Kata "ikhlas" dan "ridho" merupakan dua kata yang sama-sama berasal dari bahasa Arab. Kedua kata ini memiliki definisi secara istilah dan digunakan dalam keadaan yang berbeda. Namun, kata "ikhlas" paling dominan digunakan oleh kebanyakan orang dalam menyikapi berbagai keadaan. Padahal kata ini digunakan hanya dalam keadaan tertentu saja, sedangkan dalam keadaan lain, kita semestinya menggunakan kata "ridho".
Nah, agar tidak salah kaprah menggunakan kedua istilah syar'i ini, yuk pelajari perbedaannya.
1. Kata "ikhlas"
Kata ikhlas secara istilah berarti memurnikan amal hanya ditujukan kepada Allah subhanallahu wa ta'ala (lihat QS. Al-Bayyinah: 5). Maksudnya adalah melakukan amal kebaikan hanya ditujukan kepada Allah subhanallahu wa ta'ala dan tidak mengharap imbalan apapun dari makhluk-Nya.
Ikhlas merupakan salah satu dari syarat diterimanya amal kebaikan seorang hamba. Maka dari itu, jika amal ibadah kita ingin diterima Allah subhanahu wa ta'ala, maka salah satunya kita harus ikhlas dalam beramal.
Berdasarkan definisi ini, kata "ikhlas" digunakan ketika kita melakukan suatu amal kebaikan. Yakni, kita melakukan amal kebaikan itu dipersembahkan hanya kepada Allah subhanallahu wa ta'ala. Amal kebaikan itu seperti bersedekah, membaca Al-Qur'an, sholat, zakat, puasa, dan sebagainya.
Jika dianalogikan sebagai struktur kalimat dalam bahasa Indonesia, "ikhlas" digunakan saat kita menjadi subjek (pelaku) yang melakukan amal kebaikan. Kita tujukan amal kebaikan itu untuk Allah subhanallahu wa ta'ala.
Sebagai tambahan, beramal dengan mengharap balasan dari Allah (seperti mengharap pahala dan surga serta mengharap dijauhkan dari neraka) itu juga termasuk ikhlas. Hal ini didasarkan pada dalil-dalil yang ada.
Salah satu buktinya terdapat dalam hadits riwayat Bukhari nomor 3740 dan Muslim nomor 3518. Diriwayatkan dalam hadits tersebut, pada saat perang Uhud, ada seorang laki-laki yang sedang makan kurma, ia kemudian berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. "Bagaimana menurutmu, jika aku mati terbunuh, dimanakah tempatku?" katanya. Mendengar hal itu, Rasulullah tidak mencela laki-laki itu lantaran mengharap imbalan. Sebab, ia sebenarnya mengharap imbalan dari Allah (ketika mati terbunuh, imbalan apa yang diharapkan kalau bukan imbalan dari Allah).
Justru beliau menjawab bahwa balasan bagi dia jika syahid di medan perang adalah surga. Mendengar jawaban tersebut, orang itu langsung melempar kurma yang ada di tangannya, kemudian dia berperang hingga terbunuh. Setelah terbunuh pun, Rasulullah tidak mencela orang tersebut karena motivasi berperang untuk mencapai surga. Nah, hadits ini menjelaskan bahwa boleh hukumnya beramal dengan mengharap imbalan dari Allah.
Bukti bolehnya mengharap imbalan dari Allah juga terdapat di dalam hadits populer riwayat muttafaq 'alaih berikut. Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berpuasa Ramadhan atas dasar iman dan mengharap pahala dari Allah, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni." Hadits ini menunjukkan bahwa hukumnya boleh beramal dengan mengharap sesuatu dari Allah. Asalkan itu tidak mengharap sesuatu dari makhluk-Nya.