Kata-kata itu membuat hati Rara bergetar. Ia terdiam, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba memenuhi kelopak matanya. Setelah beberapa saat, ia tersenyum tipis.
"Adit," katanya lembut, "masa lalu tidak bisa diubah. Yang bisa kita lakukan hanya melangkah maju, mencoba untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama."
Adit mengangguk, menerima kebenaran dalam kata-katanya. "Aku tahu. Tapi... apa mungkin ada kesempatan bagi kita untuk memulai lagi?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, terasa berat dan penuh harapan. Rara memandang Adit, menelusuri wajahnya yang penuh dengan kejujuran dan penyesalan. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaan lama itu tak pernah benar-benar hilang. Namun, ia juga tahu bahwa cinta mereka telah melalui begitu banyak cobaan.
Rara menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. "Mungkin, Adit. Mungkin."
Adit tersenyum, kali ini senyumnya penuh dengan harapan yang baru. "Terima kasih, Rara. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini."
Mereka duduk di sana, berbicara hingga malam semakin larut. Hujan di luar telah mereda, menyisakan genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan. Di dalam kafe, dua hati yang pernah terpisah kini mulai menemukan jalannya kembali satu sama lain, menyatu dalam ritme yang lambat namun pasti.
Malam itu, di bawah langit kota yang kini berangsur cerah, mereka tahu bahwa pertemuan kembali ini bukanlah akhir, melainkan awal dari babak baru dalam kisah mereka. Sebuah kesempatan untuk memperbaiki yang telah rusak, untuk menciptakan cerita yang lebih indah dari sebelumnya.
---
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H