. Puteri pertamaku namanya Waterna dan Puteri ke duaku namanya Waterni. Nama-nama sederhana seperti nama Bapak dan Ibunya.
Cerita ini adalah cerita tentang dua puluh tahunan lebih yang lalu hingga sekarang. Ceritanya dari ketika lulus sekolah menengah atas di sebuah desa kecil di Jawadipa. Mulai jelas kan jika aku ini asalnya dari desa. Seperti kebanyakan orang desa yang ingin sekali mengadu nasib dan bekerja di kota besar. Singkatnya ingin sukses. Aku pun demikian. Namanya saja sudah lulus SMA, masa sih mau turun ke ladang dan sawah. Itu pemikiranku dulu. Padahal sebenarnya yang namanya bekerja di ladang ataupun di sawah, jika dikerjakan dengan tekun pun bisa sukses. Yah namanya dulu itu gak terpikir begitu. Tahunya jika ingin sukses ya harus merantau ke kota besar.
Akhirnya dengan modal minta ongkos dari hasil panen ladang orang tuaku, berangkatlah aku menuju Ibukota. Perjalanan jauh dengan menaiki ojek motor hingga ke terminal bis antarkota. Dengan membawa tas gemblok di punggung yang isinya hanya beberapa potong pakaian untuk salinan serta ijazah SMA ku.
Perjalanan berjam-jam menuju Ibukota membuat pinggangku rasanya hampir patah dan kaki jadi banyak semutnya. Banyak semut bukan karena ada gulanya. Kesemutan. Kebetulan di dalam tasku ada karet gelang yang kemudian kuikatkan ke bagian yang kesemutan dan selang beberapa menit kesemutannya pun hilang. Terminal bis yang di sekelilingnya banyak bangunan bertingkat. Ketika menatap sekeliling terminal, barulah aku ini sadar bahwa aku ini hanya sendiri, tiada seorang pun yang aku kenal, tiada seorang pun kerabat atau pun saudara di Ibukota ini.
Tersadar pula tak tahu harus mulai melangkah ke mana. Kebingungan melanda sambil merogoh saku celana. Ada tiga puluh satu ribu rupiah. Jumlah yang lumayan untuk saat itu. Tapi tak tahu bisa bertahan berapa lama. Satu minggu hanya berdiam di terminal bis itu. Mandi dan cuci pakaian di wc umum terminal. Makan pun di warung sekitar terminal dan hanya berani makan sekali dalam satu hari.
Uang yang makin menipis hingga akhirnya bisa ngobrol dengan seorang sopir angkutan yang kebetulan berasal dari daerah yang sama. Curhat lah akhirnya dengannya. Dulu sih belum ada istilah curhat. Mengungkapkan isi hati. Yah akhirnya juga ikutlah dengan Mas Sopir itu, jadi kernet alias kondektur. Barulah kemudian melanglang Ibukota sebagai kernet angkutan umum. Lumayan buat bertahan hidup dan bisa beli koran serta kertas dan map nya buat kirim-kirim lamaran kerja serta bisa untuk bayar sewa kamar alias ngekos yang murah meriah dengan judul utamanya adalah bisa buat selonjoran badan. Entah berapa banyak lowongan pekerjaan dan juga lamaran yang aku kirimkan selama hampir satu tahun.
Sampai akhirnya ada sebuah pabrik di daerah kawasan industri di kota kecil sebelah barat Ibukota. Akhirnya dapat juga kerjaan formal. Sebagai buruh pabrik. Ada setitik cahaya harapan menuju kata sukses.
Semangat berapi-api tentunya. Setelah bicara dengan Mas Sopir yang jadi dewa penolongku ketika tak tentu arah tujuan di terminal bis. Dengan restu dan senyum khasnya, ia pun mendoakan agar bisa lebih baik nasibnya daripada dirinya. Aamiin kataku. Membungkukkan badan di hadapannya aku pun pamit menuju kota di bagian barat Ibukota.
***