Dari bukit Marapalam kembali ia dikobarkan, setelah capek berbunuh-bunuhan. Cikal bakal datangnya kesadaran, yang tumbuh sehabis peperangan.
Sebuah traktat baru dibangun dipagari dengan kukuh. Ia menjadi kebanggaan. Tak ada yang dimenangkan dan tak ada pula yang dikalahkan. Keduanya sama merasakan antara kalah dan menang.
Waktu berjalan, generasi baru pun datang. Tampilannya jelas tak sama. Generasi pasca perang yang trauma mencari jalan, memformat dalam kesamaan pandangan agar tak lekang dan lapuk ditelan zaman. Tapi kini, jauh setelah masa itu, apakah telah terjadi pelunturan akibat dimakan waktu. Suatu indikasi persiapan akan kehilangan, lenyap ditelan waktu?
Traktat Marapalam, patut disadari, ia kembali membangkitkan batang terandam, sebuah nama yang mencerminkan laku yang ditata, yang menspiriti sebagai pemenang. Dan kebanggaan itu dijaga dengan dua kata: Minang dan Kabau.
Filosopi kata yang mudah, sederhana dan tak sulit dibaca. Ketika minangnya hilang maka yang tinggal adalah kabau. Ketika kabaunya hilang, maka minang menjadi tak ada?
Dua kata itu, mencerminkan spirit penjagaan akan luhak, sebuah wilayah yang telah ditandai yang mengikat tata laku yang disebut adat.
Mereka membangun spirit sebagai pemenang, yang dipertahankan dengan taktik yang tak serampangan, menjaga homogenitas bukan kebhinekaan. Tapi anehnya dari rahimnya keindonesiaan turut diperjuangkan, mengikat berbagai Nusa. Putra-putrinya tak mengucapkan sumpah palapa, tapi sumpah pemuda mereka terima dengan lapang dada.
Ia berada di salah satu nusa diantara nusa yang lainnya. Dan ia tak menolak untuk menyebut dirinya sebagai bagian dari Nusantara. Ia telah mencerminkan kenusantaraan itu sendiri. Ia kobarkan semangat melalui cendikia, spiritnya termasuk pendorong lahirnya Pancasila.
Adat bersandi syarat, syarat bersendikan kitabullah. Kalau cermat dibaca, itulah rangkuman dari Pancasila
Melalui semangatnya Indonesia menjadi ada. Sejarah mencatat dan tak bisa dilupa.
Selentingan terdengar, ketika semangat typologi dikumandangkan terjadi perbedaan pandangan. Bisa dipahami itu terjadi. Sumbernya adalah masalah alkuturasi. Minangkabau tetap menjaga dikotomi, menempatkan secara paralel sambil melakukan evaluasi. Sementara ditempat lain yang terjadi adalah asimilasi, penyusupan sambil melakukan sterilisasi, yang asli tetap dijaga, kuman yang dirasa tak baik dihilangkan, diberi vaksin yang menyehatkan.