Saya kasih contoh di kampung saya Kricak Kidul kelurahan Tegalrejo yang masih sangat terbuka siapapun yang tinggal/ngontrak di wilayah tersebut tetap diterima untuk bisa hidup bersama sama.Â
Bahkan ketua RW 07 adalah seorang pendeta. Namun memang pernah terjadi isu penolakan (surat kaleng). Tapi itu sudah lama dan kemudian wacana tersebut hilang begitu saja, karena tidak ditanggapi oleh warga.
Jogja memang menjadi kota budaya, terutama ciri khas yang belum hilang adalah jogja sebagai kota pelajar sehingga siapapun bisa datang dan mengayuh kehidupan di kota ini. Wilayah yang dulunya sebuah kerajaan Mataram Hindu, kemudian berlanjut Mataram Islam dalam berkembangannya menjelma menjadi kota yang berpenduduk beragam.Â
Kota yang terbuka bagi siapapun, mengakomodasi berbagai kepentingan, ideologi dan keyakinan berbeda. Maka tak bisa dipungkiri mungkin muncul ketidaksiapan psikologis dalam menerima "yang lain".Â
Hidup berdampingan dengan "yang lain" yang berbeda keyakinan. Padahal perkembangan kehidupan manusia akan terus berubah, kita tak lagi bisa hidup dengan "yang sama" Â terus menerus. Sekali waktu bahkan dalam perjalanan kehidupan mungkin terjadi kita akan berjumpa dengan "yang lain".Â
Hidup bersama bertetangga. Siapkah kita?! Untuk menjaganya nilai nilai luhur demi menciptakan tatanan masyarakat yang baik harus dikedepankan. Bukankah itu ciri khas masyarakat DIY? Mumpung gejala ini masih belum masif, maka rawatlah keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H