Halal dan haram sudah lama dikenal oleh tiap-tiap ummat, sekalipun masing-masing berbeda dalam ukurannya, macamnya dan sebab sebabnya. Akan tetapi sebagian yang halal dan haram itu disesuaikan dengan keadaan dan kondisi, serta berkembang menurut perkembangan manusia itu sendiri serta mengikuti perkembangan situasi dan kondisi.Â
Seperti contoh dalam menilai masalah makanan dan minuman mereka, ada yang boleh ada juga yang tidak boleh. Lebih-lebih dalam masalah makanan yang berupa binatang. Adapun masalah makanan dan minuman yang berupa tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan.Â
Dan dalam islam sendiri tidak mengharamkan hal tersebut, kecuali setelah menjadi arak, baik yang terbuat dari anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda tersebut sudah mencapai kadar memabukkan. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. pernah melaknatnya, yaitu seperti dalam riwayat di bawah ini:
"Rasulullah s.a.w. melaknat tentang arak, sepuluh golongannya: (1) yang memerasnya, (2) yang minta diperaskannya, (3) yang meminumnya, (4) yang membawanya, (5) yang minta dianterinnya, (6) yang menuangkannya, (7) yang menjualnya, (8) yang makan harganya, (9) yang membelinya, (10) yang minta dibelikannya." ( Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah).
Kaidah ini diperjelas sendiri oleh Al-Quran, misalnya tentang arak, Allah berfirman:
"Mereka menanyakan kepadamu ( Muhammad) tentang hukumnya arak dan berjudi, maka jawabannya: bahwa keduanya itu ada suatu dosa besar, di samping dia juga bermanfaat bagi manusia, tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." (al-Baqarah: 219).
Dan juga dalam acuan islam , barang-barang yang dapat dikonsumsi hanyalah barang-barang yang menunjukkan kebaikan, kesucian, keindahan, serta yang menimbulkan kemaslahatan untuk umat baik secara material maupun spiritual. Sebaliknya, benda-benda yang buruk, tidak suci (najis), tidak bernilai, tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam islam bahkan dapat menimbulkan kemudaratan apabila dikonsumsinya hukumnya haram.
Adapun binatang yang diharamkan seperti bangkai dan hikmahnya antar lain
Pertama kali haramnya makanan yang disebut oleh ayat al-Quran ialah bangkai, yaitu binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha manusia yang memang sengaja disembelih atau dengan berburu.
Hikmah diharamkannya bangkai itu kepada manusia, dan dibuang begitu saja tidak boleh dimakan. Untuk persoalan ini kami menjawab, bahwa diharamkannya bangkai itu mengandung hikmah yang sangat besar sekali.
Kedua ialah darah yang mengalir diharamkannya justru karena kotor, yang tidak mungkin jiwa manusia yang bersuh suka kepadanya. Oleh karena itu mengeluarkan darah dengan cara ditusukkan kepada hewan tersebut untuk diambiil darahnya untuk dikumpulkan dan diminum itu termasuk menyakiti dan melemahkan binatang, maka akhirnya diharamkanlah darah tersebut oleh Allah S.W.T.
Ketiga ialah daging babi, naluri manusia yang baik sudah barang tentu tidak akan menyukainya, karena makann-makanan babi itu yang kotor dan najis. Sementara ahli penyelidik berpendapat, bahwa membiasakan makan daging babi dapat melemahkan perasaan cemburu terhadap hal-hal yang terlarang.
Keempat ialah binatang yang disembelih bukan karena Allah, yaitu binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, misalnya mereka sebut nama berhala mereka seperti laata dan uzza. Ini berarti suatu taqarrub kepada selain Allah dan menyembah kepada selain Allah yang maha besar. Oleh karena itu, menyebut selain namaAllah ketika menyembelih berarti meniadakan perkenan ini dan dia berhak menerima larangan memakan binatang yang disembelih itu.
Al-munkhaniqah, yaitu binatang yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher binatang tersebut ataupun meletakkan kepala binatang pada tempat yang sempit dan sebagainya sehingga binatang tersebut mati.
Al-mauqudzah, yaitu binatang yang mati karena dipukul dengan tongkat dan sebagainya.
Al-mutaraddiyah, yaitu binatang yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati. Yang seperti ini ialah binatang yang jatuh dalam sumur.
An-nathihah, yaitu binatang yang baku hantam antara satu dengan lain, sehingga mati.
Maa akalas, yaitu binatang yang disergap oleh binatang buas dengan dimakan sebagian dagingnya sehingga mati.
Menurut hananto dan sukarto T.J., kosumsi ialah bagian dari penghasilan yang dipergunakan membeli barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidup. Adapun menurut ilmu ekonomi, konsumsi ialah setiap kegiatan memanfaatkan, menghabiskan kegunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya menjaga kelangsungan hidup.
Prinsip Dasar Konsumsi
Kecendrungan konsumen dalam menentukan pilihan konsumsi menyangkut mengalaman masa lalu, budaya, selera, dan nilai -- nilai yang dianut, seperti agama dan adat istiadat. Perilaku konsumen dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu pendekatan marginal utility dan pendekatan indifferencecurve.
Pendekatan marginal utility adalah kepuasan konsumen yang dapat diukur dengan satuan lain. Adapun pendekatan indifferencecurve (kurva indiferensi) adalah kepuasan konsumen bisa lebih rendah atau lebih tinggi tanpa mempertimbangkan lebih tinggi atau rendahnya. Dalam ekonomi, utility jumlah dari  kesenangan atau kepuasan relative (gratifikasi) yang dicapai.
Model Keseimbangan Konsumsi dalam Islam
Dalam islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Keimanan sangat memengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi, baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual.
Mengakhiri konsep konsumsi dalam islam, penulis mengutip pendapat manan tentang lima prinsip konsumsi dalam islam, yaitu:
Keadialan, prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rezeki yang halal dan tidak dilarang hokum, sesuai firman Allah SWT. Dalam Q.S.Al-Baqoroh ayat 173;
Kebersihan, prinsip ini mengatur bahwa makanan harus baik dan cocok dimakan, tidak kotor, atapun menjijikkan sehingga merusak selera;
Kesederhanaan, prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makan dan minuman yang tidak berlebihan, sebagaimana tercantum dalam firman Allah SWT.dalam Q.S.Al-A'raf ayat 31;
Kemurahan hati, dengan menaati perintah islam, tidak ada bahaya dan dosa ketika memakan dan meminum makanan halal, sebagaimana firman Allah SWT.dalam Q.S.Al-Ma'idah ayat 96;
Moralitas, prinsip ini mengajarkan untuk menyebut nama Allah SWT. sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah  makan.
Dalam  konsumsi, kita mengasumsikan bahwa konsumen cenderung untuk memilih barang dan jasa yang memberikan mashlahah maksimum.Â
Kandungan mashlahah terdiri dari manfaat dan berkah. Seorang konsumen akan mempertimbangkan manfaat dan berkah yang dihasilkan dari kegiatan konsumsinya. Mengonsumsi yang halal saja merupakan kepatuhan kepada Allah, karenanya memperoleh pahala.Â
Misalnya, ketika seseorang menonton televise di pagi hari, maka ia bisa memilih channel mengenai berita politik dan hokum, berita criminal, film kartun, huburan music atau siaran linnya. Setiap jenis siaran tersebut dirancang untuk mampu memberikan manfaat bagi penontonnya, baik berupa layanan informasi maupun kepuasan psikis. Psikis inilah yang merupakan mashlahah duniawi atau manfaat.Â
Misalnya, ketika seseorang menonton berita yang mengungkap cacat (aib) dan keburukan seseorang tanpa tujuan yang benar, maka berarti ia telah mendorong dilakukannya ghibah yang dilarang oleh islam. Keinginan ialah terkait dengan hasrat atau harapan seseorang yang jika dipenuhi tentu akan meningkatkan kesempurnaan fungsi manusia ataupun suatu barang.Â
Dapat disimpulkan bahwa kepuasan adalah merupakan suatu akibat dari terpenuhinya suatu keinginan, sedangkan mashlahah merupakan suatu akibat terpenuhinya suatu kebutuhan atau fitrah. Sebagai misal, ketika seseorang mengonsumsi suatu obat atau jamu untuk mendapatkan tubuh yang sehat, maka ia akan mendapatkan mashlahah fisik, yaitu kesehatan tersebut.Â
Jika rasa obat/jamu tersebut disukai atau diinginkan, maka konsumen akan merasakan mashlahah sekaligus kepuasan. Namun jika konsumen tidak menyukai rasa obat/jamu tersebut, maka ia akan mendapat mashlahah meskipun tidak memperoleh kepuasan saat itu.Â
Untuk mengeksplorasi konsep mashlahah konsumen secara detail, maka disini konsumsi dibedakan menjadi dua, yaitu konsumsi yang ditujukan untuk ibadah dan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan/keinginan manusia semata.Â
Contoh jenis konsumsi yang pertama adalah pembelian barang/jasa untuk diberikan kepada orang miskin, sedekah, waqf maupun ibadah lainnya. Sedangkan konsumsi jenis kedua adalah konsumsi untuk memenuhi kebutuhan/keinginan manusia sebagaimana konsumsi sehari-hari.
Mashlahah yang diperoleh konsumen ketika membeli barang dapat berbentuk satu diantara hal berikut.
Manfaat material, yaitu bisa berbentuk murahnya harga, discount, murahnya biaya transportasi dan searching, dan semacamnya.
Manfaat fisik dan psikis, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan fisik atau spikis manusia, seperti rasa lapar, haus, kedinginan, kesehatan, keamanan, kenyamanan, harga diri, dan sebagainya.
Manfaat intelektual, yaitu berupa terpenuhinya kebutuhan akal manusia, seperti kebutuhan tentang informasi, pengetahuan, keterampilan, dan semacamnya. Seperti permintaan surat kabar, alat ukur suhu, timbangan, dan sebagainya.
Manfaat terhadap lingkungan, yaitu berupa adanya eksternalitas positif dari pembelian suatu barang/jasa atau manfaat yang bisa dirasakan oleh pembeli pada generasi yang sama. Misal mobil wagon dibandingkan dengan mobil sedan memilki manfaat eksternal lebih tinggi, yaitu memiliki kapasitas untuk mengangkut banyak penumpang misalnya kerabat dekat atau tetangga.
Manfaat jangka panjang, yaitu terpenuhinya kebutuhan duniawi jangka panjang atau terjaganya generasi masa mendatang terhadap kerugian akibat dari tidak membeli barang/jasa. Misalnya memberikan manfaat jangka panjang berupa bersihnya lingkungan meskipun dalam jangka pendek konsumen harus membayar dengan harga lebih mahal.
Dalam ibadah mahdhah, jika pahala yang dijanjikan Allah adalah konstan, maka pelaku ibadah tidak akan mendapatkan manfaat duniawi, namun hanya berharap adanya pahala.
Menurut Al-Ghozali, kesejahteraan (maslahah) dari suatu masyarakat tergantung kepada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar: (1) agama (al-dien), (2) hidup atau jiwa (nafs); (3) keluarga atau keturunan (nasl); (4) harta atau kekayaan (maal); dan (5) intelek atau akal (aql).Â
Ia menitikberatkan bahwa  bahwa sesuai tuntunan wahyu, "kebaikan dunia ini dan akhirat (maslahat al-din wa al-dunya) merupakan tujuan utamanya".
Pada penyediaan tingkatan pertama, yaitu kebutuhan sperti makanan, pakaian, dan perumahan. Namun demikian, ghazali menyadari bahwa kebutuhan-kebutuhan dasar demikian cendrung fleksibel mengikuti waktu dan tempat dan dapat mencakup bahkan kebutuhan-kebutuhan sosiopsikologis. Kelompok kebutuhan kedua "terdirin dari semua kegiatan dan hal-hal yang tidak vital bagi lima fondasi tersebut, tetapi dibutuhkan untuk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup." Kelompok ketiga "mencakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekedar kenyamanan saja; meliputi hal-hal yang melengkapi, menerangi atau menghiasi hidup".
Selanjutnya, ia mengidentifikasi tiga alas an mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktifitas ekonomi: (1) mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan; (2) mensejahterakan keluarga; dan (3) membantu orang lain yang membutuhkan. Tidak terpenuhinya ketiga alas an ini dapat "dipersalahkan" menurut agama.
"jika orang-orang tetap tinggal pada tingkatan subsisten (sad al ramaa) dan menjadi sangat lemah, angka kematian akan meningkat, semua pekerjaan dan kerajinan akan berhenti, dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya, agama akan hancur, karena kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat".
Dalam islam sudah jelas dan cukup rinci mengklasifikasikan mana barang halal dan mana barang buruk. Islam juga melarang untuk memhalalkan apa yang sudah ditetapkan haram dan mengharamkan apa-apa yang sudah menjadi halal.
" Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kamu beriman kepadanya" (QS Al-Maa'idah[5]:87-88).
Pada Monzer Kahf yang berusaha mengembangkan pemikiran tentang hal ini, dengan memulai membuat asumsi sebagai berikut:
Islam dilaksanakan oleh masyarakat
Zakat hukumnya wajib
Tidak ada riba dalam perekonomian
Mudarabah wujud dalam perekonomian
Pelaku ekonomi bersikap rasional dengan memaksimalkan kemaslahatan
DAFTAR PUSTAKA
Qardhawi, Yusuf (1993). Terjemahan HALAL DAN HARAM DALAM ISLAM. Hal. 43- 49
http://www.scribd.com/doc/92468804/Prinsip-Konsumsi-Islam
Abu hamid Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Beirut, Dar an-Nahdah t.t),jilid. 2 hlm 109.
Anas Zarqa, op.cit, hlm. 220
Ibid, jilid 2, hlm. 63, 249.
Ibid, jilid 2, hlm. 108.
Monzer Kahf, A Contribution to Theory of Consumer Behaviour in an Islamic Society dalam Khursid Ahmad (ed), Studies in Islamic Economics, (Leicester: The Islamic Foundation, 1981).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H