Mohon tunggu...
Stevino Adi Kurnia
Stevino Adi Kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Kimia Universitas Brawijaya

Saya adalah seorang kimiawan yang bergerak di bidang penelitian obat dan sintesis bahan organik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menelusuri Stagnasi Indeks Demokrasi Indonesia Berdasarkan Perspektif Historis dan Struktur Sosial Masyarakat Indonesia

21 Desember 2023   22:42 Diperbarui: 21 Desember 2023   22:42 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penulis:
Zahrah Puteri Alifiyyah
Citra Alfianisa Zuhroh
Alya Zahrah Anandra Putri
Muhammad Alfaiz Khalifah Alamsyah

Pendahuluan

Penyelenggaraan demokrasi secara nyata tercermin pada keleluasaan ruang publik yang menjadi wadah bagi masyarakat untuk menyampaikan suara dan perspektif. Ruang publik menurut Jurgen Habermas adalah ruang bebas dari intervensi, dimana individu yang ada di dalamnya terbebas dari ikatan atau pengaruh luar (terutama dari negara dan pemerintahan). Demokrasi adalah hal penting bagi perkembangan suatu negara. Dikatakan demikian karena jika perkembangan demokrasi menuju arah yang baik maka akan membawa kemajuan pada negara tersebut. Kesungguhan Indonesia dalam proses demokrasi tertuang dalam Pasal 18 UUD RI 1945 sesudah amandemen tentang pemerintahan daerah, yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang terbagi atas pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, dimana setiap pemerintah daerah berhak mengatur sendiri urusan pemerintahannya berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Mekanisme ini dikenal umum sebagai otonomi daerah.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut Undang-Undang Pemerintahan Daerah), ada tiga asas utama dalam kerangka otonomi daerah, yakni asas desentralisasi, asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Tiga asas ini juga membawa perubahan warna demokrasi di Indonesia terkait dengan Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut Pemilukada) yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal ini dilatarbelakangi dengan tujuan rakyat dapat berperan aktif dalam berdemokrasi sehingga Kepala Daerah yang terpilih bisa mempunyai nilai obyektif dari masyarakat.

Pemilihan langsung kepala daerah melalui konsep otonomi daerah memang merupakan suatu terobosan yang baik bagi Indonesia dalam berdemokrasi. Namun demikian, secara faktual dinamika perkembangan hukum dan demokrasi di Indonesia saat ini belum menunjukan hasil yang positif bahkan sering kali menimbulkan permasalahan dan kekecewaan di dalam masyarakat. Sengketa pemilukada, korupsi, money politics, pungutan liar, anarkisme antar kelompok dan isu SARA adalah serangkaian permasalahan yang selalu menjadi momok bagi penegakan hukum dan proses demokrasi. Oleh sebab itu tulisan ini akan mengkaji bagaimana pelaksanaan hukum dan demokrasi di Indonesia terkait dengan otonomi daerah. Apa saja kendala yang dihadapi indonesia sehingga proses hukum dan demokrasi menjadi mandek (stagnant) jika dilihat dari perspektif historis dan struktur sosial?

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode historis. Peneliti menggunakan teknik kepustakaan dan teknik dokumentasi dalam pengumpulan data. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis mengambil kesimpulan bahwa stagnasi indeks demokrasi tidak terlepas dari pengaruh jejak kultur feodal yang ditinggalkan era kolonialisme dan struktur masyarakat bangsa Indonesia.

Studi pustaka digunakan agar bisa memahami landasan teori lebih dalam penulisan jurnal ini. Selain itu juga agar bisa mendapatkan variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini. Sementara pengumpulan data dilakukan untuk validasi penelitian. Sumber literatur didapat dari buku dan jurnal di internet. Sementara data-data yang digunakan didapat dari laman terpercaya di internet.

 

Stagnasi Indeks Demokrasi Indonesia

          Dinamika Indonesia dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis hingga kini masih terus dihadapkan oleh berbagai persoalan yang sulit untuk diakhiri. Salah satu yang berkontribusi dalam pesimistik demokrasi di Indonesia adalah praktik politik identitas dan polarisasi isu yang semakin ramai diperbincangkan dalam banyak forum diskusi menjelang momentum pemilihan presiden. Politik identitas merupakan mekanisme politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan sarana politik (Haboddin, 2012). Sedangkan polarisasi isu merujuk pada pengutuban situasi politik yang dibuat seakan-akan hanya ada dua kubu dengan posisi saling berlawanan; kubu lawan dilekatkan karakteristik sifat ekstrem negatif yang harus diminimalisasi agar tidak mendominasi diskursus politik (Tucker dkk., 2018).

Syarwi (2022) mengungkapkan bahwa pemanfaatan mekanisme prosedural dengan praktik politik identitas dan polarisasi berkontribusi dalam keterbelahan publik pada pilpres tahun 2019. Adanya labelisasi diantara dua kubu pendukung yakni “Cebong” dan “Kampret” menggambarkan buruknya keberlangsungan demokrasi dalam kontestasi politik. Waldner dan Lust (2018) menjelaskan beberapa tanda-tanda kemunduran sebuah demokrasi, yakni: melemahnya institusi politik yang menopang sistem demokrasi di suatu negara, seperti pemilu yang kurang kompetitif–tanpa sepenuhnya merusak mekanisme pemilu; pembatasan partisipasi–tanpa menghapus hak pilih sebagai aspek pembentuk dan justifikasi demokrasi; serta melemahnya akuntabilitas dengan mereduksi norma pertanggungjawaban dan hukuman kepada pejabat publik.

Realitas penyelenggaraan politik lainnya yang turut berkontribusi dalam stagnasi demokrasi di Indonesia adalah korupsi, oligarki politik, dan akuntabilitas yang buruk. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tren tindak korupsi yang meningkat secara gradual. Tahun 2019 berjumlah 271 kasus, tahun 2020 berjumlah 444 kasus, tahun 2021 berjumlah 533 kasus dan di tahun 2022 berjumlah 579 kasus. Sedangkan menurut Koho (2021) oligarki politik dapat diamati dari realitas perebutan kursi kepemimpinan di Indonesia yang dianggap tidak lagi dijembatani pertengkaran gagasan tetapi digantikan oleh pertengkaran materil. Dimana sokongan biaya yang bersumber dari pihak berkepentingan seperti partai pengusung menjadi salah satu faktor terbentuknya struktur oligarki. Disamping itu akuntabilitas menjadi parameter transparansi pelayanan publik yang menentukan integritas lembaga institusi pemerintahan di mata masyarakat. Akuntabilitas berkorelasi positif dengan ketercapaian kinerja dan negatif dengan tingkat korupsi.

Kecenderungan stagnasi diperkuat oleh data statistik yang diperoleh dari berbagai badan lembaga riset. Berdasarkan laporan Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 rata-rata skor indeks demokrasi Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir tidak menunjukkan pergerakan yang signifikan. Posisi Indonesia turun dua peringkat ke urutan 54 dari 167 negara. Kinerja demokrasi Indonesia pada tahun 2022 stagnan pada skor 6,71 poin dengan kategori demokrasi cacat (flawed democracies) seperti di tahun sebelumnya. Angka tersebut merujuk pada perolehan rata-rata dari 60 indikator dari lima kategori aspek penilaian yaitu proses pemilu dan pluralisme 7,92 poin, fungsi dan kinerja pemerintah 7,86 poin, partisipasi politik 7,22 poin, kebebasan sipil 6,18 poin dan budaya politik 4,38 poin. Kategori budaya politik tergolong rendah jika dibandingkan dengan empat kategori lainnya yang sudah memperoleh skor di atas rata-rata global komponen indeks demokrasi. Budaya politik yang dimaksud adalah nilai-nilai norma yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, takhayul, dan mitos. Dimana perkembangannya mengikuti situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Maka dalam hal ini partisipasi masyarakat dan praktik politik menjadi manifestasi perilaku kolektif yang terpengaruh oleh dinamika politik dari waktu ke waktu.

Riset Asian Democracy Index (ADI) yang dilaksanakan Cakra Wikara Indonesia pada Desember 2022 mengukur demokrasi dalam kurun waktu dua tahun, yakni Mei 2020 hingga  September 2022. Dalam periode tersebut proses monopoli kekuasaan tercermin dari pembentukan koalisi besar yang berkonsekuensi pada minimnya proses check and balances di pemerintahan. Selain itu, perumusan kebijakan cenderung mengabaikan partisipasi masyarakat. Laporan tersebut memuat dua aspek variabel yaitu liberalisasi dan ekualisasi. Liberalisasi diartikan sebagai kemampuan sektor yang berbeda (politik, ekonomi, dan masyarakat sipil) dalam memperoleh independensi dan otonomi dari kekuatan politik otoriter lama. Sedangkan ekualisasi diartikan sebagai kemampuan kelompok minoritas secara substansial dalam mengakses sumber daya di berbagai sektor (kesetaraan aksesibilitas). Hasil menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia adalah 5,86 dengan skala nilai 0-10. Skor tersebut merupakan hasil kalkulasi rata-rata liberalisasi 6,03 poin dan ekualisasi 5,72 poin.

Faktor Historis Sebagai Penentu Demokrasi Indonesia

            Demokrasi di Indonesia sendiri sebenarnya telah berkembang semenjak era kebangkitan. Dimana paham-paham mengenai demokrasi dan liberalisme menyebar di kalangan pelajar Indonesia.  Khususnya kalangan pelajar yang menuntut ilmu di negara-negara eropa.

            Pemahaman-pemahaman seputar demokrasi inilah yang dijadikan sebagai salah satu gagasan dalam kemerdekaan Indonesia oleh para pendiri bangsa. Jika melihat lini sejarah, maka demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi empat tahap. Keempat tahap itu adalah demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila order baru, dan demokrasi pascara reformasi.

            Demokrasi parlementer adalah demokrasi yang pertama dianut setelah Indonesia merdeka. Di sistem demokrasi ini, kabinet bertanggung jawab terhadap parlemen. Ciri yang paling dikenal dari masa demokrasi ini adalah kabinet yang jatuh bangun dan silih berganti. Banyak alasan di balik silih bergantinya kabinet mulai dari masalah perbedaan pandangan, kondisi infrastruktur, ditambah kondisi Indonesia yang pada saat itu baru merdeka.

            Kondisi demokrasi parlementer seperti inilah yang menjadi salah satu sebab presiden Soekarno menggagas konsep demokrasi terpimpin. Suatu konsep demokrasi dimana presiden lah yang menjadi pusat segala pengambilan keputusan. Demokrasi terpimpin dimulai semenjak dekrit presiden pada tahun 1959. Banyak orang yang berpendapat bahwa demokrasi di era ini lebih mirip dengan sistem kediktatoran dikarenakan adanya sosok pemimpin yakni Soekarno yang menjadi pengambil keputusan tunggal. Demokrasi era ini berakhir di kala terjadinya pemberontakan G30s/PKI dan dikeluarkannya supersemar.

            Berakhirnya demokrasi terpimpin menandakan dimulainya demokrasi pancasila era orde baru. Demokrasi pada masa kepresidenan Soeharto ini ditandai dengan gerakan untuk kembali kepada nilai-nilai pancasila. Namun pada kenyataannya, demokrasi di era ini juga tidak lepas dari sifat keotoriteran. Hasil pemilu seakan sudah diputuskan dari awal dan berbagai tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin merebak. Faktor-faktor ini ditambah krisis moneter pada tahun 97 yang berlanjut kepada kerusuhan tahun 98 membawa demokrasi orde baru ke penghujungnya.

            Era demokrasi berikutnya adalah demokrasi yang kita jalani sekarang ini, yakni pasca reformasi. Ciri dari era demokrasi sekarang adalah mulai dibukanya ruang untuk pers dan kesempatan untuk berpolitik.

Struktur Masyarakat Indonesia dalam Demokrasi

Heterogenitas suku, agama dan budaya mempengaruhi kompleksitas struktur masyarakat. Keberagaman tersebut membentuk pola-pola hubungan antar individu dan kelompok. Heterogenitas juga dapat memicu tantangan sosial berupa konflik karena adanya kelompok-kelompok sosial dan lapisan-lapisan dalam masyarakat. Dimana terdapat berbagai kepentingan kelompok dan golongan yang harus diakomodasi dengan penegakan hukum yang berkeadilan.

Setiap bangsa memiliki wawasan atau cara pandang tentang hidup bermasyarakat, demikian juga dengan bangsa Indonesia yang berpegang pada pancasila dan semboyan bhineka tunggal ika untuk mewujudkan demokrasi. Dimana pancasila menjadi sarana perekat dan Bhineka Tunggal Ika adalah bentuk komitmen untuk pelaksanaannya (Tjarsono, 2012). Berdemokrasi dapat dimaknai sebagai upaya mencapai kesetaraan untuk andil pada proses-proses birokrasi tanpa melihat latar belakang individu tersebut berasal. Eksistensi pancasila sebagai kiblat demokrasi di Indonesia menjadi landasan bagi lembaga aparatur negara dalam menentukan keputusan dan menetapkan kebijakan.  Demokrasi Pancasila mengandung unsur-unsur kesadaran religius, kebenaran, kecintaan dan budi pekerti luhur yang tercermin pada kekeluargaan dan gotong-royong (Nasution, 2010). Demokrasi pancasila memuat prinsip kebebasan atau persamaan, kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab (Asshiddiqie, 2011).

Indonesia mengalami empat masa periode demokrasi yaitu demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila orde baru, dan demokrasi pancasila era reformasi. Dinamika tersebut menjadi bentuk realitas dari perubahan struktur masyarakat di Indonesia yang mencakup aspek ekonomi, politik dan budaya dari waktu ke waktu. Apabila pada periode sebelumnya Indonesia dihadapkan persoalan fundamental yaitu menyamakan ideologi yang tercermin dari banyaknya gerakan separatisme, saat ini persoalan ketimpangan aksesibilitas dan pemerataan perlu menjadi sorotan. Angka In-Migrasi dan Out-Migrasi Per Provinsi di Indonesia tahun 2010 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa DIY dan Sumatera Barat memiliki persentase Out-migrasi paling besar yaitu 21,9% dan 19%. Marianti (2017) menjelaskan bahwa keduanya dilatarbelakangi oleh faktor yang berbeda, DIY disebabkan oleh faktor tatanan kota non industri sedangkan Sumatera Barat karena budaya. Pada lanskap yang lebih luas, kepadatan sumber daya, kesediaan infrastruktur dan pertumbuhan sektor ekonomi di daerah Jawa lebih masif dan dominan  dibandingkan daerah lain. Hal tersebut turut membentuk struktur masyarakat hierarkis tanpa disadari.

Di tengah situasi pandemi Covid-19 pada tahun 2020 muncul problematika kebijakan terkait  penetapan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law. O’Brien and Bosc (2009) mendefinisikan omnibus law sebagai suatu rancangan undang-undang (bill) hukum yang ditujukan untuk mengamandemen, mencabut, atau menetapkan secara sekaligus beberapa hukum yang memuat lebih dari satu aspek. Selaras dengan visi presiden Joko Widodo pada periode keduanya,  omnibus law menjadi upaya pemerintah dalam menyederhanakan peraturan perundang-undangan guna menciptakan iklim investasi yang mudah dan kondusif untuk terciptanya lapangan pekerjaan, serta memudahkan  perizinan yang berbelit termasuk pemberantasan pungutan liar. Aksi demo buruh dan mahasiswa dipicu oleh isi draft rancangan yang dinilai hanya mengutamakan investasi dan mengenyampingkan serta melemahkan hak para pekerja. Beberapa diantaranya adalah kebijakan eksploitatif terkait durasi waktu bekerja pada pasal 78, outsourcing yang memudahkan perusahaan memutus hubungan kerja pada pasal 89 ayat 2, penghilangan ketentuan upah minimum di kabupaten hingga penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan dan diubah menjadi sanksi administrasi. Kebijakan tersebut kontra produktif dengan dasar-dasar nilai pancasila dan pembukaan UUD 1945 alinea keempat tentang keadilan dan kesejahteraan. Suprapto (2020) mengungkapkan bahwa minimnya transparansi dan partisipasi publik tercermin dari jumlah 138 anggota satgas yang sebagian besar berasal dari kalangan pemerintahan dan pengusaha, dimana seharusnya akademisi, ahli, kelompok masyarakat, orang yang berkompeten, buruh dan pekerja juga terlibat. Hasil putusan Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, pada sidang pembacaan putusan 25  November 2021 menyatakan bahwa proses legislasi (pembuatannya) cacat atau inkonstitusional. Anwar  menambahkan, “Tetapi putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan oleh amar putusan MK inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan berlaku,”.

Integritas lembaga pemerintahan dan pejabat publik merefleksikan bagaimana penyelenggaraan demokrasi di suatu negara. Merujuk pada realitas yang terjadi, Indonesia dengan segala ideologi dan wawasan yang dimiliki seperti pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika masih perlu meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam konteks sikap objektif untuk mewujudkan demokrasi yang berkeadilan.

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, J. (2011). Hukum tata negara & pilar pilar demokrasi.

Habermas, J. (2012). Ruang publik: Sebuah kajian tentang kategori masyarakat borjuis. Terjemahan

Haboddin, M. (2012). Menguatnya politik identitas di ranah lokal. Jurnal Studi Pemerintahan, 3(1). 109–126.

Koho, I. R. (2021). Oligarki dalam demokrasi Indonesia. Lensa, 15(1), 60–73. https://doi.org/10.58872/lensa.v15i1.6

Mariyanti, T. (2017). Pengaruh industrialisasi terhadap migrasi per propinsi di indonesia pada tahun 2010. Media Ekonomi, 18(1). https://doi.org/10.25105/me.v18i1.6

Marpaung, S. P. (2013). Stagnasi Hukum dan Demokrasi di Indonesia dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah.

Nasution, A. B. (2010). Demokrasi konstitusional: pikiran & gagasan. PT Gramedia Pustaka Utama.

O’Brien, A., & Bosc, M. (2009). House of commons procedure and practice.

Suprapto, D. (2020). Kurangnya konsolidasi antara pemerintah dengan masyarakat dalam pembentukan RUU cipta kerja. Pusat Studi Kemanusiaan Dan Pembangunan. https://www.pskp.or.id/2020/07/24/kurangnya-konsolidasi-antara-pemerintah-dengan-masyarakat-dalam-pembentukan-ruu-cipta-kerja/

Syarwi, P. (2022). Polarisasi isu, politik identitas dan keterbelahan publik pada pemilu presiden tahun 2019. Jurnal Communitarian, 4(1). https://doi.org/10.56985/jc.v4i1.228

Tjarsono, I. (2012). Demokrasi pancasila dan bhineka tunggal ika solusi heterogenitas. Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 4(2). https://transnasional.ejournal.unri.ac.id/index.php/JTS/article/view/1211

Tucker, J. A., Guess, A. M., Barberá, P., Vaccari, C., Siegel, A. A., Sanovich, S., Стукал, Д., & Nyhan, B. (2018). Social media, political polarization, and political Disinformation: A review of the Scientific literature. Social Science Research Network. https://doi.org/10.2139/ssrn.3144139

Waldner, D. & Lust, E. (2018). Unwelcome change: Coming to terms with democratic backsliding. Annual Review of Political Science, 21(1), 93–113. https://doi.org/10.1146/annurevpolisci- 050517-114628.

Yudi Santoso. Bantul: Kreasi Wacana.

https://fisip.umsu.ac.id/2023/07/26/demokrasi-di-indonesia-pengertian-dan-sejarahnya/

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwjDvpbKyviCAxVv1jgGHWHeB0cQFnoECA4QAQ&url=https%3A%2F%2Fjournal.uny.ac.id%2Findex.php%2Fmozaik%2Farticle%2FdownloadSuppFile%2F10770%2F1432&usg=AOvVaw2GqtmURMWcLedlL-6e9MDV&opi=89978449

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun