"Apakah kamu merasa nyaman dengan keberadaanku di sini?" tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaannya membuatku terdiam. Aku tidak tahu harus menjawab apa. "Aku... aku tidak masalah," jawabku akhirnya, meski aku tahu itu bukan jawaban yang jujur.
Arya tersenyum tipis, tetapi senyum itu tidak sampai ke matanya. "Aku harap begitu," katanya sebelum berdiri dan meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Sejak malam itu, aku merasa ada perubahan dalam perilaku Arya. Dia mulai lebih sering muncul di hadapanku, entah itu saat aku sedang belajar, menonton TV, atau sekadar duduk di teras. Tatapannya yang selalu menilai itu semakin membuatku tak nyaman, seolah-olah dia mencoba menembus pikiranku.
Suatu malam, saat aku sedang tidur, aku mendengar pintu kamarku terbuka perlahan. Jantungku berdegup kencang saat aku merasakan kehadiran seseorang di dekatku. Aku pura-pura tidur, berharap siapapun itu akan pergi. Tapi bayangan gelap itu semakin mendekat, dan aku mendengar suara napas yang familiar.
"Dinda..." suara Arya berbisik di dekat telingaku, membuat bulu kudukku meremang. Aku merasakan tangan dinginnya menyentuh pundakku, mengguncangnya pelan.
Aku tak tahan lagi. Aku melompat dari tempat tidur dan menyalakan lampu, menatapnya dengan tatapan marah sekaligus takut. "Apa yang kamu lakukan di sini, Arya?" suaraku gemetar, namun ada keberanian yang muncul entah dari mana.
Arya mundur selangkah, ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin dan keras. "Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawabnya dengan nada tenang yang membuatku semakin tidak nyaman.
"Keluar dari kamarku!" bentakku, kali ini dengan lebih tegas.
Arya mengangkat tangannya seolah menyerah. "Baik, baik. Jangan marah," katanya sambil berbalik dan meninggalkan kamarku. Pintu ditutup dengan pelan, namun aku masih bisa merasakan ketegangan di udara.
Keesokan paginya, aku tidak bisa menyembunyikan kegelisahanku. Saat sarapan, ibu memperhatikanku dengan tatapan curiga. "Kamu kenapa, Dinda? Kelihatan pucat," tanyanya dengan nada khawatir.