Lalu, saya bertanya lagi,Â
"Kalau yang eceran, berapa?"
"Satunya Rp 7.500, Mbak".
Saya cuma komen singkat "Mahal juga, ya".
Sambil meneruskan dalam hati, 'Nggak jadi beli meskipun ada maskernya'. Mengapa? Karena harga masker yang saya perlukan selama kurang lebih 3 hari dalam masa pemulihan dari batuk pilek, lebih mahal daripada harga obatnya.Â
Urunglah niat saya untuk membelinya. Daripada mengeluarkan untuk 3 gelintir masker, lebih baik saya gunakan untuk membeli vitamin dan makanan bergizi. Itulah yang terpikirkan oleh saya, sebelum Ramayana dan Kimia Farma merilis pemberitaan penjualan masker dengan harga normal.
Dan mungkin yang berpikir dan mengalami hal ini bukan hanya saya saja.
Lalu, atas fenomena ini salah siapa?
Salah yang jual masker dengan harga tinggi?
Atau salah yang beli, masker harga selangit tetap dibeli?
Naiknya harga masker yang dimanfaatkan oknum-oknum oportunis tidak bertaggungjawab memang dapat dipicu banyak hal. Permintaan yang tinggi, paranoid yang tinggi, memunculkan peluang ini.Â