Sementara Harun Nasution membentuk landasan rasionalisme dalam pemikiran Islam, Nurcholish Madjid, atau Cak Nur, menambahkan dimensi sosial dan politik yang lebih luas. Cak Nur dikenal sebagai pemikir Muslim yang menolak formalisasi agama dalam politik melalui slogannya yang terkenal, "Islam Yes, Partai Islam No." Ia meyakini bahwa Islam sebagai ajaran agama harus diintegrasikan ke dalam etika kehidupan pribadi dan sosial, bukan dimanifestasikan dalam bentuk partai politik atau simbol-simbol formal lainnya.
Cak Nur memperkenalkan gagasan pluralisme dan sekularisasi dalam arti bahwa agama tidak harus selalu dihubungkan dengan struktur politik formal, tetapi lebih kepada nilai-nilai moral yang menjadi fondasi masyarakat yang adil dan damai. Pemikiran ini, meskipun kontroversial pada masanya, menjadi landasan penting bagi diskusi tentang hubungan agama dan negara di Indonesia.
Pidato Cak Nur pada pertemuan sillaturrahmi para aktivis organisasi Islam (Persami, HMI, GPI dan PII) 3 Januari 1970 yang berjudul "Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat" merupakan titik balik bagi pemikiran Islam progresif di Indonesia. Dalam pidato tersebut, ia menekankan pentingnya pembaruan pemikiran Islam yang sejalan dengan modernitas dan kontekstualisasi Islam dalam realitas sosial-politik Indonesia. Gagasan ini mencerminkan arah baru dalam memahami Islam, yang membuka ruang bagi toleransi, keterbukaan, dan dialog lintas agama.
Warisan Pemikiran Progresif: Mazhab Ciputat dan Pengaruhnya
Mazhab Ciputat, yang berkembang dari pemikiran dua tokoh ini, menjadi pusat bagi intelektual Muslim yang mendorong pendekatan progresif terhadap Islam. Mazhab ini tidak hanya berfokus pada upaya rekonstruksi pemikiran teologi, tetapi juga pada perubahan sosial yang lebih luas, termasuk isu-isu tentang demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme.
Pemikiran Harun Nasution dan Nurcholish Madjid memperkaya khazanah pemikiran Islam di Indonesia dengan membuka ruang bagi dialog yang lebih rasional dan inklusif. Mazhab Ciputat mendorong umat Islam untuk beradaptasi dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan esensi spiritualitas dan moralitas Islam. Warisan mereka telah mengilhami berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis sosial, hingga politisi, untuk terus mengeksplorasi cara-cara baru dalam mengintegrasikan Islam dengan nilai-nilai modern.
Generasi penerus Mazhab Ciputat, baik di lingkungan akademik maupun di luar, terus mengembangkan pemikiran ini. Mereka tetap konsisten memperjuangkan Islam yang ramah terhadap perubahan zaman, yang mendorong kebebasan berpikir dan menghargai keberagaman. Pemikiran progresif ini juga memberikan kontribusi besar dalam memperkuat demokrasi di Indonesia, dengan menekankan pentingnya toleransi, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Catatan Penutup
Harun Nasution dan Nurcholish Madjid adalah dua tokoh kunci dalam sejarah pembaruan pemikiran Islam di Indonesia. Dengan rasionalisme dan inklusivisme mereka, keduanya telah menciptakan dasar intelektual bagi Mazhab Ciputat, yang sampai hari ini terus mempengaruhi pemikiran dan praktek keagamaan di Indonesia. Pemikiran progresif mereka tidak hanya relevan dalam konteks akademik, tetapi juga dalam pembentukan masyarakat yang lebih adil, toleran, dan demokratis.
Warisan intelektual ini memberikan kontribusi besar bagi generasi Muslim Indonesia dalam menghadapi tantangan zaman modern. Harun Nasution dan Nurcholish Madjid, sebagai Bapak Mazhab Ciputat, telah menunjukkan bahwa Islam dapat terus relevan dan dinamis jika dipahami secara kritis dan inklusif, menjadikan mereka sebagai ikon pembaruan Islam yang akan terus dikenang dan dipelajari oleh generasi mendatang.
(Study Rizal LK adalah Dosen Tetap FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)