Mohon tunggu...
STORY SA
STORY SA Mohon Tunggu... Guru - Guru Sejarah di SMA Negeri 4 Tegal

Saya suka membaca, membaca adalah bagian dari belajar. Dan belajar tidak ada batasan waktunya karena itu Ki Hajar Dewantara mengatakan Belajar Sepanjang Hayat. Bagai gelas yang siap diisi oleh air namun saya pun menyaringnya.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Refleksi Pemikiran Pendidikan Menurut Ki Hadjar Dewantara

26 Januari 2023   09:59 Diperbarui: 26 Januari 2023   10:13 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PEMIKIRAN PENDIDIKAN MENURUT KI HADJAR DEWANTARA

Oeh: Siti Aisyah, S.Pd

Berbicara tentang pendidikan dan pengajaran, menurut Ki Hadjar Dewantara itu tidak dapat dipisahkan. Mengapa? karena dua-dua nya sangat penting dalam membentuk manusia yang cakap, beradab sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Perbedaannya antara pendidikan dan pengajaran adalah kalau pendidikan lebih menekankan pada pembentukan insan manusianya, dalam hal ini penanaman sikap dan nilai-nilai yang baik di masyarakat. 

Kemudian di dalam pendidikan lebih banyak memakan waktu karena yang dididik di sini adalah bukan perkara fisik dan mental tetapi juga hati dan nafsu. Dan ini bukan perkara mudah. Karena harus menggunakan pendekatan manusiawi. Sedangkan pengajaran adalah memberikan ilmu, dan lebih menekankan pada penguasaan wawasan serta pengetahuan tentang bidang atau pelajaran tertentu seperti mata pelajaran sosial (sejarah, geografi, ekonomi) dan ilmu yang lain. 

Pada pengajaran biasanya lebih praktis dan membutuhkan waktu yang tidak lama seperti halnya pada pendidikan. Hasil dari pengajaran maka peserta didik menjadi pandai dan berilmu. Hasil dari pendidikan menciptakan manusia yang beradab, yang baik sebagaimana seperti yang tercantum dalam visi dan misi sekolah atau wadah pendidikan tertentu (sekolah formal dan non formal). Itulah mengapa pendidikan dan pengajaran tidak bisa dipisahkan walaupun keduanya memiliki perbedaan tetapi keduanya adalah saling melengkapi satu sama lain.

Sejarah adanya pendidikan persekolahan di Indonesia itu sebenarnya sudah ada sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda (sebelum Indonesia merdeka). Di mana saat itu Vandeventer dari kaum liberalis Belanda mencetuskan ide gagasannya tentang trias politika atau politik balas budi yang salahsatunya adalah edukasi. Ratu Wilhelmina kemudian menyetujuinya agar di Hindia-Belanda diterapkan Edukasi. 

Namun edukasi yang diterapkan saat itu masih diberlakukan secara diskriminasi, hanya anak-anak dari golongan bangsawan yang diperbolehkan mengenyam pendidikan dengan model Barat, artinya belum adanya kemerdekaan pendidikan seperti pada pemikiran yang dicetuskan oleh Ki Hadjar Dewantara pelopor Taman Siswa tahun 1922 kala itu. 

Perkembangan nasionalisme dan liberalisme di Eropa membuat para kaum priyayi atau pelajar inilah membangkitkan nasionalisme salahsatunya dengan cara memberikan pengajaran dan pendidikan seperti yang dilakukan oleh Ki Hadjar Dewantara. 

Sejak saat itulah pergerakan nasional para pelajar dan kaum priyayi dimulai. Pendidikan non formal seperti pesantren/madrasah berdiri, juga pendidikan formal untuk anak-anak pribumi hingga sampai saat ini dengan waktu pendidikan formal yang mengikuti bangsa Jepang sejak masa pendudukan Jepang di Indonesia. Dengan dimensi waktu saat itu SD selama 3 tahun, SMP selama 3 tahun dan SMA selama 3 tahun. Pendidikan formal ala pendudukan Jepang inilah yang sampai saat ini masih terus diterapkan di Indonesia.

Pendidikan yang dilakukan di Indonesia setelah merdeka dilakukan melalui dua wadah yaitu pendidikan formal dan non formal. Pendidikan formal di Indonesia adalah pendidikan yang sering disebut pendidikan persekolahan berupa rangkaian pendidikan yang telah baku, mulai dari jenjang SD sampai dengan jenjang Perguruan Tinggi. 

Sementara itu untuk pendidikan TK (Taman Kanak-Kanak) masih dipandang sebagai pengelompokkan belajar yang menjembatani dalam suasana di dalam keluarga dan di SD. Sedangkan untuk pendidikan non formal di Indonesia itu juga sudah mulai beragam. Bagi warga yang belum sempat mengikuti pendidikan dalam jenjang tertentu di dalam pendidikan formal (putus sekolah) maka disediakan pendidikan non formal seperti kejar paket A untuk setingkat SD/MI, kejar paket B untuk setingkat SMP/MTs dan kejar paket C untuk setingkat SMA/MAN. 

Penerapan pendidikan non formal ini berkaitan dengan undang-undang tentang hak memperoleh pendidikan yang layak, terjangkau dan berkualitas. Hal tersebut seiring dengan amanah konstitusi yang tertuang dalam UUD NRI tahun 1945 Pasal 31 ayat 1 dan 2, juga dalam UU no. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 12 bahwa " setiap orang berhak atas perlindungan bagi pengembangan pribadinya, untuk memperoleh pendidikan, mencerdaskan dirinya, dan meningkatkan kualitas hidupnya agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa, bertanggung jawab, berakhlak mulia, bahagia dan sejahtera sesuai dengan hak asasi manusia". 

Sekolah non formal yang lain yang ada di Indonesia selain kejar paket adalah madrasah, majelis taklim, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, lembaga kursus dan lembaga pelatihan. Fungsi pendidikan non formal ini adalah untuk melengkapi pendidikan formal. Diharapkan dengan adanya pendidikan non formal ini masyarakat dapat memiliki kompetensi, keterampilan yang meningkat dan kemampuan untuk hidup yang lebih baik terbuka lebar. Apalagi tantangan di era Industri 4.0 saat ini yang menghendaki sumber daya manusia yang cakap dengan teknologi digitalisasi.

Dalam konteks pendidikan di sekolah saya yaitu di SMA Negeri 4 Tegal maka sistem pendidikan yang diberlakukan mengikuti kurikulum yang diberlakukan oleh pemerintah sekarang. Dengan jenjang waktu selama pendidikan selama 3 tahun. Peserta didik tidak hanya mendapatkan pengajaran dari bapak ibu guru sesuai bidang mata pelajaran yang diampunya tetapi juga peserta didik mendapatkan pendidikan yang melibatkan nilai-nilai. 

Dalam hal pengembangan potensi siswa yang meliputi bakat, minat, dan kreativitas maka sekolah saya membuka kemerdekaan bagi peserta didiknya dengan diadakanya kegiatan ektrakurikuler kerohanian (ROHIS), ektrakurikuler kepramukaan, ektrakurikuler olahraga (Voli, Basket, Futsal, Karate, Silat), ektrakurikuler adiwiyata, ektra kurikuler KIR (Karya Ilmiah Remaja), passsus dan ektrakurikuler yang lain. 

Dalam hal ini maka relevansi sekali antara pemikiran Ki Hadjar Dewantara dengan konteks pendidikan di sekolah saya karena sekolah tidak hanya segai wadah pengajaran saja agar peserta didik pandai saja tetapi jugu peserta didik mampu memanfaatkan pendidikan kepribadian dan mengaitkan pengetahuan yang diperolehnya dalam program kurikulum dengan kebutuhan dan keadaan lingkungan. 

Peserta didik dapat memperdalam dan memperluas pengetahuan keterampilan tentang hubungan antara berbagai mata pelajaran, menyalurkan bakat dan minat, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani dan berkepribadian yang mantap dan mandiri, dan memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Menyiapkan siswa agar menjadi warga masyarakat yang berakhlak mulia, demokratis, menghormati hak-hak asasi manusia dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri.

Selama saya menjadi guru tentunya tidak bisa mendidik saja tanpa memberi ilmu, begitu juga sebaliknya saya tidak bisa memberi ilmu saja tanpa mendidik. Pengajaran yang selama ini saya lakukan tentunya bisa menghasilkan lulusan yang pandai tetapi juga harus dibarengi dengan akhlak yang baik. Apalagi mata plajaran yang saya ajarkan adalah mata pelajaran sejarah. 

Di mana peserta didik dengan belajar sejarah tidak hanya mendapatkan mafaat edukasi saja tetapi juga diharapkan peserta didik dapat menginspirasi dari tokoh-tokoh perjuangan yang ada di dalam cerita sejarah yang bisa dijadikan contoh dan panutan untuk menjadi manusia yang beradab, baik, mempunyai nilai-nilai jiwa patrotisme dan kepahlawanan. 

Dalam hal ini saya pun berusaha membentuk kepribadian peserta didik dengan berwawasan kebangsaan. Sebagai contoh di sekolah saya setiap pagi hari sebelum jam pelajaran di mulai peserta didik membaca tadarussan atau kitab masing-masing, setelah itu peserta didik berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama dengan diiringi musik dari satu sumber suara, salam ABITA Aku Bangga Indonesia Tanah Airku, dan penyampaian visi SMA negeri 4 Tegal secara bersama-sama. 

Pembacaan tadarussan yang dilakukan setiap pagi hari tentunya bertujuan agar peserta didik terbentuk manusia yang tidak hanya pandai tetapi berkhlak baik dengan mengenal Tuhannya, beriman dengan Kitabnya. Begitupun dalam proses pengajaran di dalam kelas, saya pun berusaha melakukan kemerdekaan untuk peserta didik dalam hal penyampaian ilmu atau materi dengan cara diskusi walaupun terkadang masih juga menggunakan metode ceramah. Namun di sela-sela proses pengajaran saya berusaha memberikan pendidikan yang berkaitan dengan nilai-nilai. Agar menjadi warga masyarakat yang beradab dan berkebudayaan sesuai prinsip pelajar pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun