Realitas penyelenggaraan politik lainnya yang turut berkontribusi dalam stagnasi demokrasi di Indonesia adalah korupsi, oligarki politik, dan akuntabilitas yang buruk. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan tren tindak korupsi yang meningkat secara gradual. Tahun 2019 berjumlah 271 kasus, tahun 2020 berjumlah 444 kasus, tahun 2021 berjumlah 533 kasus dan di tahun 2022 berjumlah 579 kasus. Sedangkan menurut Koho (2021) oligarki politik dapat diamati dari realitas perebutan kursi kepemimpinan di Indonesia yang dianggap tidak lagi dijembatani pertengkaran gagasan tetapi digantikan oleh pertengkaran materil. Dimana sokongan biaya yang bersumber dari pihak berkepentingan seperti partai pengusung menjadi salah satu faktor terbentuknya struktur oligarki. Disamping itu akuntabilitas menjadi parameter transparansi pelayanan publik yang menentukan integritas lembaga institusi pemerintahan di mata masyarakat. Akuntabilitas berkorelasi positif dengan ketercapaian kinerja dan negatif dengan tingkat korupsi.
Kecenderungan stagnasi diperkuat oleh data statistik yang diperoleh dari berbagai badan lembaga riset. Berdasarkan laporan Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2022 rata-rata skor indeks demokrasi Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir tidak menunjukkan pergerakan yang signifikan. Posisi Indonesia turun dua peringkat ke urutan 54 dari 167 negara. Kinerja demokrasi Indonesia pada tahun 2022 stagnan pada skor 6,71 poin dengan kategori demokrasi cacat (flawed democracies) seperti di tahun sebelumnya. Angka tersebut merujuk pada perolehan rata-rata dari 60 indikator dari lima kategori aspek penilaian yaitu proses pemilu dan pluralisme 7,92 poin, fungsi dan kinerja pemerintah 7,86 poin, partisipasi politik 7,22 poin, kebebasan sipil 6,18 poin dan budaya politik 4,38 poin. Kategori budaya politik tergolong rendah jika dibandingkan dengan empat kategori lainnya yang sudah memperoleh skor di atas rata-rata global komponen indeks demokrasi. Budaya politik yang dimaksud adalah nilai-nilai norma yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, takhayul, dan mitos. Dimana perkembangannya mengikuti situasi, kondisi dan pendidikan dari masyarakat itu sendiri. Maka dalam hal ini partisipasi masyarakat dan praktik politik menjadi manifestasi perilaku kolektif yang terpengaruh oleh dinamika politik dari waktu ke waktu.
Riset Asian Democracy Index (ADI) yang dilaksanakan Cakra Wikara Indonesia pada Desember 2022 mengukur demokrasi dalam kurun waktu dua tahun, yakni Mei 2020 hingga  September 2022. Dalam periode tersebut proses monopoli kekuasaan tercermin dari pembentukan koalisi besar yang berkonsekuensi pada minimnya proses check and balances di pemerintahan. Selain itu, perumusan kebijakan cenderung mengabaikan partisipasi masyarakat. Laporan tersebut memuat dua aspek variabel yaitu liberalisasi dan ekualisasi. Liberalisasi diartikan sebagai kemampuan sektor yang berbeda (politik, ekonomi, dan masyarakat sipil) dalam memperoleh independensi dan otonomi dari kekuatan politik otoriter lama. Sedangkan ekualisasi diartikan sebagai kemampuan kelompok minoritas secara substansial dalam mengakses sumber daya di berbagai sektor (kesetaraan aksesibilitas). Hasil menunjukkan skor indeks demokrasi Indonesia adalah 5,86 dengan skala nilai 0-10. Skor tersebut merupakan hasil kalkulasi rata-rata liberalisasi 6,03 poin dan ekualisasi 5,72 poin.
Faktor Historis Sebagai Penentu Demokrasi Indonesia
      Demokrasi di Indonesia sendiri sebenarnya telah berkembang semenjak era kebangkitan. Dimana paham-paham mengenai demokrasi dan liberalisme menyebar di kalangan pelajar Indonesia.  Khususnya kalangan pelajar yang menuntut ilmu di negara-negara eropa.
      Pemahaman-pemahaman seputar demokrasi inilah yang dijadikan sebagai salah satu gagasan dalam kemerdekaan Indonesia oleh para pendiri bangsa. Jika melihat lini sejarah, maka demokrasi di Indonesia dapat dibagi menjadi empat tahap. Keempat tahap itu adalah demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila order baru, dan demokrasi pascara reformasi.
      Demokrasi parlementer adalah demokrasi yang pertama dianut setelah Indonesia merdeka. Di sistem demokrasi ini, kabinet bertanggung jawab terhadap parlemen. Ciri yang paling dikenal dari masa demokrasi ini adalah kabinet yang jatuh bangun dan silih berganti. Banyak alasan di balik silih bergantinya kabinet mulai dari masalah perbedaan pandangan, kondisi infrastruktur, ditambah kondisi Indonesia yang pada saat itu baru merdeka.
      Kondisi demokrasi parlementer seperti inilah yang menjadi salah satu sebab presiden Soekarno menggagas konsep demokrasi terpimpin. Suatu konsep demokrasi dimana presiden lah yang menjadi pusat segala pengambilan keputusan. Demokrasi terpimpin dimulai semenjak dekrit presiden pada tahun 1959. Banyak orang yang berpendapat bahwa demokrasi di era ini lebih mirip dengan sistem kediktatoran dikarenakan adanya sosok pemimpin yakni Soekarno yang menjadi pengambil keputusan tunggal. Demokrasi era ini berakhir di kala terjadinya pemberontakan G30s/PKI dan dikeluarkannya supersemar.
      Berakhirnya demokrasi terpimpin menandakan dimulainya demokrasi pancasila era orde baru. Demokrasi pada masa kepresidenan Soeharto ini ditandai dengan gerakan untuk kembali kepada nilai-nilai pancasila. Namun pada kenyataannya, demokrasi di era ini juga tidak lepas dari sifat keotoriteran. Hasil pemilu seakan sudah diputuskan dari awal dan berbagai tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme semakin merebak. Faktor-faktor ini ditambah krisis moneter pada tahun 97 yang berlanjut kepada kerusuhan tahun 98 membawa demokrasi orde baru ke penghujungnya.
      Era demokrasi berikutnya adalah demokrasi yang kita jalani sekarang ini, yakni pasca reformasi. Ciri dari era demokrasi sekarang adalah mulai dibukanya ruang untuk pers dan kesempatan untuk berpolitik.
Struktur Masyarakat Indonesia dalam Demokrasi