Mohon tunggu...
Stress Management Indonesia
Stress Management Indonesia Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mental Health Company

Neuroscience, Holistic, and Humanistic solution centre with the healthy start from home based programme. HappySelf by Stress Management Indonesia: https://www.kompasiana.com/happyself

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Quarter-Life Crisis: Realita atau Drama Gen Z?

11 Desember 2024   15:14 Diperbarui: 11 Desember 2024   15:14 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Stress Management Indonesia (Sumber Generate by AI)

Pernah merasa bingung dengan arah hidup? Atau terus membandingkan diri dengan pencapaian orang lain di media sosial? Jika iya, kamu tidak sendirian. Fenomena ini sering disebut sebagai quarter-life crisis (QLC), sebuah fase yang kini semakin banyak dialami oleh Gen Z. Tapi, apakah ini realita atau sekadar drama? Mari kita kupas bersama!

Apa Itu Quarter-Life Crisis?

Quarter-life crisis adalah periode di mana seseorang, biasanya di usia 20-an hingga awal 30-an, merasa terjebak antara harapan dan kenyataan hidup. Dalam fase ini, banyak yang mempertanyakan identitas, karier, hubungan, hingga tujuan hidup mereka. Sebuah studi dari Harvard Graduate School of Education mencatat bahwa 58% dewasa muda merasa kehilangan arah atau tujuan hidup.

Era media sosial memperparah situasi ini. Pencitraan "sempurna" yang ditampilkan orang lain membuat kita mudah merasa tertinggal. Tekanan untuk menikah, membeli rumah, atau mencapai karier gemilang di usia muda menjadi pemicu utama krisis ini.

Faktor Penyebab Quarter-Life Crisis

  1. Ekspektasi Sosial dan Tekanan Keluarga
    Menurut penelitian Fatimah Malini Lubis dan Devin Mahendika (2023), gaya pengasuhan otoriter dan tekanan sosial dapat memperburuk kesehatan mental remaja dan dewasa muda. Anak yang sering dibandingkan atau ditekan untuk memenuhi standar tertentu cenderung merasa cemas dan tidak percaya diri.

  2. Tekanan Teman Sebaya (Peer Pressure)
    Studi oleh Dion Ravinder Theodeus Subroto et al. (2022) menunjukkan bahwa tekanan dari teman sebaya dapat meningkatkan kecemasan, terutama di kalangan mahasiswa. Fenomena ini juga memicu gangguan seperti body dysmorphic disorder, di mana seseorang merasa terlalu terobsesi dengan penampilan fisiknya.

  3. Eksplorasi Identitas yang Berlarut-larut
    Penelitian Luyckx et al. menyebutkan bahwa eksplorasi identitas tanpa komitmen yang jelas dapat meningkatkan gejala depresi dan kecemasan. Usia 20-an adalah masa penting untuk menemukan diri, tetapi jika terlalu lama "terjebak mencari," justru bisa menambah beban mental.

Bagaimana Gen Z Menghadapi Quarter-Life Crisis?

Berbeda dengan generasi sebelumnya, Gen Z lebih terbuka terhadap topik kesehatan mental dan cenderung mencari solusi inovatif. Berikut beberapa pendekatan yang bisa membantu:

  1. Journaling untuk Refleksi Diri
    Menulis jurnal secara mindful dapat membantu mengelola emosi dan ketidakpastian. Dengan menuliskan pikiran, kamu bisa mengenali pola pikir negatif dan mencari solusi lebih baik.

  2. Intervensi Berbasis Mindfulness
    Teknik seperti Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR) terbukti efektif untuk mengelola stres. Penelitian Kabat-Zinn (1990) menunjukkan bahwa mindfulness dapat meningkatkan kesejahteraan mental.

  3. Self-Compassion dan Pengembangan Diri
    Mengembangkan belas kasih pada diri sendiri membantu mengurangi tekanan emosional. Program self-compassion menurut Neff & Germer (2018) terbukti efektif dalam mengelola emosi negatif dan meningkatkan kebahagiaan.

  4. Career Counseling dengan Life Design
    Pendekatan ini membantu individu merancang karier sesuai nilai-nilai pribadi mereka. Studi Savickas (2012) menunjukkan bahwa metode ini efektif untuk menghadapi ketidakpastian karier.

  5. Dukungan Komunitas
    Bergabung dengan komunitas yang mendukung dapat meningkatkan rasa memiliki. Penelitian Luthar et al. (2015) menunjukkan bahwa keterlibatan dalam komunitas dapat membantu mengurangi tekanan hidup.

Mengubah Krisis Menjadi Kesempatan

Meskipun berat, quarter-life crisis bisa menjadi momen refleksi untuk tumbuh. Berikut beberapa langkah praktis:

  • Hentikan Perbandingan Sosial: Ingatlah bahwa perjalanan hidup setiap orang berbeda.

  • Tetapkan Prioritas: Fokus pada hal yang benar-benar penting bagimu, bukan pada ekspektasi orang lain.

  • Bangun Komunitas Positif: Kelilingi dirimu dengan orang-orang yang mendukungmu.

  • Cari Bantuan Profesional: Konseling atau terapi bisa menjadi solusi untuk memahami dan mengelola emosimu.

Quarter-Life Crisis: Realita atau Drama?

Jawabannya? Realita. Tetapi bukan berarti Gen Z harus terjebak dalam krisis ini. Dengan pendekatan yang tepat, QLC bisa menjadi awal dari perjalanan menemukan diri yang lebih baik. Jadi, jika kamu sedang berada di fase ini, ingatlah: tidak apa-apa merasa bingung, tetapi jangan menyerah untuk terus mencari makna hidupmu.

Bagikan pengalamanmu menghadapi quarter-life crisis di kolom komentar. Siapa tahu, ceritamu bisa menjadi inspirasi bagi yang lain!

Penulis Artikel : Lili

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun