"... mereka dan mereka selalu berkata dan terngiang di telinga...
Waktu dapat menyembuhkan dan membuat kita melupakan luka dalam hati kita...
Namun...
Apa yang telah berlaku sesungguhnya amatlah sulit untuk menghapusnya dari ingatan."
***
Hujan yang mulai turun untuk kesekian kalinya di akhir Oktober masih begitu malu-malu. Rinainya mengiringi tatapan kedua mata seorang gadis cilik berambut sebahu. Tatapan dari luar jendela kepada sosok wanita di dalam bangunan kayu yang tampak duduk tertunduk menatap sebuah kertas kecil berisi tulisan pendek dan sebuah Kembang Gula kecil berbentuk hati di atas meja kayu berbentuk bundar. Hanya diterangi cahaya sebatang lilin putih kecil. Â Ada derai air mata dalam isak tangis dan doa-doa dari bibir wanita itu.
"Mengapa Kau tak masuk ke dalam May?"
May menengok ke belakang...
"Ayah... Ayah??? Bukankah Ayah Sudah..."
Telunjuk kanan yang diletakkan di depan bibir menghentikan suara tanya May...
"Apa yang kau rasakan kini May?"
"Aku bisa melihat Ayah!"
"Berarti kau sudah tahu artinya kan May? Suara tangisan Ibumu dan juga suara hatimu yang begitu sedih telah membawa langkahku ke tempat ini kembali. Atas perkenan Yang Kuasa tentunya."
"Ayah... apakah aku pun sudah...???"
"Jika kau bisa melihatku berarti memang sudah... Apa sesungguhnya yang terjadi May?"
May menggelengkan kepalanya beberapa kali... "Aku tak ingat apa yang telah terjadi Yah!"
"Jika begitu mari kita masuk dan tunggu hingga Ibumu tertidur, nanti kita bisa melihat apa yang telah terjadi melalui mimpi Ibumu! Kita berdua punya waktu selama 49 malam untuk mengetahui apa yang telah terjadi."
May menarik lengannya dari genggaman jari-jemari Ayahnya sambil menundukkan wajahnya.
"Mengapa?"
"Aku... aku takut Ibu Marah Yah!"
"Ibumu tak akan marah... ayolah!"
May akhirnya tak menolak lagi dan mengikuti langkah Ayahnya. May masih kebingungan manakala mereka berdua bisa menembus dinding kayu rumah itu.
***
Dalam ruangan yang hanya diterangi sebatang lilin putih di atas meja di hadapan sang Ibu yang masih tetap memandangi sehelai kertas berisi tulisan pendek dengan sebuah Kembang Gula kecil berbentuk hati. May dan sang Ayah berdiri membelakangi sang Ibu. Suara isak tangis sang Ibu rupanya membuat May tertunduk seperti orang menangis, namun tiada setitik pun air mata keluar dari ke dua mata May. May tampak bingung dan menoleh menatap sang Ayah.
"Kita bisa bersedih namun tak akan ada lagi air mata dari ke dua mata kita May... berbeda dengan Ibu yang masih dalam alam Dunia. Keadaan kita berdua dan Ibumu kini berbeda!"
May kembali menunduk.
***
Beberapa lama menunggu, sang Ibu akhirnya merebahkan dirinya di atas kasur kapuk yang sudah lusuh juga bantal-bantalnya. Mereka pun menunggu, bahkan hingga waktu menjelang Fajar, tak ada mimpi apapun dalam tidur sang Ibu.
Fajar. Waktu mereka berdua harus kembali ke alam mereka yang baru.
"Sabarlah May, mungkin besok atau besok lagi atau mungkin pada hari terakhir nanti pada malam ke 49 kita baru akan tahu apa yang sesungguhnya terjadi! Sabarlah!"
May mengangguk kemudian menunduk. Ia pun mengikuti langkah sang Ayah.
***
Malam demi malam mereka lalui, namun hingga malam ke-48 pun mereka belum bisa mengetahui apa yang telah terjadi karena belum ada mimpi apapun dari sang Ibu.
***
Malam ke-49. Malam terakhir bagi May dan Ayahnya untuk bisa mengetahui apa yang telah terjadi. Hujan deras dan rintik-rintik silih berganti. Waktu telah hampir menyambut sang Fajar. Terdengar suara rintihan dari bibir sang Ibu yang tertidur. Mereka berdua pun terduduk. Di atas tubuh sang Ibu yang berbaring seolah tercipta sebuah layar besar seperti layar televisi dalam dunia nyata.
Tampak sang Ibu sedang merapikan dagangan Kue-kue basahnya ke dalam keranjang yang biasanya digunakan untuk berkeliling menjajakan ke setiap sudut kota sambil berjalan kaki. Sementara May tampak sedang membereskan sesuatu.
"Tolong kamu bereskan dan potong daun-daun pisang itu seperti yang tadi Ibu berikan contoh May! Hari ini kamu libur sekolah, jadi tolong jangan pergi bermain, bantu Ibu membereskan daun-daun itu untuk dagangan esok hari! Ingat sekali lagi jangan pergi bermain ya!"
"Ya Bu!" May mengangguk sambil memandang Ibunya yang mulai akan berjualan keliling.
Satu jam sepeninggal Ibunya, May masih tampak sibuk merapikan helai demi helai potongan daun pisang sesuai dengan contoh dari Ibunya. Namun beberapa menit kemudian. May bangkit dari duduknya, melihat kalender bulanan yang ada di dinding kayu, kemudian masuk ke kamar dan membuka buku catatan kecilnya.
May memandangi tulisan pada bagian tengah buku catatannya, kemudian membuka lemari pakaian dan berjongkok mengambil sesuatu dari bawah alas kotak lemari yang paling bawah. May kemudian keluar rumah entah untuk melakukan apa.
***
Hari libur menjadikan dagangan Ibu May begitu laris. Hanya seperempat dari waktu biasanya ia berjualan, dagangannya telah habis. Ia pun pulang ke rumah dengan hati gembira. Membuka pintu tak menemukan diri May dan hanya ada potongan-potongan daun pisang yang belum selesai dirapikan.
"May ini benar-benar tak mau mendengar apa kata Ibunya rupanya. Anak ini harus dihukum agar tak lagi mengulangi apa yang sudah dilakukannya ini!"
Selesai berkata seperti itu, Ibu May segera menutup pintu rumah dan menguncinya dari dalam sejak siang itu.
Beberapa jam kemudian, terdengar suara May mengetuk pintu dan memanggil-manggil Ibunya. Namun Ibunya yang kesal tak menghiraukannya. Ibunya diam dengan maksud agar May tak lagi bandel dan tak mengulangi lagi. Bahkan hingga malam hari dan turun hujan pun, Ibu May tetap mengunci pintu, dan dirinya lupa untuk mengakhiri hukuman untuk May. Hingga pagi harinya ia terbangun dan ingat. Seketika, Ibu May pun berlari menuju pintu rumah dan membukanya.
May terbaring di lantai di depan pintu dalam keadaan tubuh basah kuyup. Ibunya berusaha membangunkan May karena mengira May tertidur. Beberapa kali ia berusaha membangunkan. May tetap diam. Digoyang-goyangkannya pun May tetap diam. Seketika itu juga tangisnya pun pecah, ia terduduk lemas manakala menyadari bahwa tubuh May sudah begitu dingin dan kaku, tiada lagi ada deru nafas dari lubang hidung May. May tergolek dingin telungkup dengan jari-jari lengan kanan memegang sesuatu. Di tengah tangisannya, Ibu May berusaha membuka genggaman jari tangan kanan May. Dan ketika jari-jari yang mengepal itu terbuka, tampak sebuah bungkusan kertas kecil. Ia membukanya... membuka lipatan kertas yang ternyata berisi sebuah Kembang Gula kecil berbentuk hati dan sebaris kata-kata bertuliskan...
"Selamat Ulang Tahun Ibu... Maafkan May... May hanya punya uang untuk membeli Kembang Gula kecil ini sebagai hadiah untuk ulang tahun Ibu!"
Semakin pecahlah tangisan sang Ibu ketika membaca tulisan itu!
***
May seketika menoleh ke Ayahnya yang tiba-tiba bangkit dan melangkah keluar rumah. May mengikuti perlahan, tak berani terlalu dekat. Ayahnya bersimpuh dan menangis. May menghampiri dan kemudian bersimpuh jua di hadapan Ayahnya.
"Ayah menangis? Ayah punya air mata? Bukankah jika sudah meninggal seperti kita ini tak bisa lagi mengeluarkan air mata Yah?"
"Entahlah May... Hanya Tuhan yang tahu!"
"Ayo kita pergi, sebentar lagi Fajar. Oh iya tenanglah, Ibumu tak akan marah lagi padamu May! Dan janganlah Kau marah padanya jua."
May mengangguk dan tersenyum, lalu menjulurkan sebelah lengannya dan meminta Ayahnya untuk bangkit.
***
"Waktu akan menyatukan kita kembali bersama!"
~000OOO000~
Notes: Dalam Kepercayaan tradisi Tionghoa, bahwa selama 49 hari roh dari seseorang yang meninggal masih kuat ikatannya dengan alam Dunia. Merupakan masa peralihan yang penting baik bagi anggota keluarga yang ditinggalkan (seperti permohonan maaf jika ada kesalahan) maupun bagi yang meninggal (doa-doa dari seluruh anggota keluarga).
~Based on True Story & My Imagination~
Ilustrasi "Lonely" dari devilsfoe.com
Backsound "Heaven Knows" - Rick Price (Gian Gloria Cover)
~Hsu~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H