Ayat di atas sering digunakan sebagai dasar untuk menjelaskan hukum Islam yang melarang seorang wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim.
Dalam kitab Jamiˈ al-Bayan disebutkan bahwa ada hadits yang dijadikan pegangan oleh ulama yang mengharamkan Perkawinan antara wanita muslimah dengan laki-laki non muslim, yaitu: Tamim ibn al-Muntashir telah menginformasikan kepada kami, dia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami Ishaq al-Azraq, dari Syurek dari Asy`ats ibn Sawar dari Hasan dari Jabir ibn Abdullah, dia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW. “Kita boleh menikahi wanita ahl al-kitâb, dan sebaliknya mereka tidak boleh menikahi wanita-wanita kita (Islam)”.
Surat Al-Ma’idah ayat 5
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۖ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ ۖ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ ۗ وَمَنْ يَكْفُرْ بِالْإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Artinya : Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-orang merugi.(Q.S.Al-Ma’idah : 5)
Dari ayat diatas dapat disimpulkan bahwa wanita muslimah boleh menikah dengan pria non muslim termasuk Ahl Kitab. Laki-laki muslim pun tidak boleh menikah dengan wanita kafir/musyrik, namun pria muslim boleh menikahi wanita Ahli Kitab. Ahli Kitab adalah pengikut Yudaisme dan Kristen (Kristen).
Di samping itu juga Ibn Taimiyah menambahkan, bahwa ayat 5 dalam surat al-Maidah berfungsi menasakh (mengangkatkan hukum) ayat 221 surat al-Baqarah, karena ulama telah sepakat menetapkan surat al-Maidah diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah surat al-Baqarah. Hal ini juga diperkuat dengan hadits: “Surat al-Maidah akhir dari al-Qurˋan yang diturunkan, karena itu halalkanlah olehmu apa yang telah dihalalkannya (al-Maidah) dan haramkanlah olehmu apa yang diharamkannya (al-Maidah).” Sehubungan dengan itu digunakan kaidah yang mengatakan apabila terdapat pertentangan antara dua surat, maka ayat yang terakhir diturunkan menasakh ayat yang terdahulu diturunkan.
Menurut Ibnu Hazm, wanita Ahli Kitab adalah pengecualian dalam kelompok kecil dari kelompok besar wanita kafir. Masalah ini bukan termasuk naskh melainkan pentakhsisan(pengkhususan). Pendapat itu kemudian sependapat dengan Ibnu Hazm yang membolehkan menikah dengan wanita Ahli Kitab.
Islam membolehkan perkawinan dengan wanita Ahli Kitab dengan maksud menghilangkan hambatan bagi perkembangan Islam dan hubungan politik lebih lanjut. Hal ini karena dalam pernikahan keluarga bercampur dan dipersatukan, sehingga memberikan kesempatan untuk mempelajari agama Islam dan mengenal akhlak, prinsip dan teladannya yang mulia. Bentuk silaturahmi ini merupakan cara untuk mendekati kelompok muslim dan Ahli Kitab serta menyebarkan Islam kepada mereka. Oleh karena itu seorang muslim yang ingin menikah dengan wanita Ahli Kitab hendaknya menjadikan tujuan dan niat tersebut sebagai salah satu tujuan dan niatnya.
Mayoritas ulama, termasuk ulama dari empat madzhab, sepakat bahwa wanita non muslim dilarang menikah dengan non ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Wanita non muslim dilarang menikah dengan siapapun kecuali ahli kitab berdasarkan QS. Al Baqarah: 221 di atas dan izin mengawini istri ahli kitab didasarkan pada QS. Al-Maidah ayat 5.
Dalam bahasa lain, menurut kebanyakan ulama, dibolehkan menikahi istri-istri Ahli Kitab, meskipun status izin ini berbeda-beda antara Mubah dan Makruh. Namun, yang juga harus ditekankan adalah agar mereka boleh menikah, maka wanita Ahli Kitab harus suci dari zina, golongan Muhshanat dan statusnya bukan penduduk harbiy yang boleh dibunuh. Dalam madzhab Syafi’i ahli kitab yang dimaksud nasabnya harus sampai kepada Bani Isra’il, walaupun syarat yang ketiga masih diperselisihkan antara ulama.