Kajian tentang pertemuan kebudayaan Nusantara dan China (Tiongkok) telah dilakukan para peneliti. Antara lain ditulis oleh Richadiana Kadarisman Kartakusuma (2016). Menurut Kartakusuma, sudah sejak lama telah terjadi proses akulturasi (penyatuan; pertemuan kebudayaan) dan hibridisasi (percampuran) antara kebudayaan Nusantara dan China.
Proses akulturasi dan hibridisasi dua kebudayaan ini terjadi terutama dipicu oleh adanya migrasi orang-orang China yang berulang-ulang ke wilayah Nusantara. Kedatangan bangsa China di kepulauan Nusantara telah berlangsung sejak abad ke-2 Masehi.Â
Selain dalam dunia perdagangan dan konsep hunian, sentuhan kebudayaan China juga menggoreskan jejak dalam bidang pertanian. Pada sisi yang lain, kondisi ini menguatkan pengaruh China di dalam kehidupan masyarakat Nusantara (Kartakusuma, 2016).
Temuan riset lain menjelaskan, gelombang kehadiran bangsa China khususnya mereka yang berasal dari pegunungan Yunan di wilayah Nusantara bahkan sudah berlangsung sejak 1500 dan 2500 tahun sebelum Masehi (Hall, 1960 dan Winstedt, 1947).Â
Menurut Haziyah Hussin, pada awal Masehi peradaban China di Campa (Kamboja) dan Funan (selatan Vietnam) sudah saling memberi warna-pengaruh sistem perpolitikan di Nusantara (Hussin, 2004).
Bukti adanya hubungan saling-pengaruh antara kebudayaan Nusantara dan China juga terabadikan dalam seni arsitektur yang hingga kini masih bisa ditemukan di beberapa tempat di Indonesia. Salah satunya adalah gaya arsitektur Klenteng Jin De Yuan, di kawasan pecinan Jakarta.
Kelenteng Jin de Yuan merupakan salah satu kelenteng tertua di Jakarta, yang dari tahun 1650 hingga saat ini masih berdiri dengan kokoh. Dari bentuk bangunan klenteng, kita bisa melihat arsitektur bergaya China, dengan ciri khas di bagian atapnya terdapat sejenis pelana dan ekor wallet, sementara di bagian ujung melengkung ke atas.Â
Demikian pula dengan pemilihan warna yang melibatkan unsur fengsui sesuai dengan tradisi pengetahuan bangsa China. Ada satu lagi, pembagian area di dalam klenteng mengikuti ciri khas arsitektur China (Salim, 2012).
Khusus dalam kaitannya dengan analisis asal-usul masuknya Islam di Nusantara, juga terdapat laporan penelitian yang menegaskan bahwa Islam yang saat ini tumbuh dan berkembang Nusantara berasal dari China (Al Qurtuby, 2003)---selain juga terdapat teori yang mengatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India, dan ada lagi yang menyimpulkan berasal dari Timur Tengah (Azra, 2004).
Menurut sebagian ahli sejarah Islam dan Jawa, komunitas China-Muslim telah memberikan kontribusi yang cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara, khususnya Jawa. Eksistensi China -muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh kesaksian para pelancong asing, sumber-sumber China, teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, tetapi juga didukung peninggalan-peninggalan purbakala Islam di Pulau Jawa.
Peninggalan lama berupa ukiran padas di masjid kuno Mantingan (Jepara, Jawa Tengah) menara masjid pecinan di Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik (Jawa Timur), arsitektur keraton Cirebon (Jawa Barat) beserta taman Sunyaragi, konstruksi Masjid Agung Demak (Jawa Tengah) terutama soko tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura (juga disebut bulus), konstruksi masjid Sekayu di Semarang (Jawa Tengah) dan peninggalan lain, semuanya menunjukkan adanya pengaruh budaya China yang kuat.
Bukti lain adanya hubungan Islam di Nusantara dan China adalah dua bangunan masjid yang berdiri megah di Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid Kebun Jeruk, yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai (Al Qurtuby, 2003).
Dalam konteks ini, ilustrasi bledek di pintu utama Masjid Agung Demak serta gambar bulus di mihrab (tempat pengimaman) Masjid Agung Demak menarik untuk dicermati. Makhluk yang bernama bledek digambarkan berbentuk makhluk raksasa dengan mata melotot lebar, bertaring, lidah menjulur, tubuhnya panjang bersisik, di bagian ekor seperti terdapat api yang menyala-nyala.
Dalam cerita tutur yang mashur di kalangan masyarakat Jawa, bledek tidak lain adalah petir yang berwujud naga raksasa yang berhasil ditangkap Ki Ageng Selo.
Sementara itu, hewan bernama bulus (kura-kura) saat ini sudah menjadi binatang setengah-langka. Binatang ini sulit ditemukan, kecuali di tempat-tempat tertentu. Tetapi yang menarik, dua makhluk ini (gambar bledek dan bulus) diabadikan di dalam Masjid Agung Demak yang diyakini sebagian besar masyarakat Nusantara dibuat oleh para wali sembilan yang keramat itu.Â
Tidak tanggung-tanggung, dua makhluk ini diletakkan di tempat yang cukup istimewa, yaitu di dalam ruangan masjid. Ilustrasi bulus terdapat di pengimaman, sedangkan gambar bledek terdapat di pintu utama masjid. Menarik, bukan?
Menurut Solichin Salam, makhluk bledek yang terukir di pintu utama Masjid Agung Demak bernama naga salira wani, yaitu candrasengkala yang menyimbolkan tahun Saka 1388 (bertepatan dengan 1466 M, atau 887 H).Â
Angka ini diduga sebagai tahun berdirinya Masjid Agung Demak. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Pintu Bledeg yang dibuat oleh Ki Ageng Sela pada zaman wali ini bisa menangkal petir.
Sebagaimana dengan penafsiran atas Pintu Bledeg, gambar bulus juga diduga sebagai simbol yang menerangkan angka tahun (Salam, 1960). Gambar mirip bulus di dalam mihrab adalah prasasti  atau candra sengkala memet, yang memiliki arti "Sarira Sunyi Kiblating Gusti".Â
Menurut sebagian ahli sejarah, kalimat Jawa kuna itu menerangkan angka tahun 1401 Saka, atau 1479 M. Gambar bulus terdiri dari kepala yang berarti angka 1 (satu), kaki 4 berarti angka 4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu). Berdasarkan candra sengkala memet ini bisa diambil kesimpulan, Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Terlepas dari beragam analisis para pakar mengenai makna ilustrasi bledek dan bulus di dinding Masjid Agung Demak, penulis ingin menegaskan bahwa dua ilustrasi bledek dan bulus yang terdapat di salah satu sudut dinding Masjid Agung Demak mengindikasikan bila bangunan masjid yang dibuat para wali penyebar Islam di tanah Jawa itu dipengaruhi oleh sentuhan arsitek gaya China.
Sampai di sini, penulis kemudian ingat dengan gambar atau simbol yang sangat populer di tengah masyarakat China, yaitu gambar ular naga. Hingga saat ini kita bisa dengan mudah menemukan ukiran kayu atau batu berbentuk kepala naga, atau naga lengkap dari kepala hingga ekor.Â
Saya pernah tertegun, karena simbol naga juga bisa ditemukan di area masjid-masjid tua di China. Bukankah ini mengingatkan gambar naga di pintu Masjid Agung Demak?
Dalam temuan penulis, di sana juga terdapat dua benda yang familiar bagi masyarakat Jawa, yaitu Lingga dan Yoni. Uniknya, dua benda ini juga muncul di area masjid di China. Pemandangan yang sama juga penulis alami ketika berziarah ke salah satu makam keramat di Tuban, Jawa Timur.
Setelah melewati tembok pagar sebelum masuk di area inti makam, penulis menjumpai dua lingga di sisi kana dan kiri. Ada satu lagi, di area makam keramat Sunan Prawoto di Prawoto, Pati, Jawa Tengah, penulis juga menjumpai Linga dan Yoni. Bukan sekali lagi terdapat kemiripan karakter jejak keislaman di Nusantara dan China?
Pemaparan dalam paragraf-paragraf di atas semakin memperkuat dugaan yang menyatakan bahwa Islam yang sampai ke Nusantara dibawa oleh komunitas muslim (da'i profesional, pedagang, masyarakat muslim biasa, penguasa dan lain sebagainya) yang berasal dari China.Â
Simbol-simbol keislaman baik yang ada di Nusantara mupun di China, dan juga karakter para pemeluknya memiliki kemiripan karakter. Misalnya, baik Islam di Nusantara maupun di China akrap dengan kebudayaan setempat.
Iya, antara Islam di Indonesia dan di China memiliki relasi dan saling mempengaruhi.
Di atas itu semua, menjadi sangat jelas bahwa terdapat kesamaan dan saling-mempengaruhi antara kebudayaan di Nusantara dan di China. Relasi dan kemiripan antara keduanya hingga hari ini masih meninggalkan jejak, mulai dari pengetahuan lokal, artefak, konsep hunian, hingga manuskrip sejarah dan cerita tutur yang tersimpan di tengah masyarakat.Â
Temuan atau kesimpulan dari kajian sejarah ini bisa menjadi modal bagi kedua belah pihak untuk bersinergi, saling belajar dan memperkuat antara satu dengan lainnya. Hari ini masyarakat dunia membutuhkan bangsa-bangsa yang kuat namun sekaligus memiliki kepedulian terhadap nasib sesama.
(Pengamatan Masjid Agung Demak dan Masjid Niujie Beijing)
* * *
Ali Romdhoni, MA.
Kepala Pusat Kajian Ekonomi, Sosial, dan Budaya PPI TiongkokÂ
Wakil Rais Syuriah Pengurus Cabang Istimewa NU TiongkokÂ
Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H