Pernikahan Dengan Non Muslim
Ada dua istilah yang berkaitan dengan pernikahan dalam Al-Qur'an, yaitu al-nikah dan al-zawj. Al-nikah berarti akad atau perjanjian. Sedangkan al-zawj berarti pasangan. Menikah sebenarnya berarti memiliki pasangan lawan jenis yang sah. Kata al-nikah ditemukan dalam berbagai bentuk sebanyak 23 kali dalam Al-Qur'an.
Sementara itu, kata al-zawj ditemukan sebanyak 81 kali dalam Al-Quran. Adapun menurut istilah madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi`iyah,dan Hanabilah telah memberikan definisi yang semuanya memiliki kemiripan. Pada intinya, mereka mendefinisikan arti perkawinan sebagai akad lafazh inkah atau tazwij (menikah atau kawin) dalam bentuk kalimat sebagai milik, untuk bersenang-senang (milkul mut'ah) dengan seorang wanita untuk tujuan tertentu.
Menurut Rusli, SH dan R. Tama, SH mengemukakan bahwa perkawinan beda agama adalah ikatan jasmani dan rohani antara laki-laki dan perempuan, yang terjadi karena perbedaan agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan menurut hukum agama masing-masing. Tujuannya adalah untuk menciptakan keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhan Yang Maha Kuasa. Jadi yang dimaksudkan dengan perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu dengan lainnya dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya.
Secara umum, ada tiga pandangan tentang perkawinan beda agama. Pendapat pertama, pernikahan beda agama dilarang keras. Sama sekali tidak membolehkan perkawinan beda agama, baik laki-laki atau perempuan, Muslim maupun non-Muslim. Pendapat kedua memperbolehkan secara muthlak. Pendapat ini membuka ruang seluas-luasnya bagi pernikahan beda agama. Pendapat terakhir membolehkan pernikahan agama secara terbatas antara laki-laki muslim dengan wanita ahl al-kitab.
Pernikahan beda agama pada awalnya belum diatur dalam Islam. Setelah itu turunlah QS. Al-Baqarah: 221, QS. Al-Maidah: 5, dan QS. Al-Mumtahanah: 10, yang mengatur persoalan beda agama. QS. al-Baqarah: 221 dan QS. Al-Mumtahanah: 10 melarang laki-laki menikahi wanita musyrik dan begitu sebaliknya. Sedangkan QS. Al-Maidah: 5 memperkenankan pria muslim menikah dengan wanita ahli al-kitab, tetapi wanita muslimah tidak diperbolehkan menikah dengan pria ahli kitab. Dalam kasus di Indonesia, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 Tentang Perkawinan Beda Agama dengan tegas menyatakan bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Berbeda dengan Majelis Ulama Indonesia, kelompok pluralis-multikulturalis yang berkembang di Indonesia mengkaji ijtihad para ulama fikih tentang hukum pernikahan beda agama. Permasalahan hukum nikah beda agama melahirkan pemahaman baru. Berawal dari argumentasi bahwa pernikahan bertujuan untuk membangun tali kasih dan tali sayang, kemudian melahirkan ijtihad baru, yakni seorang muslim baik yang laki-laki maupun perempuan boleh menikahi non muslim secara mutlak . Tentu saja masih banyak lagi argumentasi kelompok yang menggunakan perspektif pluralisme multikulturalisme dalam memahami persoalan tersebut.
Urgensi Pernikahan Dengan Non Muslim
Pernikahan beda agama dalam Islam dilarang karena hal ini memiliki implikasi yang sangat besar, salah satunya berdampak pada keluarga yang akan dibangun. Konsekuensi logisnya sebagai berikut :
- Tujuan pernikahan sulit tercapai karena membangun keluarga sakinah,mawaddah, warahmah dan barokah membutuhkan visi yang sama, tujuan yang sama dan seagama (yakni keduanya beragama Islam).
- Pernikahan dalam Islam karenanya adalah ibadah, agama yang sama (Islam) antara suami dan istri adalah sebuah keniscayaan. Dampaknya adalah ibadah nikah tidak sah
- Agama Islam mengajarkan pentingnya menjaga keturunan, maka menikah beda agama tidak dapat mewujudkan menjaga keturunan (Hifdh al-Nasl).
Kelemahan dari nikah beda agama antara lain : menimbulkan ketidaknyamanan, ketidaknyamanan juga mempengaruhi hal-hal lain, yaitu menimbulkan rasa saling tidak percaya. Pernikahan berbeda agama juga menimbulkan masalah dari sudut pandang sosiologis, terutama untuk anak-anak. Anak hasil perkawinan beda agama harus cerdas dalam membatasi diri saat berbicara. Terutama ketika berbicara tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan kepercayaan orang tuanya. Bahkan jika mereka sudah dewasa dan diperbolehkan untuk memilih agama sebagai keyakinannya.
Namun, kondisi yang terjadi di lapangan tidak dapat dipungkiri ada hal yang mesti dijaga oleh anak dalam suatu keluarga yang plural. Sehingga secara tidak langsung berdampak pada ketidaknyamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab, dalam budaya masyarakat tertentu di Indonesia keadaan seperti itu seringkali menjadi sasaran pandang oleh masyarakat Terlepas dari penjelasan di atas, pernikahan yang berbeda agama memiliki beberapa konsekuensi. Pertama: Hubungan suami istri tidak sah dan dianggap berzina, Kedua: garis keluarga ayah biologis dan anaknya terputus.
Ayah secara biologis ia tidak diakui sebagai walinya karena garis keturunannya telah terputus, Ketiga: hukum nafkah bagi ayah kandungnya juga tidak ada, Keempat: antara ayah kandung dan anak kandung tidak terdapat hubungan waris, Kelima: Jika ayah biologis menjadi wali anaknya dari perkawinan beda agama, maka perwaliannya juga berakhir. Artinya perkawinan anak tersebut juga tidak sah dan hubungan perkawinan tersebut tidak sah.
Hukum Pernikahan Beda Agama dalam Islam
Deskripsi ayat tentang nikah di atas menunjukkan bahwa nikah juga mendapat perhatian penting dalam al-Qur’an. Lalu bagaimana dengan pernikahan beda agama? Permasalahan ini juga tidak lepas dari perhatian al-Qur’an. Ada beberapa ayat yang berbicara secara khusus tentang pernikahan beda agama, yaitu: QS. al-Baqarah ayat 221, al-Mumtahanah ayat 10, dan al-Maidah ayat 5.
Surat al-Baqarah ayat 221:
وَلَا تَنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكَٰتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنكِحُوا۟ ٱلْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا۟ ۚ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّن مُّشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ يَدْعُونَ إِلَى ٱلنَّارِ ۖ وَٱللَّهُ يَدْعُوٓا۟ إِلَى ٱلْجَنَّةِ وَٱلْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِۦ ۖ وَيُبَيِّنُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.
Jelas dari ayat di atas bahwa Allah SWT melarang umat Islam menikahi wanita atau pria musyrik. Larangan nikah dalam surat al-Baqarah ayat 221 berlaku bagi laki-laki dan perempuan yang beragama Islam untuk menikah dengan orang yang bukan Islam. Atau bisa dikatakan bahwa mereka yang bukan Muslim adalah musyrik.
Surat Mumtahanah ayat 10:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ ۖ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ ۖ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ ۖ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ۖ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ ۚ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا ۚ ذَٰلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ ۖ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya.
Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.(Q.S. Mumtahanah : 10)
Ayat di atas sering digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan hukum Islam yang melarang seorang wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim.
Dalam kitab Jamiˈ al-Bayan disebutkan bahwa ada hadits yang dijadikan pegangan oleh ulama yang mengharamkan Perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, yaitu: Tamim ibn al-Muntashir telah menginformasikan kepada kami, dia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami Ishaq al-Azraq, dari Syurek dari Asy`ats ibn Sawar dari Hasan dari Jabir ibn Abdullah, dia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW. “Kita boleh menikahi wanita ahl al-kitâb, dan sebaliknya mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita (Islam)”.
Surat Al-Ma’idah ayat 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(Q.S.Al-Ma’idah : 5)
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa wanita muslimah boleh menikah dengan pria non muslim termasuk Ahl Kitab. Laki-laki muslim pun tidak boleh menikah dengan wanita kafir/musyrik, namun pria muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab. Ahli Kitab adalah pengikut Yudaisme dan Kristen (Kristen).
Di samping itu juga Ibn Taimiyah menambahkan, bahwa ayat 5 dalam surat al-Maidah berfungsi menasakh (mengangkatkan hukum) ayat 221 surat al-Baqarah, karena ulama telah sepakat menetapkan surat al-Maidah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah surat al-Baqarah. Hal ini juga diperkuat dengan hadits: “Surat al-Maidah akhir dari al-Qurˋan yang diturunkan, karena itu halalkanlah olehmu apa yang telah dihalalkannya (al-Maidah) dan haramkanlah olehmu apa yang diharamkannya (al-Maidah).” Sehubungan dengan itu digunakan kaidah yang mengatakan apabila terdapat pertentangan antara dua surat, maka ayat yang terakhir diturunkan menasakh ayat yang terdahulu diturunkan.
Menurut Ibnu Hazm, wanita Ahli Kitab adalah pengecualian dalam kelompok kecil dari kelompok besar wanita kafir. Masalah ini bukan termasuk naskh melainkan pentakhsisan(pengkhususan). Pendapat itu kemudian sependapat dengan Ibnu Hazm yang membolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab.
Islam membolehkan perkawinan dengan wanita Ahli Kitab dengan maksud menghilangkan hambatan bagi perkembangan Islam dan hubungan politik lebih lanjut. Hal ini karena dalam pernikahan keluarga bercampur dan dipersatukan, sehingga memberikan kesempatan untuk mempelajari agama Islam dan mengenal akhlak, prinsip dan teladannya yang mulia. Bentuk silaturahmi ini merupakan cara untuk mendekati kelompok muslim dan Ahli Kitab serta menyebarkan Islam kepada mereka. Oleh karena itu seorang muslim yang ingin menikah dengan wanita Ahli Kitab hendaknya menjadikan tujuan dan niat tersebut sebagai salah satu tujuan dan niatnya.
Mayoritas ulama, termasuk ulama dari empat madzhab, sepakat bahwa wanita non muslim dilarang menikah dengan non ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Wanita non muslim dilarang menikah dengan siapapun kecuali ahli kitab berdasarkan QS. Al Baqarah: 221 di atas dan izin mengawini istri ahli kitab didasarkan pada QS. Al-Maidah ayat 5.
Dalam bahasa lain, menurut kebanyakan ulama, dibolehkan menikahi istri-istri Ahli Kitab, meskipun status izin ini berbeda-beda antara Mubah dan Makruh. Namun, yang juga harus ditekankan adalah agar mereka boleh menikah, maka wanita Ahli Kitab harus suci dari zina, golongan Muhshanat dan statusnya bukan penduduk harbiy yang boleh dibunuh. Dalam madzhab Syafi’i ahli kitab yang dimaksud nasabnya harus sampai kepada Bani Isra’il, walaupun syarat yang ketiga masih diperselisihkan antara ulama.
Dalam memahami pernikahan antara wanita muslimah dan pria non muslim, para ulama sepakat bahwa hukumnya haram, namun pernikahan pria muslim dengan wanita non muslim berbeda, karena perbedaan penafsiran ayat-ayat dalam al-qur an. Telah terbentuk tiga pendapat di kalangan ulama yang menafsirkan ayat di atas, yaitu tentang laki-laki muslim yang menikah dengan wanita Ahli Kitab.
Pendapat pertama adalah laki-laki muslim dilarang menikahi wanita Ahli Kitab. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdullah bin Umar dengan menggunakan tafsir surat al-Baqarah ayat 221 yang menyatakan bahwa istri-istri Ahli Kitab termasuk kaum musyrik di kalangan Nasrani dan Yahudi karena menyembah Isa bin Maryam dan Uzer. Jadi, mereka tidak halal dinikahi karena orang musyrik haram dinikahi.
Pendapat kedua dikemukakan oleh Atha' bin Rabbah. Beliau menjelaskan bahwa menikah dengan Ahli Kitab adalah rukhsah karena saat itu wanita muslimah sangat sedikit. Sedangkan saat ini sudah banyak wanita muslimah, sehingga tidak perlu lagi menikah dengan wanita ahli kitab dan otomatis rukhsah menikahinya hilang, termasuk ahli kitab. Pendapat ketiga diberikan oleh mayoritas ulama yang membolehkan perkawinan dengan wanita Ahli Kitab berdasarkan Firman Allah dalam Surat al-Ma'idah ayat 5, sedangkan Ahli Kitab adalah wanita Yahudi dan orang Kristen
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dua pendapat tentang penyelenggaraan perkawinan beda agama di Indonesia. Pertama, UU Perkawinan Beda Agama tidak boleh dan dilarang karena merupakan bagian dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Hukum Agama yang Diakui di Indonesia, seperti Islam, Katolik, dan Hindu.
Sedangkan dalam Buddhisme dan Konfusianisme, penerapannya tidak dilarang. Kedua, UU Perkawinan Beda Agama di Indonesia dapat dilaksanakan karena Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengubah UU Nomor 1 Tahun 1974, tidak secara khusus mengatur perkawinan beda agama di Indonesia, sehingga terjadi kekosongan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum.
Undang-undang perkawinan secara relatif jelas menolak kebolehan menikah antara orang yang berbeda agama, karena dianggap sah jika mempelai tunduk pada undang-undang yang tidak melarang perkawinan dalam agamanya bukan berarti bebas dari masalah. Sebaliknya ia mengundang berbagai penafsiran terhadap ketentuan itu. Pertama, penafsiran bahwa perkawinan beda agama melanggar Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang menurutnya perkawinan sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Penjelasan undang-undang tersebut menegaskan bahwa susunan kata Pasal 2(1) tidak mencakup perkawinan di luar hukum agama atau kepercayaan apapun.
Kedua, Perkawinan beda agama sama sekali tidak ada dalam UU No. 1 Tahun 1974, maka berdasarkan Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 masalah perkawinan beda agama dalam tatanan perkawinan campuran dapat dirujuk karena tidak diatur dalam undang-undang perkawinan.
KESIMPULAN
Agama-agama yang berkembang dan diterima oleh masyarakat Indonesia selain Islam ada Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha dan Khonghucu dapat digolongkan sebagai ahl al-kitab karena agama-agama tersebut menganut paham tauhid dan sesuai dengan praktik keagamaannya. Mereka memiliki dan membaca kitab suci.
Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan di Indonesia yaitu Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tidak secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang berlaku. Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah kebijakan hukum Mahkamah Agung. Selain itu, perkawinan beda agama di Indonesia terus terpecah belah.
Setelah dilakukan penelitian atau ijtihad dengan pendekatan ushul-fiqh terhadap perkawinan beda agama di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan adalah mubah (boleh) asalkan memenuhi kriteria kebolehan yang tercantum dalam nash yaitu al-muhshanat (merdeka dan menjaga kehormatan diri).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H