Mohon tunggu...
Ste Vocal
Ste Vocal Mohon Tunggu... Penulis - Vocalkan suaramu

Cara mudah menjadi kritis adalah mau berpikir, selanjutnya berani bersuara

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nulis, Gak Ada Duitnya!

13 Maret 2020   22:59 Diperbarui: 13 Maret 2020   22:55 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada beberapa teman saya yang bertanya tentang beberapa bagian hidup orang yang berprofesi sebagai penulis. Kegiatannya sehari-harinya, apakah menulis sepanjang hari. Profesi yang dijalaninya, apakah benar-benar sepenuhnya menjadi penulis atau mempunyai profesi lain. Suka duka jadi penulis. 

Prinsip seorang penulis dalam menulis, apakah straight berdasar prinsip-prinsip yang diyakini atau mengejar job dan money oriented. Sampai masuk ke ranah privasi, berapa sih yang didapat penulis berdasar hasil karyanya. Entah per artikel, per job atau per buku. 

Profesi menjadi seorang penulis memang diakui masuk dalam daftar profesi keren sampai saat ini. Meskipun pamornya sedikit kalah dibanding Youtuber, Selebgram atau Influencer. 

Orang yang berprofesi sebagai penulis mempunyai daya tarik tersendiri yang menjadikannya keren. Tampak sedikit misterius namun intelektual dan dapat nyambung dalam obrolan apa pun. Mulai dari bahasan sandal jepit, humor receh, sarkastik sampai politik. Sebagian penulis pun dinilai lebih bijak dan perspektif terhadap memahami suatu masalah, open-minded dalam pendapat dan kritis dalam kehidupan sehari-hari. 

Alhasil, banyak yang tertarik untuk menggeluti dunia kuli tinta ini. Pandangan awam, jadi penulis itu enak. Tinggal coret-coret, dapat duit. Nyari inspirasi sambil cuci mata, dapat ide, jadi duit. Bisa jadi terkenal, punya fans banyak atau dapat tawaran untuk ngiklan lewat artikel. Kerjanya santai, bisa sewaktu-waktu dikerjakan di mana pun dan kapan pun. Kaya dari buat buku. Dapat royalti sewaktu-waktu seumur hidup. Waow!

Tapi apakah benar memang begitu?

Benar, tapi dalam realitanya hanyalah segelintir yang bisa begitu dari total semua penulis yang ada. Royalti buku, tidak ada separuh dari harga buku. Seperempatnya saja masih kurang. Pas dan akuratnya, 10% dari setiap buku yang terjual. Itu pun masih dipotong pajak penghasilan 15%.

Nah, untuk yang menulis artikel di platform atau sebagai freelancer bagaimana? 

Biasanya kisaran rate artikel ini bermacam-macam. Tergantung dari ketenaran dan jam terbang penulis serta banyaknya peminat untuk topik artikel tersebut. 

Kalau untuk kisarannya, dapat diestimasi secara logis. Jika pendapatan penulis adalah 10% dari menulis buku, untuk rate per artikelnya dapat dipikirkan secara mandiri oleh pribadi yang penasaran. Meskipun ini tidak berlaku saklek untuk semua penulis. Tergantung dari variabel yang saya sampaikan sebelumnya. 

Suka duka menjadi penulis seperti mengecap bumbu asam manis. Dukanya ketika merevisi tulisan yang kadang serumit revisi skripsi, dikejar deadline dan mampet ide saat pena dan kertas sudah di genggaman tapi gak bisa nulis sama sekali. Satu kalimat pun tidak terpatri. Dan itu menjadi nightmare saat ide mampet dikejar deadline. 

Yah, meski begitu, jadi penulis juga ada bahagianya. Ketika tulisan di-views, kita tahu ada yang mendengar suara kita. Ada yang care sama opini atau ide kita. Ada yang mengapresiasi karya kita, meskipun kita dan pembaca gak saling tahu dan gak saling kenal. Kita jadi merasa semua usaha menulis kita gak sia-sia, karena didengar. Karena pendapat kita bisa tersampaikan ke orang lain. Harapan kita untuk dapat menginspirasi orang lain juga tersampaikan.  Meskipun itu hanya 1 view.

Sesederhana itu sih bahagianya.

Dan sebenarnya kita gak terlalu peduli tentang views atau likesnya. Kita peduli untuk pembaca dapat mengerti apa yang kita sampaikan. Hanya itu. Karena ketika pembaca mengerti dan satu frekwensi, apa yang kita sampaikan dapat disampaikan oleh pembaca ke orang lain yang mungkin tidak membaca tulisan kita. Dan itulah kekuatan menulis yang sesungguhnya. Dapat berdampak untuk sesuatu yang lebih baik. 

Jadi, jika ada yang bertanya, alasan mengapa kami tetap menulis meskipun hasil kadang tak sebanding usaha, tak sesuai ekspetasi, atau meskipun itu tak dibayar, jawabannya ya hanya karena itu. Karena kami ingin berdampak lewat tulisan kami yang sederhana ini untuk dunia lebih baik. 

Mungkin, bagi kami penulis-penulis kecil, kami belum dapat ke mana-mana. Menjadi pembicara, berdiri di sebuah panggung menyampaikan opini & gagasan kami, lalu berkeliling ke mana-mana. Kami hanya dapat berbicara lewat tulisan saja. Tapi, itu tak menyurutkan asa kami. Karena salah satu keajaiban menulis adalah hanya 'berbicara' di satu tempat, tapi dapat didengar ribuan orang dalam waktu yang sangat panjang. Tulisan kami, selalu abadi. 

Salam menulis!

Terimakasih, Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun