Mohon tunggu...
Hanung Teguh
Hanung Teguh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya pegawe di kantor pajak nun jauh di Banda Aceh sana...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Enaknya" Menjadi Pemimpin

24 April 2010   23:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:36 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Salah satu hal yang marak di negeri ini adalah rame-ramenya perebutan kursi kekuasaan. Perebutan kursi pemimpin, entah pemimpin, pemimpin besar atau hanya pemimpin tapi huruf “n” terakhir ditiadakan. Hmm... Kalau yang itu mungkin saya kali', pemimpi. Pemimpin tanpa huruf “n” di belakang.

Melihat segala hal polemik tentang pemimpin, membuat saya berpikir “Emang enak yah duduk di kursi pemimpin?”.

Kok saya melihatnya lain yah. Saya pikir, menjadi pemimpin, apalagi pemimpin suatu daerah. Sangat nggak enak. Nggak nyaman bagi pertanggungjawaban saya.

Saat ini saya tidak mengkritisi artis, bintang film, bintang sinetron, atau bintang jatuh tertentu karena skandal tertentu pula. Saya pikir warga Kompasiana sudah pada cerdas. Mampu memilih mana yang sesuai dengan akal logika dan hati nurani. Dan saya percaya hal itu.

Saya pikir, menjadi pemimpin sungguh lebih banyak ga enaknya daripada enaknya. Saya pernah memimpin beberapa organisasi dan salah satu komentar terjujur saya adalah: “Beuh, repot!!”. (set dah! udah di bold, di miringin, di tambah garis di bawahnya lagi)

Menjadi pemimpin itu repot. Bayangkan! Saat orang lain sedang bersantai dengan keluarganya, bersantai dengan kesendiriannya dan bersantai dengan dunianya sendiri, seorang pemimpin harus memikirkan langkah-langkah yang harus dilakukan agar kesantaian pengkutnya dapat langgeng.

Berpikir keras tentang beberapa hal dan beberapa keputusan yang harus diambil. Mengambil keputusan itu nggak mudah lho. Ada konsekwensinya. Bisa jadi populer, bisa jadi dibenci. Dan pemimpin harus mengambil resiko antara menjadi populer atau menjadi populer yang di benci oleh anak buahnya.

Terkadang ia harus mengambil keputusan yang berat, yang nggak populer dan nggak mengenakkan. Tapi itulah, pengambilan keputusan itu harus dilakukan oleh pemimpin. Karena ia adalah pemimpin. Seseorang yang bisa dijadikan pahlawan atau kambing hitam. Tergantung bagaimana arah angin politik berhembus.

Pemimpin juga mempunyai keluarga dan kehidupan pribadi sendiri. Namun hal itu terkadang (bukan terkadang sih, seringnya!!) harus dikorbankan demi kesejahteraan dan keamanan pengikutnya. Proporsi untuk ketemu menjadi lebih jarang, dialog secara tatap muka juga jarang –kalau yang ini masih bisa bersyukur deh, ada teknologi video call--, dan segala kejarangan secara personal lainnya.

Setelah tahu repot seperti itu, lantas kenapa masih mau jadi pemimpin?

Jadi pemimpin itu nggak enak karena diri sendiri sudah bukan menjadi “milik” pribadi. Sekali anda menjadi pemimpin, anda adalah “properti” yang dimiliki oleh banyak orang dan tentu saja, banyak kepentingan.

Siap-siap deh mengorbankan beberapa kesenangan yang sering anda lakukan dan sering anda kerjakan. Yang sering nulis di Kompasiana, silakan menikmati hari-hari yang padat sekaligus sibuk yang menyibukkan anda dan akhirnya anda jadi jarang menulis lagi di Kompasiana.

Anda sebagai pemimpin, sudah menjadi “barang” milik umat. Yang bisa dipindah tangankan dan dimainkan sesuai dengan permainannya. Waktu pribadi anda masih ada, tapi dalam porsi yang jauh lebih sedikit dan jauh lebih jarang.

Tak jarang, anda sebagai pemimpin harus bisa bertahan “dilempar” kesana-kemari karena arus politik yang ada. Daya tahan adalah sebuah hal yang mutlak bagi pemimpin. Daya untuk menyerap berbagai macam tekanan tanpa anda sendiri harus pecah oleh tekanan tersebut.

Masih mau jadi pemimpin?

Salah satu hal berat lagi adalah tentang keberadaan penjilat. Menjadi pemimpin itu berat, namun terkadang ada orang-orang tertentu yang ingin menikmati memimpin gerombolan massa tanpa mau menikmati resikonya sebagai pemimpin. Mereka ini dikenal sebagai “penjilat”.

Mereka ini adalah seseorang atau sebuah gerombolan yang licik yang selalu mengekor dengan keberadaan pemimpin. Dimana sang pemimpin ada, maka sang penjilat juga ada. Sang penjilat ini juga bisa disebut sebagai “sang pembisik. Inilah yang berbahaya dari sang penjilat ini.

Dia menjilat dengan penuh tipu daya, memoles setiap kata dan laporannya dan menyajikannya dengan sedemikian rupa sehingga sang pemimpin terlena. Lidahnya panjang dan elastis. Raut mukanya enak dan sedap dipandang ketika berbicara di depannya. Dan segala puji-pujian sering keluar dari mulutnya.

Dipuji itu enak. Bikin hati terbang melayang ke langit ke-7. Inilah sensasi enaknya menjadi pemimpin, enak ketika mendapat pujian.

Yang nggak enaknya adalah, ketika keputusan diambil berdasarkan bisikan sang pembisik, yang ternyata keputusan tersebut nggak populer dan merugikan bawahan. Sang pemimpin adalah satu-satunya pihak yang dapat disalahkan dan dikambing hitamkan. Sedangkan sang penjilat? Ia hanya mampu menyembunyikan ekornya di kedua kakinya. Ia nggak bakan ditanyakan oleh para bawahan tentang perannya. Bawahan hanya tahu bahwa keputusan yang salah ini adalah keputusan sang pemimpin. Titik.

Masih ingin jadi pemimpin?

Hal yang lebih berat lagi adalah masa pertanggung-jawaban masa kepemimpinannya. Inilah hal yang paling berat dan yang paling menjengkelkan, tapi nggak bisa dihindari.

Pertanggung-jawaban dana, pertanggung-jawaban program kerja, pertanggung-jawaban kinerja, daaan berbagai macam pertanggung jawaban yang lainnya.

Kalau di dunia mah kecil, bisa kerja sama dengan panitia pertanggung-jawaban. Tinggal “cincai-cincai” dikit bisa kok dimanipulasi.

Tapi, yang paling berat adalah pertanggung-jawaban di akherat. Nggak bisa lagi “cincai-cincai”. Dirinya sendiri harus mempertanggung-jawabkan segala hal yang telah ia lakukan di dunia. Tanggung jawab sebagai pribadi sekaligus tanggung jawab sebagai pemimpin kepada bawahannya. Paket kombo.

Yang paling diuntungkan adalah bawahan ketika masa pertanggung-jawaban ini. Jika bawahan bersalah, ia bisa mengatakan: “Itu akibat ulah pemimpin saya lho, si anu itu”. Jika memang terbukti, dosanya ditanggung berdua. Sebagai bawahan enak, dia cuma dapat dosanya pribadi, lha pemimpin bisa dapat dosa kombo, dosa diri pribadi dan dosa bawahan akibat ketidak becusannya dalam memimpin.

Saya jadi ingat perkataan Umar bin Khaththab yang menyejarah: “Jika ada keledai yang tergelincir di Syams akibat jalan yang rusak, maka Umar akan diminta pertanggung jawabannya!”. Umar berada di Madinah, sedangkan Syams berada ratusan kilometer jauhnya dari kota Madinah. Syams menjadi tanggung jawab Umar karena ia adalah wilayah kekuasaan Umar.

Jika anda menjadi pemimpin di lingkup pribadi, anda hanya akan dimintai pertanggung jawaban secara pribadi. Tapi jika anda memimpin wilayah, selain tanggung jawab pribadi, setiap jengkal wilayah tersebut akan meminta pertanggung-jawaban anda.

So, masih mau jadi pemimpin?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun