Mohon tunggu...
Adolf Nugroho
Adolf Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Dilahirkan di Kota Gudeg Jogjakarta. Seorang pendidik, trainer, penulis di majalah SDM dan psikologi. 2,6 tahun mengabdikan diri di bidang pendidikan di Papua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengembalikan Yogyakarta sebagai Basis Budaya

3 April 2019   13:00 Diperbarui: 4 April 2019   09:37 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kembali sejumlah peristiwa terjadi di Jogjakarta, sejak peristiwa pembubaran doa Rosario dan  juga peristiwa Gereja Katolik St Lidwina, kemudian disusul dengan penolakan simbol salib di pemakaman umum dan kali ini terjadi penolakan terhadap warga non muslim untuk tinggal di pedukuhan Karet desa Pleret Bantul.

 Apa  yang sedang terjadi? Melihat Jogjakarta tidak bisa sepotong sepotong, Jogja adalah sebuah wilayah khusus dengan status istimewa karena kebudayaan system kerajaan yang sudah melekat. 

Dan tentu saja karakter warga yang berada di wilayah kerajaan ini yang cukup teguh memegang budaya Jawa. Namun disebut sebut sekarang ini masyarakat Jogja sudah hilang ke JAWAaannya, betulkah demikian?

Surya Sasangka, wartawan Newsweek dalam Sarasehan Budaya Jawa "Adiluhung Budaya Jawi Kawawas Saking Mancanegari" di Griya KR, Jl Mangkubumi 42 semalam (27/4) memberikan komentar mengenai hilangnya ciri-ciri ke-Jawa-an tersebut. Pertama adalah banyaknya orang Jawa yang merasa minder dan tidak percaya diri dengan budayanya sendiri sehingga lebih senang mempelajari budaya asing. 

Mereka bahkan merasa kebarat-barat-an dibanding orang Barat sendiri. Padahal sejauh pengamatannya, budaya Jawa merupakan budaya dengan filosofi yang adiluhung dan tidak akan habis untuk dipelajari sampai kapanpun.

 Sebab yang kedua adalah banyaknya orang Jawa yang lebih senang berkiblat pada budaya dan agama Timur Tengah sehingga mereka tidak bisa membedakan antara agama dan budaya sendiri. 

Menurut pandangan mereka kebudayaan Jawa tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh agama mereka, karena itulah tidak perlu dipertahankan lagi. Padahal nenek moyang kita pada zaman dulu memberikan gambaran yang jelas bagaimana men-jawa-kan agama tanpa merusak ajaran agama itu sendiri. Sebab terakhir adalah minimnya fasilitas dan sarana untuk mengembangkan budaya Jawa. 

Bahkan media massa sendiri sebagai wadah untuk mempromosikan budaya Jawa tidak memberikan ruang secara maksimal bagi perkembangan budayanya sendiri. (gudeg.net) Mungkin kah sebab sebab ini membuat sebagian masyarakat jogja terkait dengan beberapa peristiwa di atas? Entahlah!

Sebagai orang Jogja, harus diakui bahwa gejala gejala tersebut bisa dirasakan sebagai gerakan yang tanpa disadari mencuat dalam interaksi orang jogja dengan yang lain (berbeda agama). 

Kemudian tanpa disadari muncul dalam bentuk aturan aturan yang dulu tidak ditemukan ditengah kehidupan masyarakat. Itu artinya tidak semua orang asli Jogja hilang ke-JAWA-annya. Saya masih percaya masih banyak orang Jogja atau wilayah Jogja yang masih sangat terbuka dan bahkan bergandengan erat dengan "yang lain" di tengah gempuran isu intolenrasi.  

Saya kasih contoh di kampung saya Kricak Kidul kelurahan Tegalrejo yang masih sangat terbuka siapapun yang tinggal/ngontrak di wilayah tersebut tetap diterima untuk bisa hidup bersama sama. 

Bahkan ketua RW 07 adalah seorang pendeta. Namun memang pernah terjadi isu penolakan (surat kaleng). Tapi itu sudah lama dan kemudian wacana tersebut hilang begitu saja, karena tidak ditanggapi oleh warga.

Jogja memang menjadi kota budaya, terutama ciri khas yang belum hilang adalah jogja sebagai kota pelajar sehingga siapapun bisa datang dan mengayuh kehidupan di kota ini. Wilayah yang dulunya sebuah kerajaan Mataram Hindu, kemudian berlanjut Mataram Islam dalam berkembangannya menjelma menjadi kota yang berpenduduk beragam. 

Kota yang terbuka bagi siapapun, mengakomodasi berbagai kepentingan, ideologi dan keyakinan berbeda. Maka tak bisa dipungkiri mungkin muncul ketidaksiapan psikologis dalam menerima "yang lain". 

Hidup berdampingan dengan "yang lain" yang berbeda keyakinan. Padahal perkembangan kehidupan manusia akan terus berubah, kita tak lagi bisa hidup dengan "yang sama"  terus menerus. Sekali waktu bahkan dalam perjalanan kehidupan mungkin terjadi kita akan berjumpa dengan "yang lain". 

Hidup bersama bertetangga. Siapkah kita?! Untuk menjaganya nilai nilai luhur demi menciptakan tatanan masyarakat yang baik harus dikedepankan. Bukankah itu ciri khas masyarakat DIY? Mumpung gejala ini masih belum masif, maka rawatlah keberagaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun