Beberapa waktu lalu, seorang pengisi siniar bernama Indah G, menyatakan bahwa jumlah kosakata Bahasa Indonesia tergolong rendah dibandingkan bahasa-bahasa lain, terutama bahasa Inggris. Benarkah kita kalah jauh dari bahasa lain?
Kosakata: Sebuah Ukuran yang Kompleks
Untuk memahami kompleksitas jumlah kosakata, perlu diketahui bahwa setiap bahasa memiliki karakteristik dan cara penghitungan yang berbeda. Misalnya, bahasa Inggris dikenal memiliki lebih dari 170.000 kata yang aktif digunakan, berdasarkan Oxford English Dictionary (OED). Namun, apakah jumlah ini benar-benar menunjukkan kekayaan bahasa tersebut? Tidak sepenuhnya. Kosakata dalam sebuah bahasa tidak hanya soal jumlah, tetapi juga tentang konteks, fungsi, dan fleksibilitasnya.
Bahasa Indonesia, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), memiliki sekitar 91.000 lema. Jumlah ini mungkin tampak lebih sedikit dibandingkan bahasa Inggris, tetapi perlu diperhatikan bahwa Bahasa Indonesia juga dikenal sebagai bahasa aglutinatif.
Dengan kata lain, suatu kata dapat dibentuk dengan menggabungkan morfem-morfem yang memiliki arti tersendiri. Ini berbeda dengan bahasa Inggris yang lebih banyak menggunakan fleksi.
Misalnya, kata "menyanyikan" terdiri dari tiga morfem: me-Â (prefiks), nyanyi (kata dasar), dan -kan (sufiks). Sistem ini memungkinkan Bahasa Indonesia untuk menciptakan kosakata baru dengan relatif mudah tanpa harus bergantung pada kosakata yang sudah ada. Contoh lain adalah penggunaan reduplikasi atau perulangan unsur kata, seperti "gerak-gerik" atau "lari-lari kecil," yang memperkaya cara kita berkomunikasi.
Perkembangan Kosakata dalam Bahasa Kita
Di era globalisasi ini, Bahasa Indonesia terus berkembang dan beradaptasi dengan pengaruh-pengaruh dari luar. Banyak kata baru yang diserap dari bahasa asing, terutama bahasa Inggris, seiring dengan perkembangan teknologi dan informasi. Kata-kata seperti "startup," "influencer," dan "content creator" kini telah menjadi bagian dari kosakata sehari-hari. Selain itu, dalam dunia digital, istilah-istilah baru terus muncul dan memperkaya kosakata Bahasa Indonesia, seperti "unggah" (upload), "gawai" (gadget), dan "swafoto" (selfie). Proses ini menunjukkan bahwa bahasa adalah entitas yang dinamis dan terus berkembang.
Jumlah kosakata dalam suatu bahasa juga dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan teknologi. Bahasa Indonesia adalah contoh yang baik dari bagaimana bahasa terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Sebagai bahasa yang relatif muda, Bahasa Indonesia terus menyerap kata-kata baru dari bahasa asing, terutama dari bahasa Inggris dan Belanda, sebagai akibat dari sejarah kolonial dan globalisasi. Misalnya, kata "internet," "komputer," dan "telepon" adalah kata-kata serapan yang berasal dari bahasa asing, tetapi kini sudah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari.
Kosakata yang kaya juga memungkinkan masyarakat untuk mengekspresikan ide-ide yang kompleks dan abstrak. Dalam Bahasa Indonesia, misalnya, terdapat banyak peribahasa dan ungkapan yang memberikan nuansa lebih dalam pada percakapan. Ungkapan seperti "berat sama dipikul, ringan sama dijinjing" atau "tak ada rotan, akar pun jadi" menunjukkan kemampuan bahasa untuk mencerminkan nilai-nilai sosial dan budaya.
Peran Bahasa Daerah di Indonesia
Selain Bahasa Indonesia, Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 700 bahasa daerah yang tersebar di seluruh Nusantara. Bahasa-bahasa daerah ini adalah bagian tak terpisahkan dari identitas kebahasaan kita. Beberapa di antaranya, seperti Bahasa Jawa dan Sunda, memiliki jutaan penutur dan bahkan kosakata yang lebih kaya dari Bahasa Indonesia itu sendiri. Bahasa Jawa, misalnya, memiliki sistem tingkatan bahasa (ngoko, krama, dan krama inggil) yang menambah kompleksitas dan kehalusan dalam berkomunikasi.
Tingkatan bahasa ini mencerminkan status sosial dan menghormati lawan bicara, sesuatu yang tidak dimiliki oleh banyak bahasa lainnya. Sistem ini memperlihatkan betapa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan budaya dan norma-norma sosial. Keberadaan bahasa daerah ini memperkaya Bahasa Indonesia melalui serapan kosakata dan istilah-istilah lokal yang kemudian menjadi bagian dari bahasa nasional.
Misalnya, kata "goyang" dalam bahasa Jawa bisa berarti bergerak dalam konteks tertentu, sementara di daerah lain mungkin memiliki makna yang berbeda. Seperti bahasa Aceh, kata yang sama bisa berarti takut. Pengaruh bahasa daerah juga terlihat dalam banyak kata serapan yang telah menjadi bagian dari kosakata resmi Bahasa Indonesia. Contohnya, kata "senggol" yang berasal dari Bahasa Betawi, "tempe" yang berasal dari Bahasa Jawa, dan "rendang" dari Bahasa Minangkabau. Penggunaan kata-kata ini tidak hanya memperkaya bahasa, tetapi juga menghubungkan kita dengan warisan budaya yang mendalam.