Mentari senja mulai tenggelam di ufuk barat, melukiskan warna jingga yang hangat di langit biru yang perlahan memudar. Di sebuah kafe kecil di pinggiran kota, seorang pria duduk sendirian di sudut ruangan, memandangi secangkir kopi hitam yang asapnya mulai menghilang. Namanya Arga, seorang penulis yang tengah mencari inspirasi di tengah kebuntuan ide yang telah mencekiknya selama berminggu-minggu. Kafe ini, dengan jendela besar yang menghadap taman, adalah tempat favoritnya untuk mencari ketenangan, mengisi kembali lembar-lembar kosong di dalam kepalanya.
Di luar kafe, seorang wanita berjalan perlahan menyusuri trotoar, langkahnya ringan namun penuh keraguan. Wajahnya dipenuhi kecemasan yang tersamar di balik senyuman tipis. Namanya Hana, seorang editor yang juga menyukai kesunyian kafe ini, tempat di mana ia biasa menyelesaikan pekerjaannya tanpa gangguan. Malam ini, hatinya penuh dengan kegelisahan; ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang ia tak bisa ungkapkan dengan kata-kata.
Ketika Hana mendorong pintu kafe dan melangkah masuk, bunyi lonceng di atas pintu berbunyi lembut, mengalihkan perhatian Arga dari lamunannya. Pandangan mereka bertemu sekilas, seolah-olah waktu berhenti sejenak dalam keheningan yang nyaman. Arga mengenali Hana sebagai pengunjung tetap di kafe ini, seseorang yang sering kali dia lihat dari kejauhan, namun tak pernah diajaknya bicara. Malam ini, entah mengapa, ada dorongan dalam dirinya untuk mengetahui lebih jauh tentang wanita itu.
Hana mengambil tempat di meja yang tak jauh dari Arga, membuka laptopnya dan mulai mengetik. Namun, pikirannya melayang, tak mampu fokus pada layar di depannya. Tatapan Arga yang diam-diam memperhatikannya, meski ia tak menyadarinya, membuatnya merasa canggung. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir perasaan aneh yang tiba-tiba muncul.
Arga, yang biasanya enggan untuk memulai percakapan dengan orang asing, akhirnya memberanikan diri untuk bangkit dari tempat duduknya dan mendekati meja Hana.
"Maaf, boleh saya duduk di sini?" tanya Arga, suaranya lembut namun jelas.
Hana terkejut sesaat, kemudian tersenyum sopan. "Tentu saja, silakan."
Arga duduk di seberang Hana, merasakan sedikit kegugupan yang aneh mengalir di dadanya. Ia tak tahu harus memulai dari mana, namun tatapan mata Hana yang hangat membuatnya merasa tenang.
"Sering ke sini juga?" Arga membuka percakapan dengan pertanyaan sederhana.
"Ya, cukup sering. Kafe ini punya suasana yang tenang, cocok untuk bekerja," jawab Hana sambil menutup laptopnya, merasa bahwa obrolan ini mungkin akan menarik.