Mohon tunggu...
Ste Vocal
Ste Vocal Mohon Tunggu... Penulis - Vocalkan suaramu

Cara mudah menjadi kritis adalah mau berpikir, selanjutnya berani bersuara

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gelas yang Pecah

15 Juli 2020   01:04 Diperbarui: 15 Juli 2020   00:52 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Gelasku pecah hari ini.
Dan aku teringat sesuatu karena itu.

Kagetnya mengingatkanku akan kagetnya aku di saat-saat terpuruk. Saat-saat di mana semua terasa hancur berantakan. Saat di mana semua yang kuperjuangkan begitu keras hancur terlepas.

Semua yang kugenggam erat dipaksa terlepas.

Persis seperti gelas itu.

Benar-benar hancur berkeping-keping. Tak ada bagian yang utuh. Semua yang kuperjuangkan selama itu terasa tak ada artinya, tak ada gunanya.

Tak ada kata yang benar-benar tepat menggambarkannya. Aku begitu hancur terpukul.

Butuh berpuluh-puluh hari untukku cukup pulih dari keadaan itu. Beratus-ratus hari untukku mulai membaik. Sadar, bahwa hidup terus berjalan. Dan aku harus mulai berjalan tanpa memandang bayang-bayang. Meskipun itu bayanganku sendiri.

Akhirnya aku menyadari sesuatu.
Kesadaran yang sama ketika pecahnya gelas itu.

Waktu itu, aku termenung beberapa lama.

Kaget, gelas di rumahku satu-satunya hancur menjadi serpihan beling.

Aku memungutnya satu per satu. Perlahan-lahan.

Kadang sakit, tak sengaja tertusuk pecahan beling. Telunjuk kananku berdarah-darah, tak berhenti mengucur. Aku membasuhnya dengan air sampai berhenti dan membalutnya dengan khansaplast. Lalu mengambil cikrak dan sapu, kemudian membuangnya ke tong sampah.

Saat itu aku menyadari bahwa, apa yang kuperjuangkan selama ini adalah duri.
Semakin kugenggam erat, semakin menusuk dalam. Dan aku tak sadar, itu sudah terlalu dalam.  
Jadi mungkin semesta mulai kasihan, melihatku yang mulai kepayahan sehingga memaksaku untuk menghentikan.

Ketika terlepas, masih ada bagian yang tak merelakannya. Meronta, merasa tak terima. Tapi semuanya justru membuatku semakin merana. Sama seperti ketika aku berusaha memungut serpihan beling-beling itu dengan tanganku. Semakin sakit hati dan putus asa.

Tetapi ketika mulai tenang dan mengikhlaskannya, aku merasa lega. Menyembuhkan sakit dengan cara yang tepat. Berada di tempat yang mendukung untuk memulihkannya. Melakukan kegiatan yang dapat kembali membangun semangat diri. Pelan-pelan merasa tenang, pulih dari ketakutan, kemudian dapat tersenyum. Dapat tertawa dan ingin melihat ke luar jendela.

Toxic circle, prinsip yang bertentangan dengan nurani, hal yang menyakitimu secara terus-menerus memang tak boleh dipertahankan. Apa pun alasannya. Dan aku bersyukur terlepas dari duri itu.

Seperti aku bersyukur karena pecahnya gelas itu. Aku baru teringat, gelas itu sudah tak kucuci setahun lamanya, sehingga tentu banyak bakterinya. Lebih baik gelas itu pecah, daripada diriku yang terbunuh si kuman.

Kisah ini cerpen ilustrasi inspirasi, bukan dari kisah nyata. Diselipkan dengan sedikit humor, maaf bila kurang atau gagal melucu.

Intinya adalah jika sesuatu yang kita perjuangkan mati-matian menjadi berantakan atau hancur di luar dugaan, mungkin itu suatu proses untuk hal yang lebih baik. Mungkin ketika mengalaminya, kita tidak mengerti dan bertanya 'kenapa aku?' atau 'kenapa begini?' Tetapi perlahan kita akan tahu, itu untuk sesuatu yang lebih baik.

Semesta selalu seimbang. Selalu menarik beberapa hal yang satu frekwensi. Seperti pepatah, 'burung-burung yang sejenis akan hinggap di dahan yang sama'. Segala sesuatu pun akan berkumpul dengan unsur yang sama. Hal yang baik akan menyatu dengan hal yang baik, begitu juga sebaliknya. 

Jika masuk ke bahasa religius, kata-kata 'Terkadang Tuhan menarik kita keluar dari sesuatu untuk menyelamatkan kita' terasa tepat untuk menggambarkannya. 


Semoga ceritanya bisa sedikit menginspirasi atau sekadar menghibur. Hehe.

Terimakasih sudah berkenan membaca. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun