Malam itu, hujan turun dengan lembut, menyirami jalanan kota dengan aroma tanah basah yang menyegarkan. Di antara hiruk-pikuk orang yang bergegas mencari tempat berteduh, seorang pria berdiri diam di depan sebuah toko buku tua yang kini tertutup tirai tebal. Namanya Adit, seorang arsitek yang baru saja kembali dari perantauan selama bertahun-tahun di luar negeri. Pandangannya tertuju pada papan nama toko yang hampir tak terlihat di bawah cahaya lampu jalan yang temaram. Di sanalah, di tempat yang penuh kenangan, ia pertama kali bertemu dengan wanita yang tak pernah bisa ia lupakan—Rara.
Adit mendesah pelan, memejamkan mata sejenak untuk membiarkan ingatan-ingatan itu berputar kembali di benaknya. Dulu, setiap akhir pekan, mereka selalu datang ke toko buku ini. Mereka berbagi kecintaan yang sama pada sastra, berdiskusi tentang buku-buku yang baru saja mereka baca, dan menghabiskan waktu berjam-jam tanpa pernah merasa bosan. Namun, keadaan memaksa mereka untuk berpisah—Adit harus pergi jauh, mengejar mimpinya, sementara Rara tetap di kota ini, melanjutkan hidupnya dengan caranya sendiri.
Dengan langkah ragu, Adit mulai berjalan menjauh dari toko itu, menyusuri jalan-jalan yang pernah ia kenal dengan baik. Hujan masih turun, kini semakin deras. Adit mempercepat langkahnya, berharap menemukan tempat berteduh sebelum basah kuyup. Tak jauh dari situ, ia melihat sebuah kafe dengan jendela besar yang memancarkan cahaya hangat dari dalam. Tanpa berpikir panjang, ia masuk ke dalam kafe itu.
Suasana di dalam kafe sangat kontras dengan hujan di luar. Hangat dan nyaman, dengan aroma kopi yang kuat menyambutnya. Adit menghela napas lega, menanggalkan mantelnya yang basah dan mencari tempat duduk. Ketika ia melangkah lebih dalam ke dalam kafe, matanya tertumbuk pada seorang wanita yang duduk di pojok ruangan, tengah tenggelam dalam sebuah buku. Jantung Adit seakan berhenti berdetak ketika ia mengenali wajah itu. Rara.
Waktu seakan membeku saat mereka saling memandang. Rara terlihat sama seperti yang ia ingat—rambut hitam panjang yang tergerai lembut, mata yang selalu tampak penuh dengan cerita, dan senyum yang entah mengapa selalu bisa membuat Adit merasa nyaman. Namun, ada sesuatu yang berbeda; sepasang mata itu kini tampak lebih dalam, seolah menyimpan kisah-kisah yang tak sempat terucapkan.
Adit mendekati meja Rara dengan hati-hati, khawatir bahwa jika ia melangkah terlalu cepat, momen ini akan menghilang seperti embun pagi yang tersapu sinar matahari. Ketika ia tiba di depan Rara, wanita itu menutup bukunya perlahan, lalu mengangkat wajahnya, menyambut kehadiran Adit dengan senyum yang tak terduga.
"Rara," suara Adit pelan, nyaris tak terdengar di antara suara gemericik hujan yang menghantam jendela.
"Adit," jawab Rara dengan suara yang lembut, penuh kehangatan yang ia kenal dengan baik.
Mereka berdiri di sana, saling memandang tanpa kata. Kenangan-kenangan lama menyeruak di antara mereka, seolah-olah mereka tak pernah benar-benar berpisah. Akhirnya, Adit memberanikan diri untuk duduk di kursi di seberang Rara.
"Aku... tak menyangka akan bertemu denganmu di sini," kata Adit, suaranya sedikit bergetar.
"Aku juga tak menyangka," balas Rara dengan senyum kecil. "Sudah lama sekali."
Adit mengangguk, tak tahu harus mulai dari mana. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu terasa terlalu berat untuk diucapkan. Rara, seolah memahami kebisuannya, membuka percakapan lebih dulu.
"Bagaimana kabarmu? Sudah berapa lama sejak kamu pulang?" tanya Rara dengan lembut.
"Aku baik," jawab Adit singkat, mencoba menyusun pikirannya. "Aku baru kembali beberapa hari yang lalu. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga baik. Hidup berjalan seperti biasanya," jawab Rara, kali ini dengan nada yang lebih ringan. "Aku masih di sini, melakukan apa yang selalu aku lakukan."
"Aku senang mendengarnya," Adit tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang Rara kenali—penyesalan, mungkin juga kerinduan.
Hening kembali menyelimuti mereka, namun kali ini tidak canggung. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, merenungi semua yang telah berlalu, dan semua yang tak pernah mereka katakan satu sama lain. Akhirnya, Adit merasa tak bisa lagi menahan perasaannya.
"Rara," kata Adit, suaranya serius. "Aku ingin minta maaf."
Rara terkejut, alisnya sedikit terangkat. "Untuk apa?"
"Untuk pergi begitu saja tanpa... tanpa penjelasan yang cukup," Adit menunduk, merasa malu akan keputusannya di masa lalu. "Aku terlalu fokus pada karierku, pada apa yang ingin aku capai, dan aku meninggalkanmu begitu saja."
Rara menatapnya dalam-dalam, matanya penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. "Adit, itu sudah lama sekali. Aku mengerti alasanmu, meskipun saat itu sulit untuk menerimanya."
"Tapi aku masih menyesal," lanjut Adit, suaranya kini penuh dengan emosi. "Aku seharusnya lebih memikirkan perasaanmu. Aku tak pernah berhenti memikirkanmu, Rara. Di setiap tempat yang aku kunjungi, di setiap hal yang aku capai, selalu ada ruang kosong yang hanya bisa diisi olehmu."
Kata-kata itu membuat hati Rara bergetar. Ia terdiam, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba memenuhi kelopak matanya. Setelah beberapa saat, ia tersenyum tipis.
"Adit," katanya lembut, "masa lalu tidak bisa diubah. Yang bisa kita lakukan hanya melangkah maju, mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama."
Adit mengangguk, menerima kebenaran dalam kata-katanya. "Aku tahu. Tapi... apa mungkin ada kesempatan bagi kita untuk memulai lagi?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, terasa berat dan penuh harapan. Rara memandang Adit, menelusuri wajahnya yang penuh dengan kejujuran dan penyesalan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan lama itu tak pernah benar-benar hilang. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka telah melalui begitu banyak cobaan.
Rara menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Mungkin, Adit. Mungkin."
Adit tersenyum, kali ini senyumnya penuh dengan harapan yang baru. "Terima kasih, Rara. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."
Mereka duduk di sana, berbicara hingga malam semakin larut. Hujan di luar telah mereda, menyisakan genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan. Di dalam kafe, dua hati yang pernah terpisah kini mulai menemukan jalannya kembali satu sama lain, menyatu dalam ritme yang lambat namun pasti.
Malam itu, di bawah langit kota yang kini berangsur cerah, mereka tahu bahwa pertemuan kembali ini bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru dalam kisah mereka. Sebuah kesempatan untuk memperbaiki yang telah rusak, untuk menciptakan cerita yang lebih indah dari sebelumnya.
---
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H