Mohon tunggu...
Media Online
Media Online Mohon Tunggu... Editor - Social Media

Travel Story

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan di Bawah Langit Jingga

27 Agustus 2024   00:13 Diperbarui: 27 Agustus 2024   00:25 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar pinterest

Mentari senja mulai tenggelam di ufuk barat, melukiskan warna jingga yang hangat di langit biru yang perlahan memudar. Di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, seorang pria duduk sendirian di sudut ruangan, memandangi secangkir kopi hitam yang asapnya mulai menghilang. Namanya Arga, seorang penulis yang tengah mencari inspirasi di tengah kebuntuan ide yang telah mencekiknya selama berminggu-minggu. Kafe ini, dengan jendela besar yang menghadap taman, adalah tempat favoritnya untuk mencari ketenangan, mengisi kembali lembar-lembar kosong di dalam kepalanya.

Di luar kafe, seorang wanita berjalan perlahan menyusuri trotoar, langkahnya ringan namun penuh keraguan. Wajahnya dipenuhi kecemasan yang tersamar di balik senyuman tipis. Namanya Hana, seorang editor yang juga menyukai kesunyian kafe ini, tempat di mana ia biasa menyelesaikan pekerjaannya tanpa gangguan. Malam ini, hatinya penuh dengan kegelisahan; ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang ia tak bisa ungkapkan dengan kata-kata.

Ketika Hana mendorong pintu kafe dan melangkah masuk, bunyi lonceng di atas pintu berbunyi lembut, mengalihkan perhatian Arga dari lamunannya. Pandangan mereka bertemu sekilas, seolah-olah waktu berhenti sejenak dalam keheningan yang nyaman. Arga mengenali Hana sebagai pengunjung tetap di kafe ini, seseorang yang sering kali dia lihat dari kejauhan, namun tak pernah diajaknya bicara. Malam ini, entah mengapa, ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui lebih jauh tentang wanita itu.

Baca juga: Di Antara Dua Rasa

Hana mengambil tempat di meja yang tak jauh dari Arga, membuka laptopnya dan mulai mengetik. Namun, pikirannya melayang, tak mampu fokus pada layar di depannya. Tatapan Arga yang diam-diam memperhatikannya, meski ia tak menyadarinya, membuatnya merasa canggung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.

Arga, yang biasanya enggan untuk memulai percakapan dengan orang asing, akhirnya memberanikan diri untuk bangkit dari tempat duduknya dan mendekati meja Hana.

"Maaf, boleh saya duduk di sini?" tanya Arga, suaranya lembut namun jelas.

Hana terkejut sesaat, kemudian tersenyum sopan. "Tentu saja, silakan."

Arga duduk di seberang Hana, merasakan sedikit kegugupan yang aneh mengalir di dadanya. Ia tak tahu harus memulai dari mana, namun tatapan mata Hana yang hangat membuatnya merasa tenang.

"Sering ke sini juga?" Arga membuka percakapan dengan pertanyaan sederhana.

"Ya, cukup sering. Kafe ini punya suasana yang tenang, cocok untuk bekerja," jawab Hana sambil menutup laptopnya, merasa bahwa obrolan ini mungkin akan menarik.

Arga mengangguk. "Saya setuju. Saya juga sering datang ke sini, mencari inspirasi untuk menulis."

Hana mengangkat alisnya, tertarik. "Penulis, ya? Apa yang sedang kamu tulis?"

"Sedang mencoba menulis novel, tapi belakangan ini sedikit buntu," jawab Arga sambil tersenyum tipis. "Kamu sendiri, apa yang sedang dikerjakan?"

"Saya seorang editor di penerbitan," jawab Hana sambil tertawa kecil. "Mungkin bisa membantu kalau kamu butuh saran."

Obrolan mereka mengalir dengan mudah setelah itu. Mereka berbicara tentang pekerjaan, buku favorit, dan apa pun yang terlintas di pikiran. Tak ada topik yang terlalu berat atau terlalu ringan; semua terasa mengalir dengan alami. Seiring berjalannya waktu, mereka mulai merasa ada kesamaan yang dalam di antara mereka, seolah-olah mereka telah saling mengenal lebih lama daripada yang sebenarnya.

Saat malam semakin larut, langit di luar berubah menjadi gelap, hanya menyisakan cahaya redup dari lampu jalanan. Kafe mulai sepi, hanya tinggal beberapa pengunjung yang tersisa. Arga dan Hana sama sekali tak menyadari berapa lama mereka telah berbicara, sampai pelayan datang menghampiri untuk memberi tahu bahwa kafe akan segera tutup.

"Sepertinya kita harus pergi," kata Arga, merasa sedikit enggan untuk mengakhiri percakapan yang terasa begitu menyenangkan.

Hana mengangguk, meski ia juga merasakan hal yang sama. "Ya, sepertinya begitu."

Mereka berdiri, membereskan barang-barang mereka, lalu berjalan bersama keluar kafe. Udara malam yang dingin menyambut mereka, membuat Hana merapatkan jaketnya.

"Aku senang bisa bertemu dan berbicara denganmu," kata Arga dengan tulus.

"Aku juga," jawab Hana, senyumnya hangat namun ada sedikit keraguan di matanya. "Kapan-kapan, mungkin kita bisa bertemu lagi di sini?"

Arga terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. Ia tahu perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya ini lebih dari sekadar ketertarikan biasa, tapi ia tak ingin terburu-buru.

"Tentu, aku akan senang sekali," jawabnya akhirnya, merasakan jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.

Mereka berjalan beriringan menuju halte bus terdekat, berbicara tentang hal-hal kecil untuk mengisi keheningan malam. Ketika akhirnya bus Hana datang, ia berbalik menghadap Arga.

"Selamat malam, Arga," ucap Hana pelan.

"Selamat malam, Hana. Hati-hati di jalan," jawab Arga.

Mereka berpisah di sana, dengan perasaan yang campur aduk. Arga berdiri di sana, menyaksikan bus Hana menjauh, perasaannya bergelora antara kegembiraan dan kekhawatiran. Ia tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi malam ini, ia merasa bahwa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Hana duduk di dalam bus, menatap keluar jendela dengan senyum kecil di wajahnya. Hatinya masih dipenuhi kegelisahan, namun ada harapan baru yang menyelinap di antara keraguan. Pertemuan dengan Arga telah memberinya sesuatu yang tak terduga, sesuatu yang mungkin ia butuhkan lebih dari apa pun saat ini.

Langit malam yang gelap tak mampu menyembunyikan kilauan bintang-bintang yang mulai bermunculan. Di bawah langit yang sama, dua hati yang baru saja bertemu mulai berdenyut dalam irama yang sama, menantikan pertemuan berikutnya yang mungkin akan mengubah hidup mereka selamanya.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun