Penyebab kedua ialah salah mengambil referen. Dalam teori semantik, ada subbab yang membahas segi tiga semiotik yaitu kata (lambang), makna, dan referen (sesuatu yang diacu di dunia luar).Â
Ringkasnya, setiap kata (utamanya kata kongkret) yang kita ucapkan memiliki referen dalam kehidupan nyata sehingga referen itu yang menciptakan makna. Sebagai contoh, ketika kita mengucapkan "lebah", maka pikiran kita akan mengacu pada sebuah fakta/realita yaitu binatang yang disebut lebah. Dari fakta inilah, lebah dimaknai sebagai 'serangga berbulu, bersayap empat, dan hidup dari madu kembang' (kbbi.web.id/lebah).
Pada kasus kata "takjil", awalnya kata tersebut mengacu kepada referen yaitu suatu perbuatan bersegera membatalkan puasa ketika maghrib tiba yaitu dengan makan makanan ringan dahulu. (umumnya, makanan berat dimakan setelah selesai sholat maghrib).Â
Dalam perkembangannya, masyarakat justru menganggap referen dari kata tersebut berupa bendanya yaitu makanan ringan yang dimakan saat berbuka puasa, bukan melihat perbuatannya dalam bersegera berbuka puasa. Hal itu membuat kata "takjil" selanjutnya mengalami pergeseran makna.
Penyebab ketiga ialah kebanyakan masyarakat hanya ikut-ikutan mengucapkan kata tersebut tanpa mencari tahu makna asli dari kata "takjil". Alhasil, salah kaprah memaknai kata tersebut terus terulang di setiap Ramadhan tiba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H