Mohon tunggu...
Rizky Ramadhan
Rizky Ramadhan Mohon Tunggu... Jurnalis - untuk tugas

mahasiswa universitas Airlangga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sejarah Berseragam, Konstruksi Sejarah Indonesia oleh Militer

15 November 2020   22:38 Diperbarui: 15 November 2020   23:04 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Buku "ketika sejarah berseragam" karya Katharine E. Mcgregor membahas mengenai lika-liku sejarah Indonesia yang disusun berdasarkan ideologi militer, analisis konstruksi sejarah ini dibahas melalui kecermatan Katharine dalam mempelajari historiografi Indonesia terutama dalam bidang militer.

Buku ini terfokus kepada satu lembaga militer yaitu pusat sejarah ABRI, analisis dilakukan guna menjabarkan bagaimana upaya militer dalam membangun citra yang baik untuk anggotanya sendiri maupun masyarakat luas.

Indonesia pada masa orde baru di dominasi oleh pengaruh militer hampir dalam tiap segi kehidupannya, hal tersebut dikarenakan peran ganda yang dimiliki oleh militer. Dwifungsi militer mempermudah masuknya anggota militer kedalam posisi penting di pemerintahan, pengaruh besar ini dimanfaatkan untuk mengkontruksi sejarah melalui proyek-proyek pusat sejarah ABRI.

Militer menggunakan sejarah untuk membenarkan peran politik yang telah dilakukan, dalam hal ini sejarah memiliki fungsi sebagai representasi masa lampau sehingga lembaga militer melakukan pelembagaan terhadap 'ingatan resmi'.

'ingatan resmi' sebagai bentuk konstruksi masa lampau membuat pandangan masyarakat diyakinkan jika pemimpin bangsa yang baik berasal dari kalangan militer, hal ini terlihat pada terpilihnya susilo bambang yudhoyono sebagai presiden RI dimana beberapa tahun sebelumnya masyarakat sangat ingin melepaskan pengaruh militer dalam politik kenegaraan tetapi mereka tetap memilih golongan militer sebagai pemimpin mereka atas dasar doktrin militer tersebut.

Pada bagian pertama buku ini tepatnya di dalam bab pertama, menjelaskan bagaimana pengaruh Nugroho Notosusanto dalam penulisan sejarah di masa orde baru.

Nugroho Notosusanto sebagai dosen sejarah Universitas Indonesia diangkat sebagai kepala pusat sejarah ABRI, hal tersebut merupakan salah satu upaya militerisasi sejarah dimana sejarah "resmi" ini nantinya akan dimasukkan kedalam materi pendidikan untuk pelajar pada masa orde baru sehingga golongan-golongan muda didoktrin melalui media pendidikan.

Dalam bab ini juga digambarkan bagaimana orde baru mengubah konsep museum nasional, dimana sebelumnya condong terhadap kesan masa lalu gemilang diubah menjadi kesan tradisi panjang pihak militer dalam sejarah.

Memasuki bagian kedua dalam buku ini, membahas mengenai kisah hidup Nugroho Notosusanto dari awal karir hingga menjabat sebagai kepala pusat sejarah ABRI. Nugroho sendiri dapat dikatakan sebagai propagandis paling penting dalam upaya legitimasi kekuasaan orde baru, salah satu pencapaiannya ialah "ingatan resmi" mengenai kudeta 1965 sebagai dasar legitimasi orde baru.

Penulisan mengenai jenjang hidup Nugroho Notosusanto dituliskan penuh dalam bab ini, dari sini kita bisa melihat hal-hal apa saja yang membangun rasa nasionalisme Nugroho serta alasan terhadap rasa suka-nya terhadap militer.

Lanjut pada bagian ketiga, memiliki judul bab "sejarah untuk membela rezim orde baru". Bagian ini membahas mengenai upaya-upaya orde baru dalam melegitimasi kekuasaan melalui politisasi sejarah yang dilakukan oleh lembaga militer yaitu pusat sejarah ABRI.

Penulis mencermati upaya Nugroho dan pusat sejarah ABRI dalam menguasai peristiwa kudeta oleh PKI melalui versi mereka sendiri, kekalahan PKI selalu menjadi bahan legitimasi kekuasaan orde baru sehingga setiap cerita yang sampai ke masyarakat haruslah berupa "ingatan resmi" yang dapat dikatakan sebagai cerita versi militer.

Penulis juga tidak lupa memaparkan hasil analisis terhadap isi dan tujuan narasi induk yang dibuat oleh militer mengenai usaha kudeta, narasi ini sendiri diangap oleh penulis sebagai upaya legitimasi serta pembenaran atas hal yang telah dilakukan oleh pihak militer kala itu.

Doktrin-doktrin mengenai PKI sebagai suatu hal yang buruk gencar dilakukan pada masa orde baru, kambing hitam ini menjadi alat legitimasi yang sukses sampai berpuluh-puluh tahun lamanya.

Bagian keempat membahas mengenai perpecahan internal dalam tubuh militer dengan mengangkat judul "mengkonsolidasi kesatuan militer". Perpecahan internal militer pada masa awal rezim orde baru ditutupi melalui sejarah sebagai alat untuk nilai-nilai militer, pusat sejarah ABRI pun menggambarkan sejarah angkatan senjata sebagai sebuah kisah yang menyatu dengan membentuk museum militer yang terpusat.

Sejarah juga digunakan sebagai alat untuk menciptakan visi dan misi yang sama antara militer golongan tua dan muda. Dalam akhir bab, penulis menyoroti mengenai penggambaran sejarah Jenderal Sudirman sebagai media promosi nilai-nilai 1945.

Bagian kelima mengambil judul "mempromosikan militer dan dwifungsi kepada masyarakat". Doktrin pengaruh militer dalam kebangsaan dilakukan melalui buku pendidikan sejarah di sekolah-sekolah pada masa orde baru, sasaran dari proyek ini adalah agar generasi muda menghargai apa yang telah dilakukan oleh generasi 1945.

Upaya doktrinisasi golongan muda ini tidak lepas dari pengaruh Nugroho sebagai ketua pusat sejarah ABRI, berbagai bidang digunakan sebagai media penyebaran cerita-cerita legitimasi kekuasaan militer versi mereka sendiri. Meskipun hasil proyek-proyek mereka mendapatkan berbagai macam kritik dari berbagai macam pihak, namun Nugroho tetap mengangungkan legitimasi kekuasaan militer versi mereka sendiri.

Bagian terakhir dalam buku ini memuat judul "menetapkan tradisi kemiliteran dan musuh-musuh negara". Bab ini membahas upaya legitimasi kekuasaan militer sepeninggalan Nugroho, fokus propaganda tidak lagi menggunakan peristiwa era sebelumnya.

Pembangunan museum-museum menjadi media propaganda baru dalam mempertahankan pengaruh militer dalam berbagai segi kegidupan, salah satunya ialah pembangunan museum keprajuritan nasional. Museum-museum yang dibangun dalam proyek ini hanya menggambarkan satu hal, yaitu peran penting dunia militer dalam berbagai aspek guna mempertahankan pengaruh mereka.

Buku ini merupakan bacaan yang menurut saya pribadi sangat menarik, penulisan sejarah dianalisis sehingga menghasilkan suatu gambaran baru mengenai peristiwa yang terjadi.

Penulis berusaha untuk membuka pemaknaan baru dari peristiwa yang ada dan meluaskan pandangan pembaca sehingga tidak hanya terhenti pada "ingatan resmi" yang bisa dibilang jika sejarah yang selama ini kita ketahui telah dikonstruksi atas kepentingan politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun