Setiap Ramadhan datang, kita diwajibkan untuk berpuasa. Setiap bulan suci ini tiba, kita pastinya akan sering mendengar atau bahkan mengucapkan sendiri kata "takjil".Â
Pada umumnya, masyarakat kita mengartikan kata tersebut sebagai hidangan pembuka puasa. Hidangan yang dimaksud berupa makanan ringan seperti kurma, minuman es, kue, buah, dan sebagainya.
Kata "takjil" merupakan kata serapan dari bahasa Arab. Perlu kita sadari, dalam bahasa Arab sendiri, kata tersebut ternyata tidak memiliki arti sebagaimana yang kita sangka. Hal itu berarti selama ini kita salah kaprah dalam memahami kata tersebut.Â
Bahkan, kesalahpahaman ini telah membudaya sehingga sudah melekat di benak masyarakat bahwa makna kata "takjil" ialah makanan ringan sebagai hidangan untuk berbuka puasa.
Dalam bahasa Arab, kata "takjil" berasal dari kata 'ajjala - yu'ajjilu - ta'jilan yang secara bahasa bermakna 'mempercepat, menyegerakan, bersegera, mendahulukan'. Kata ini termuat dalam sebuah hadits.Â
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "laa yazaalun naasu bikhoiri maa ajjalul fidl-roh" yang artinya "manusia senantiasa berada dalam kebaikan, selama mereka menyegerakan waktu berbuka." (riwayat Bukhari dan Muslim).
Kata "ajjalu" dalam hadits tersebut yang merupakan derivasi dari kata "takjil" bermakna 'menyegerakan'. Jika kita melihat di KBBI pun, kata "takjil" juga memiliki makna yang sesuai dengan makna aslinya yaitu 'mempercepat (dalam berbuka puasa)'. Beginilah arti kata "takjil" yang benar. Jadi, salah kaprah jika kata tersebut diartikan sebagai makanan pembuka puasa.
Mengapa Kata "Takjil" Diartikan Salah Kaprah?
Setidaknya ada tiga penyebab kata "ta'jil" diartikan secara salah kaprah oleh kebanyakan orang. Penyebab tersebut yaitu a) lemahnya pemahaman bahasa Arab; b) salah paham tentang referen dari kata yang bersangkutan; dan c) ikut-ikutan.
Penyebab pertama ialah lemahnya pemahaman bahasa Arab. Hal ini yang menjadi faktor utama kata serapan dari bahasa Arab mengalami pergeseran makna. Kata serapan seperti madrasah, ustad, amal, ulama, kitab, dan beberapa kata lainnya mengalami penyempitan makna karena kurangnya pemahaman sebagian kaum muslim terkait kata tersebut sehingga kata itu dimaknai secara sempit.Â
Faktor ini yang membuat sebagian umat tidak memahami makna asli dari kata "takjil". Maka dari itu, penting bagi kaum muslim mempelajari bahasa Arab agar mengenal Islam lebih mendalam sebab Al-Qur'an dan hadits berbahasa Arab.
Penyebab kedua ialah salah mengambil referen. Dalam teori semantik, ada subbab yang membahas segi tiga semiotik yaitu kata (lambang), makna, dan referen (sesuatu yang diacu di dunia luar).Â
Ringkasnya, setiap kata (utamanya kata kongkret) yang kita ucapkan memiliki referen dalam kehidupan nyata sehingga referen itu yang menciptakan makna. Sebagai contoh, ketika kita mengucapkan "lebah", maka pikiran kita akan mengacu pada sebuah fakta/realita yaitu binatang yang disebut lebah. Dari fakta inilah, lebah dimaknai sebagai 'serangga berbulu, bersayap empat, dan hidup dari madu kembang' (kbbi.web.id/lebah).
Pada kasus kata "takjil", awalnya kata tersebut mengacu kepada referen yaitu suatu perbuatan bersegera membatalkan puasa ketika maghrib tiba yaitu dengan makan makanan ringan dahulu. (umumnya, makanan berat dimakan setelah selesai sholat maghrib).Â
Dalam perkembangannya, masyarakat justru menganggap referen dari kata tersebut berupa bendanya yaitu makanan ringan yang dimakan saat berbuka puasa, bukan melihat perbuatannya dalam bersegera berbuka puasa. Hal itu membuat kata "takjil" selanjutnya mengalami pergeseran makna.
Penyebab ketiga ialah kebanyakan masyarakat hanya ikut-ikutan mengucapkan kata tersebut tanpa mencari tahu makna asli dari kata "takjil". Alhasil, salah kaprah memaknai kata tersebut terus terulang di setiap Ramadhan tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H