Wedang merupakan minuman tradisional khas Nusantara yang sudah dikenal sejak lama, terutama di wilayah Jawa. Kata "wedang" berasal dari bahasa Jawa yang berarti "minuman". Minuman ini biasanya disajikan hangat dan terbuat dari berbagai campuran rempah-rempah yang tidak hanya memberikan rasa lezat, tetapi juga manfaat kesehatan. Di tengah perkembangan zaman dan hadirnya minuman modern, wedang tetap bertahan sebagai pilihan minuman alami yang digemari banyak orang.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran akan gaya hidup sehat, wedang semakin mendapat perhatian sebagai minuman yang menyehatkan. Wedang sering kali diracik dari bahan-bahan alami seperti jahe, sereh, kayu manis, dan berbagai rempah lainnya yang memiliki khasiat untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan menghangatkan badan. Minuman ini tidak hanya cocok dikonsumsi di musim dingin, tetapi juga di saat tubuh membutuhkan kehangatan dan energi tambahan.
Keberagaman jenis wedang juga menjadi daya tarik tersendiri. Setiap daerah memiliki variasi wedang yang unik, seperti wedang jahe, wedang uwuh, wedang secang, dan lain sebagainya. Setiap jenis wedang membawa cita rasa dan manfaat kesehatan yang berbeda, menjadikan wedang sebagai minuman yang tak hanya lezat, tetapi juga berkhasiat.
***
Membahas lebih dalam tentang wedang, tahukah Anda bagaimana asal-usul kata tersebut terbentuk? Proses terbentuknya kata "wedang" terbilang cukup unik lho.
Berdasarkan hasil penelitian berjudul "The Reconstruction of Proto-Malayo-Javanic" yang dilakukan oleh Bernd Nothofer (1975) diketahui bahwa protobahasa Melayu-Jawa dari kata "air" adalah "waiR". Hal itu berarti bahwa dahulu ketika bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan Melayu pernah menjadi satu bahasa, mereka menyebut "benda cair yang biasa terdapat di sumur, sungai, danau" dengan sebutan "waiR".
Seiring berjalannya waktu dalam beberapa ribu tahun, penutur bahasa tersebut saling bermigrasi dan tidak saling kontak secara intens. Mereka masing-masing saling mengembangkan bahasa yang mereka gunakan. Akibatnya, mereka tidak lagi saling memahami bahasa satu sama lain sehingga terbentuklah 4 bahasa yang berbeda, yaitu bahasa Jawa, Madura, Sunda, dan Melayu.
Meskipun demikian, tiga bahasa yaitu bahasa Melayu, Madura, dan Sunda hingga saat ini masih menggunakan peninggalan bahasa purba untuk menyebut air. Misalnya, orang Melayu menyebut "air", orang Madura menyebut "aeng", dan orang Sunda menyebut "aer". Kata-kata tersebut masih memiliki kemiripan dengan kata purba "waiR".
Uniknya, hanya dalam bahasa Jawa saat ini, kita tidak akan menemukan kata-kata yang mirip dengan kata purba tersebut. Orang Jawa kini menggunakan kata "banyu" untuk menyebut air. Lantas, apa hubungannya dengan asal usul kata "wedhang"?
Seiring berjalannya waktu, kata "waiR" mengalami perubahan fonetis. Pada zaman dahulu, bahasa sering mengalami penyederhanaan bunyi, yang juga dipengaruhi oleh dialek dan kebiasaan bertutur masyarakat. Dalam bahasa Jawa, bunyi "R" pada "waiR" secara perlahan hilang, sehingga kata tersebut berubah menjadi "wai". Setelah fonem "R" hilang, perubahan lanjutan terjadi pada kata "wai". Diftong "ai" mengalami penyederhanaan menjadi "e". Proses ini mirip dengan fenomena dalam bahasa Indonesia, di mana diftong "ai" sering disederhanakan menjadi "e", seperti dalam kata "satai" yang berubah menjadi "sate" atau "gulai" menjadi "gule". Penyederhanaan bunyi tersebut membuat "wai" bertransformasi menjadi "we". Pada tahap ini, kata "we" mulai digunakan untuk merujuk pada air dalam bahasa Jawa Kuno.