Mohon tunggu...
Aryananda Ranggabuana
Aryananda Ranggabuana Mohon Tunggu... wiraswasta -

“All journeys eventually end in the same place, home.” ― Chris Geiger

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menang dalam Sebuah Perdebatan yang Lain

15 Juli 2014   03:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:19 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1405342236640577410

Aku baru saja membaca sebuah tulisan yang topiknya di seputar adagium vox populi vox dei lalu dikaitkan dengan hasil Pilpres 2014. Meski topiknya berkait masalah politik, namun aku akan membahas aspek logisnya. Maka tulisan ini ku masukkan ke dalam kanal filsafat.

Menurut penulisnya, dalam Pilpres 2014 tidak ada vox dei karena:

Pertama, vox populi vox dei berarti, misalnya, mayoritas rakyat menuntut pergantian Presiden secara inkonstitusional. Estimasi angkanya adalah 99 %.

Kedua, karena Pilpres 2014 prosentasi perolehan suara untuk kedua kubu 50 % berbanding 50 % maka kesimpulannya adalah tidak ada vox dei dalam Pilpres 2014.

Setelah membaca argumen di atas, aku pikir penulisnya patut diberi apresiasi untuk kemenangannya dalam sebuah perdebatan yang lain, tapi bukan perdebatan mengenai makna vox populi vox dei dalam konteks Pilpres 2014.

Mengenai apakah vox populi pasti merupakan vox dei, rasanya itu tidak perlu dibahas. Kita semua tahu bahwa Hitler pun menjadi penguasa karena vox populi. Jadi vox populi tidak selalu sama dengan vox dei.

Dan sebaliknya juga benar bahwa tidak selalu suara minoritas bukan merupakan suara Tuhan.Alcuin, seorang ilmuwan asal Inggris yang menulis surat kepada Charlemagne (thn. 789), menyatakan, "Jangan dengarkan orang yang mengatakan 'suara rakyat suara Tuhan' karena kerumunan orang banyak sangat dekat dengan kegilaan".

Maka diperlukan kriteria pengamatan yang lain untuk menentukan apakah pejabat terpilih mewakili vox dei atau sebenarnya hanya mewakili vox populi saja.

Terlepas dari itu, atas dasar apa penulis menganggap bahwa vox populi berarti 90 % baru bisa disebut vox dei? Tidak ada acuan objektif apa pun untuk asumsi seperti ini. Bukankah dalam sistem demokrasi yang dianut di Indonesia, vox populi berarti memperoleh suara di atas 50 % dan beberapa syarat pendukung lainnya berkait perhitungan suara.

Lebih terangnya, menurut pengamatanku, penulisnya mengidap dua false assumption.

Pertama, asumsi yang salah bahwa suara rakyat (mayoritas) pasti berarti suara Tuhan. Itulah sebabnya, ia menolak menyebut hasil Pilpres ini sebagai "tidak ada suara Tuhan".

Kedua, asumsi yang salah bahwa vox populi harus berarti 99 %.

Kembali ke komentarku dalam paragraf sebelumnya. Penulis menciptakan kriteria yang entah dari mana ia dapatkan. Berdasarkan kriteria "asing" itu ia merumuskan argumen. Dan argumennya berhasil berdasarkan kriteria asing. Maka, penulis memenangkan sebuah perdebatan asing, tetapi bukan perdebatan yang sesungguhnya mengenai makna vox populi vox dei dalam konteks Pilpres 2014.

Kadang-kadang orang terjun ke dalam sebuah perdebatan lalu menjadi pemenang untuk perdebatan lain, bukan perdebatan yang ke dalamnya ia sedang menceburkan diri.

[caption id="attachment_333673" align="aligncenter" width="420" caption="http://i1.ytimg.com"][/caption]



*** Makasih buat Om Dean yang mengedit, menambahkan gambar, dan memosting tulisan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun