Penulis mencermati upaya Nugroho dan pusat sejarah ABRI dalam menguasai peristiwa kudeta oleh PKI melalui versi mereka sendiri, kekalahan PKI selalu menjadi bahan legitimasi kekuasaan orde baru sehingga setiap cerita yang sampai ke masyarakat haruslah berupa "ingatan resmi" yang dapat dikatakan sebagai cerita versi militer.
Penulis juga tidak lupa memaparkan hasil analisis terhadap isi dan tujuan narasi induk yang dibuat oleh militer mengenai usaha kudeta, narasi ini sendiri diangap oleh penulis sebagai upaya legitimasi serta pembenaran atas hal yang telah dilakukan oleh pihak militer kala itu.
Doktrin-doktrin mengenai PKI sebagai suatu hal yang buruk gencar dilakukan pada masa orde baru, kambing hitam ini menjadi alat legitimasi yang sukses sampai berpuluh-puluh tahun lamanya.
Bagian keempat membahas mengenai perpecahan internal dalam tubuh militer dengan mengangkat judul "mengkonsolidasi kesatuan militer". Perpecahan internal militer pada masa awal rezim orde baru ditutupi melalui sejarah sebagai alat untuk nilai-nilai militer, pusat sejarah ABRI pun menggambarkan sejarah angkatan senjata sebagai sebuah kisah yang menyatu dengan membentuk museum militer yang terpusat.
Sejarah juga digunakan sebagai alat untuk menciptakan visi dan misi yang sama antara militer golongan tua dan muda. Dalam akhir bab, penulis menyoroti mengenai penggambaran sejarah Jenderal Sudirman sebagai media promosi nilai-nilai 1945.
Bagian kelima mengambil judul "mempromosikan militer dan dwifungsi kepada masyarakat". Doktrin pengaruh militer dalam kebangsaan dilakukan melalui buku pendidikan sejarah di sekolah-sekolah pada masa orde baru, sasaran dari proyek ini adalah agar generasi muda menghargai apa yang telah dilakukan oleh generasi 1945.
Upaya doktrinisasi golongan muda ini tidak lepas dari pengaruh Nugroho sebagai ketua pusat sejarah ABRI, berbagai bidang digunakan sebagai media penyebaran cerita-cerita legitimasi kekuasaan militer versi mereka sendiri. Meskipun hasil proyek-proyek mereka mendapatkan berbagai macam kritik dari berbagai macam pihak, namun Nugroho tetap mengangungkan legitimasi kekuasaan militer versi mereka sendiri.
Bagian terakhir dalam buku ini memuat judul "menetapkan tradisi kemiliteran dan musuh-musuh negara". Bab ini membahas upaya legitimasi kekuasaan militer sepeninggalan Nugroho, fokus propaganda tidak lagi menggunakan peristiwa era sebelumnya.
Pembangunan museum-museum menjadi media propaganda baru dalam mempertahankan pengaruh militer dalam berbagai segi kegidupan, salah satunya ialah pembangunan museum keprajuritan nasional. Museum-museum yang dibangun dalam proyek ini hanya menggambarkan satu hal, yaitu peran penting dunia militer dalam berbagai aspek guna mempertahankan pengaruh mereka.
Buku ini merupakan bacaan yang menurut saya pribadi sangat menarik, penulisan sejarah dianalisis sehingga menghasilkan suatu gambaran baru mengenai peristiwa yang terjadi.
Penulis berusaha untuk membuka pemaknaan baru dari peristiwa yang ada dan meluaskan pandangan pembaca sehingga tidak hanya terhenti pada "ingatan resmi" yang bisa dibilang jika sejarah yang selama ini kita ketahui telah dikonstruksi atas kepentingan politik.