Adit mengangguk, tak tahu harus mulai dari mana. Ada begitu banyak yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu terasa terlalu berat untuk diucapkan. Rara, seolah memahami kebisuannya, membuka percakapan lebih dulu.
"Bagaimana kabarmu? Sudah berapa lama sejak kamu pulang?" tanya Rara dengan lembut.
"Aku baik," jawab Adit singkat, mencoba menyusun pikirannya. "Aku baru kembali beberapa hari yang lalu. Bagaimana denganmu?"
"Aku juga baik. Hidup berjalan seperti biasanya," jawab Rara, kali ini dengan nada yang lebih ringan. "Aku masih di sini, melakukan apa yang selalu aku lakukan."
"Aku senang mendengarnya," Adit tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang Rara kenali—penyesalan, mungkin juga kerinduan.
Hening kembali menyelimuti mereka, namun kali ini tidak canggung. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing, merenungi semua yang telah berlalu, dan semua yang tak pernah mereka katakan satu sama lain. Akhirnya, Adit merasa tak bisa lagi menahan perasaannya.
"Rara," kata Adit, suaranya serius. "Aku ingin minta maaf."
Rara terkejut, alisnya sedikit terangkat. "Untuk apa?"
"Untuk pergi begitu saja tanpa... tanpa penjelasan yang cukup," Adit menunduk, merasa malu akan keputusannya di masa lalu. "Aku terlalu fokus pada karierku, pada apa yang ingin aku capai, dan aku meninggalkanmu begitu saja."
Rara menatapnya dalam-dalam, matanya penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan. "Adit, itu sudah lama sekali. Aku mengerti alasanmu, meskipun saat itu sulit untuk menerimanya."
"Tapi aku masih menyesal," lanjut Adit, suaranya kini penuh dengan emosi. "Aku seharusnya lebih memikirkan perasaanmu. Aku tak pernah berhenti memikirkanmu, Rara. Di setiap tempat yang aku kunjungi, di setiap hal yang aku capai, selalu ada ruang kosong yang hanya bisa diisi olehmu."