Mohon tunggu...
Ste Vocal
Ste Vocal Mohon Tunggu... Penulis - Vocalkan suaramu

Cara mudah menjadi kritis adalah mau berpikir, selanjutnya berani bersuara

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Corona, Berkah di Balik Wabah?

7 Maret 2020   22:26 Diperbarui: 7 Maret 2020   22:23 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terhitung 5 hari semenjak Presiden Jokowi melakukan konferensi pers tentang 2 warga negara Indonesia yang terjangkit virus Corona, masyarakat semakin panik bukan main. 

Ada yang berbondong-bondong memborong masker, sembako dan hand sanitizer. Ada yang paranoid dengan orang yang batuk dan pilek. Bahkan ada yang paranoid membuka pintu dengan telapak tangan. Serius, ini sungguh terjadi dan bukan lelucon.

Tetapi, mirisnya, di balik kepanikan yang heboh ini, ada beberapa pihak yang diam-diam mencuri kesempatan. Jual masker dengan harga tinggi, dengan banderolan harga berlipat ganda dari harga normalnya. 

Menimbun masker, untuk dijual ke luar negeri. Pihak-pihak oportunis yang berdalih kasihan ingin membantu warga negara lain yang lagi kesusahan diterjang wabah. Padahal di negeri sendiri lagi butuh banyak masker. 

Kepanikan yang mengalahkan kemanusiaan. Kepanikan yang menang memunculkan keegoisan. Kepanikan yang memunculkan keserakahan dan akhirnya menciptakan lahan untuk si oportunis, yang tidak miris mengeruk materi di atas kesakitan sesamanya. Kepanikan yang menjadikan kesakitan pada mereka yang sedang membutuhkan pertolongan dan memerlukan maskernya. 

Warga yang dievakuasi saat erupsi Gunung Merapi tidak bisa mendapatkan masker karena stok habis oleh mereka yang sibuk menyerbu dan menimbun masker untuk diri sendiri. Warga kurang mampu yang sakit dan membutuhkan masker akhirnya tidak bisa membeli dikarenakan harga masker yang melonjak tinggi. Karena harga satu lembar masker, melebihi harga sebungkus nasi. Harga 10 lembar masker, lebih mahal daripada obat batuk pilek. 

Saya pun mengalami hal ini beberapa waktu lalu saat terkena flu. Waktu itu, saya datang ke apotek yang terkenal komplit untuk membeli masker dan obat batuk pilek. Saat itu, stok masker sudah habis. Jadilah saya membeli obatnya saja. 

Lalu, saya iseng bertanya, "memang berapa Mbak harga maskernya?".

Mbak Pramuniaga menjawab, "tiga ratus lima puluh satu box, Mbak"

Saya bertanya lagi, "Ribu?" Melanjutkan kata-katanya agar lebih jelas.

Mbak  Pramuniaga mengamininya dengan anggukan. "Iya, Mbak".

Lalu, saya bertanya lagi, 

"Kalau yang eceran, berapa?"

"Satunya Rp 7.500, Mbak".

Saya cuma komen singkat "Mahal juga, ya".

Sambil meneruskan dalam hati, 'Nggak jadi beli meskipun ada maskernya'. Mengapa? Karena harga masker yang saya perlukan selama kurang lebih 3 hari dalam masa pemulihan dari batuk pilek, lebih mahal daripada harga obatnya. 

Urunglah niat saya untuk membelinya. Daripada mengeluarkan untuk 3 gelintir masker, lebih baik saya gunakan untuk membeli vitamin dan makanan bergizi. Itulah yang terpikirkan oleh saya, sebelum Ramayana dan Kimia Farma merilis pemberitaan penjualan masker dengan harga normal.

Dan mungkin yang berpikir dan mengalami hal ini bukan hanya saya saja.

Lalu, atas fenomena ini salah siapa?

Salah yang jual masker dengan harga tinggi?

Atau salah yang beli, masker harga selangit tetap dibeli?

Naiknya harga masker yang dimanfaatkan oknum-oknum oportunis tidak bertaggungjawab memang dapat dipicu banyak hal. Permintaan yang tinggi, paranoid yang tinggi, memunculkan peluang ini. 

Sebagian besar masyarakat seolah-olah beranggapan bahwa masker adalah 'Obat Utama' dari virus Corona. Padahal tameng yang sesungguhnya adalah daya imun yang tinggi untuk bisa menangkal dan jadi kebal. 

Gaya hidup higienis dan sehat, konsumsi vitamin dan makanan bergizi serta istirahat yang cukup. Kekhawatiran  yang tinggi justru dapat melemahkan imun dan tubuh menjadi rentan pada infeksi virus. Waspada boleh, khawatir jangan. 

Hal inilah yang harusnya kita sikapi secara bijak. Bukan maskernya, tapi gaya hidupnya. Bukan khawatir terhadap virusnya, tetapi utamakan action untuk menangkalnya. 

Biarlah masker-masker itu dipakai oleh orang-orang yang sakit, orang yang sedang merawat orang yang mengalami gangguan pernafasan, yang sedang berkendara dan berada di jalan, yang memerlukan masker untuk terlindung dari debu dan asap, sesuai pernyataan resmi dari WHO. 

Terimakasih, salam sehat 😁

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun