Mohon tunggu...
Siti Maryamah
Siti Maryamah Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Etika Berkonsumsi dalam Islam

25 Februari 2018   12:07 Diperbarui: 25 Februari 2018   12:42 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

ETIKA BERKONSUMSI DALAM ISLAM

Pada prinsipnya, konsumsi adalah proses menghabiskan nilai guna suatu barang atau jasa. Konsumsi berasal dari bahasa Inggris 'Consumption' yang dapat diartikan sebagai  tindakan untuk mengurangi atau menghabiskan nilai guna ekonomi suatu benda. Sedangkan Graham Bannock dalam bukunya Economics mengartikan konsumsi sebagai pengeluaran total untuk memperoleh barang dan jasa dalam jangka waktu tertentu (dalam satu tahun) pengeluaran.  Konsumsi dalam artian sempit dapat diartikan sebagai pembelanjaan atas barang-barang dan jasa-jasa yang dilakukan oleh rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dari orang yang melakukan pembelanjaan tersebut. Dalam arti kata, konsumsi mutlak ada agar manusia dapat memperoleh kepuasan hidup. Dalam berkonsumsi ada beberapa Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu, tingkat konsumsi dapat dipengaruhi oleh dua faktor:

Faktor Ekonomi, faktor ini muncul disebabkan pola interaksi ekonomi tiap konsumen, seperti:

Besarnya pendapatan individu konsumen.

Kekayaan.

Tingkat harga barang.

Tingkat ketersediaan barang di pasar.

Tingkat bunga suatu barang.

Selera dan tingkat kebutuhan barang.

Serta kemampuan masyarakat dalam menyediakan barang dan jasa.

Faktor demografi

Jumlah penduduk

Komposisi penduduk

 A. Konsumsi dalam Islam

Islam sebagai agama yang komprehensif telah mengatur segala hal terkait kemaslahatan manusia, termasuk di dalamnya pola serta aturan interaksi ekonomi, mulai dari produksi, distribusi serta konsumsi. Sebab dalam ajaran Islam, seorang muslim harus mempertanggungjawabkan tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya, selanjutnya untuk apa harta itu dibelanjakan. Dimintanya pertanggungjawaban kita dalam aktivitas ekonomi inilah yang kemudian mendorong ulama-ulama kontemporer menjelaskan aturan-aturan terkait aktivitas ekonomi. Aturan konsumsi antar tiap ulama tentu memiliki batasan-batasan berbeda, tergantung dari aspek apa mereka memandangnya. Menurut Abdul Mannan, dalam melakukan konsumsi terdapat lima prinsip dasar, yaitu:

Prinsip Keadilan

Prinsip ini mengandung arti ganda mengenai mencari rizki yang halal dan tidak dilarang hukum. Artinya, sesuatu yang dikonsumsi itu didapatkan secara halal dan tidak bertentangan dengan hukum. Berkonsumsi tidak boleh menimbulkan kedzaliman, berada dalam koridor aturan atau hukum agama, serta menjunjung tinggi kepantasan atau kebaikan. Islam memiliki berbagai ketentuan tentang benda ekonomi yang boleh dikonsumsi dan yang tidak boleh dikonsumsi.

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi" (Qs al-Baqarah,2 : 168).

Keadilan yang dimaksud adalah mengkonsumsi sesuatu yang halal (tidak haram) dan baik (tidak membahayakan tubuh). Kelonggaran diberikan bagi orang yang terpaksa, dan bagi orang yang suatu ketika tidak mempunyai makanan untuk dimakan.  Ia boleh memakan makanan yang terlarang itu sekedar yang dianggap perlu untuk kebutuhannya ketika itu saja.

Prinsip Kebersihan

Bersih dalam arti sempit adalah bebas dari kotoran atau penyakit yang dapat merusak fisik dan mental manusia, misalnya: makanan harus baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Sementara dalam arti luas adalah bebas dari segala sesuatu yang diberkahi Allah. Tentu saja benda yang dikonsumsi memiliki manfaat bukan kemubaziran atau bahkan merusak.

"kebersihan sebagian dari iman" ().  Prinsip kebersihan ini bermakna makanan yang dimakan harus baik, tidak kotor dan menjijikkan sehingga merusak selera.  Nabi juga mengajarkan agar tidak meniup makanan:

"Bila salah seorang dari kalian minum, janganlah meniup ke dalam gelas" (HR Bukhari).

Prinsip Kesederhanaan

Sikap berlebih-lebihan (israf) sangat dibenci oleh Allah dan merupakan pangkal dari berbagai kerusakan di muka bumi. Sikap berlebih-lebihan ini mengandung makna melebihi dari kebutuhan yang wajar dan cenderung memperturutkan hawa nafsu atau sebaliknya terlampau kikir sehingga justru menyiksa diri sendiri. Islam menghendaki suatu kuantitas dan kualitas konsumsi yang wajar bagi kebutuhan manusia sehingga tercipta pola konsumsi yang efesien dan efektif secara individual maupun sosial.

"Makan dan minumlah, tapi jangan berlebihan; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" (Qs al-A'raf, 7: 31). Arti penting ayat-ayat ini adalah bahwa kurang makan dapat mempengaruhi jiwa dan tubuh, demikian pula bila perut diisi dengan berlebih-lebihan tentu akan berpengaruh pada perut.

Prinsip Kemurahan hati.

Maka sifat konsumsi manusia juga harus dilandasi dengan kemurahan hati.  Maksudnya, jika memang masih banyak orang yang kekurangan makanan dan minuman maka hendaklah kita sisihkan makanan yang ada pada kita, kemudian kita berikan kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Dengan mentaati ajaran Islam maka tidak ada bahaya atau dosa ketika mengkonsumsi benda-benda ekonomi yang halal yang disediakan Allah karena kemurahan-Nya. Selama konsumsi ini merupakan upaya pemenuhan kebutuhan yang membawa kemanfaatan bagi kehidupan dan peran manusia untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah maka Allah elah memberikan anugrah-Nya bagi manusia.

Prinsip Moralitas.

Pada akhirnya konsumsi seorang muslim secara keseluruhan harus dibingkai oleh moralitas yang dikandung dalam Islam sehingga tidak semata -- mata memenuhi segala kebutuhan. Allah memberikan makanan dan minuman untuk keberlangsungan hidup umat manusia agar dapat meningkatkan nilai-nilai moral dan spiritual.  Seorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah sebelum makan dan menyatakan terimakasih setelah makan.

Halal adalah sesuatu yang mubah (diperkenankan), yang terlepas dari ikatan Iarangan, dan diizinkan oleh Pembuat Syari'at untuk dilakukan. Haram adalah sesuatu yang dilarang oleh Pembuat Syari'al dengan Iarangan yang pasti, di mana orang yang melanggarnya akan dikenakan hukuman (siksa) di akhirat, dan adakalanya dikenai hukuman juga di dunia (Qaradhawi, 2007:13).

Haram adalah sesuatu yang Allah SWT larang. Oleh karena itu, seorang Muslim harus dapat mengidentifikasi apa yang halal dan apa yang tidak. Menurut Hosen (2007) (Soesilowali, 2009:22) terdapat kriteria makanan haram, secara garis besar terbagi 2 yakni:

Haram Ii dzatihi, haram dalam substansinya (za'r-nya) yang pada dasarnya memang dilarang oleh agama dan sudah jelas rambu-rambunya di dalam AI-Quran. Menurut wujudnya terdapat dua kriteria yang haram di konsumsi.

Haram Ii ghain'hi, suatu hal yang pada dasarnya (secara zat) tidak dilarang dalam agama, tetapi menjadi haram karena ada hal-hal lain yang membuatnya menjadi haram, misalnya dalam cara mendapatkan suatu makanan dengan cara yang haram dan yang batil, seperti mencuri, suap, menipu, judi, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun