Akhirnya, Pengadilan Negeri Tangerang mewajibkan Prita membayar denda 204 juta rupiah kepada RS Omni, dan putusan ini dikukuhkan oleh Pengadilan Tinggi Banten. Putusan ini memicu simpati publik yang kemudian membentuk kelompok ''Koin Untuk Prita''.
Kasus lain yang sempat hangat ialah ketika Tifatul Sembiring memutuskan vendor Balacberry akan diblokir di Indonesia. Namun komentar nitizen di medsos yang semakin menggemakan 'kebebasan beropini' Â menimbulkan kebingungan saat itu. Di media online tentu banyak membicarakan hal ini sehingga membentuk opini public bahwa sang Mentri mengekang kebebasan informasi dan berpendapat. Padahal pihak Kementrian berkerja sesuai aturan dan ketetapan hukum UU ITE, Pemerintah sempat mengajukan tuntutan kepada Research In Motion (RIM) terkait kasus perundangan ITE ini.
Hal ganjil yang muncul dalam benak netizen akibat tergiring opini public tercermin dari kasus pemblokiran situs prono di Blackberry dan dikait-kaitkan pada pengekangan kebebasan informasi. Padahal sesungguhnya Indonesia mengalami kerugian besar atas kejadian ini. Kasus UU ITE lain yang mengundang perhatian public ialah kasus pemblokiran pada 22 situs media Islam yang dianggap mengajarkan paham radikal, sesuai permintaan BNPT.
Dari beberapa kasus di atas dapat kita lihat banyak hal yang membuat opini public disalah artikan di social media. Di satu sisi penting dalam menegakkan UU ITE untuk melindungi rakyat namun di sisi lain terkesan membatasi kebebasan informasi. Realitasnya, media sosial nyatanya lebih cepat mengiring public opinion bahkan sebelum keputusan pengadilan dikeluarkan.Â
Akibat buruk lain dari pembentukan public opinion ini ialah  banyaknya Media Sosiall menjadi lahan subur bagi ujaran kebencian atau permusuhan antar golongan. Debat yang tidak sehat tentang isu atau berita sensitif menimbulkan kebingungan di tengah khalayak. Seperti banyaknya kasus cuitan-cuitan yang mengandung ujaran kebencian, hoax hingga penistaan.
Keterbukaan informasi akibat digitalisasi zaman melenial memang dapat mendukung kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Namun disisi lain ini dapat menjadi boomerang akibat sulitnya mengendalikan opini massa baik di media online.Â
Media cyber ini sangat cepat dalam membentuk opini publik. Dari kasus-kasus diatas, netizen layaknya lebih waspada, lebih cerdas, dan benar-benar memahami dalam pengunaan media sosial. Tentunya pengawasan dan aturan dalam jagat internet ini patut dipahami bagi semua penguna MedSos, hingga pelaku bisnis E-commerce.
Penulis
Rizki Maulida
Mahasiswa Master di Henan University
Anggota Pusat Kajian BRI PPI Tiongkok
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI