Mohon tunggu...
Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan fakultas ushuluddin jurusan akidah dan filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Mengambinghitamkan Setan (Kontemplasi 2)

6 April 2024   20:15 Diperbarui: 6 April 2024   20:17 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://generasisalaf.files.wordpress.com/2013/08/old-man-reading-quran.jpg

"أَم كَيفَ يَرحَلُ إلىَ اللّه وَهُوَ مٌكَبَّلٌ بِشَهوَاتِهِ"

"Bagaimana mungkin engkau dapat fokus untuk berjalan (menuju Tuhan), sedangkan engkau masih terbelenggu oleh perbudakan hawa nafsumu"

Sesi kontemplasi ini akan menjadi bagian yang tidak terlalu Panjang karena pada hakikatnya 3 bagian ini adalah satu kesatuan dan saling terhubung langsung. Satu menjadi penjelas bagi yang lainnya dan begitupun sebaliknya.

Setelah kita selesai dengan memperbaiki cermin hati kita pada bagian sebelumnya, pada bagian ini kita akan mencoba memulai untuk meniti jalan menuju Tuhan. Maka kosa kata yang dipakai oleh Ibnu 'Atha'illah adalah yarhal yaitu berjalan.

Seakan benar-benar kita bersuci ketika ingin melaksanakan shalat, keadaan batin kita yang menginginkan Tuhan pun harus benar-benar suci (akan dijelaskan pada kontemplasi akhir) dan salah satu kekotoran bagi hati yang menghalangi kita untuk dapat berjalan menuju Tuhan adalah syahwat atau hawa nafsu.

Dikatakan ketika nafsu diciptakan dia menjawab dengan penuh keangkuhaan saat Tuhan bertanya "Siapa aku? Dan siapa kamu?" kemudian nafsu menjawab "Aku adalah aku dan kamu adalah kamu" hingga berkali-kali Tuhan siksa dia di berbagai macam jenis neraka, nafsu masih juga congkak dalam menjawab pertanyaan yang sama. Hingga kemudian Tuhan memasukan nafsu ke dalam neraka kelaparan dan setelahnya barulah dia menjawab dan mengatakan "Kau adalah Tuhanku, dan aku adalah hambamu".

Banyak dari kita yang ketika melakukan sebuah kemaksiatan atau dosa kemudian berdalih bahwa itu adalah hasil godaan dan tipu daya setan. Hal yang lebih membingungkan lagi ketika di bulan Ramadhan kita masih juga berdalih ketika berbuat dosa adalah karena tipu daya setan, padahal disebutkan didalam banyak hadits bahwa pada bulan Ramadhan semua setan dibelenggu? Lantas siapa yang menggodanya?

Dikatakan dalam Al-Qur'an bahwa sesungguhnya tipu daya setan itu sangat lemah "inna kayda as-syaithan kana dha'iifa". Sebenarnya tipu daya setan itu hanyalah bagian kecil dari beberapa persen yang berkontribusi dalam perbuatan dosa kita, yang paling berperan adalah syahwat atau nafsu. Kita selalu mengkambinghitamkan setan untuk bersembunyi bahwa sebenarnya perbuatan dosa yang kita perbuat adalah berasal dari diri kita yaitu nafsu.

Maka titik fokus Ibnu Atha'illah adalah bagaimana seseorang yang ingin mulai berjalan kepada Tuhan agar tidak membawa nafsunya dan terbebas dari belenggunya. Bahkan Ibnu 'Ajibah menambahkan jangankan untuk dibawa, untuk condong melirik sedikit saja itu adalah perbuatan yang dilarang.

Dalam salah satu thariqah terkenal yaitu thariqah syadziliyah terdapat salah satu metode unik yang berbeda dengan beberapa thariqah lainnya. Thariqah syadziliyah mempunyai sebuah metode dalam riyadhah nya dimana bagi para pengikutnya dibimbing untuk tidak memotong atau menghilang hawa nafsu, akan tetapi nafsu ini perlu dibina dan dididik serta dibimbing.

Berbeda dengan kebanyakan thariqah lain termasuk salah satunya Ibnu 'Ajibah yang mengatakan dalam penjelasan hikam bagian ini untuk memutuskan hawa nafsu. Dua metode ini tidak ada pertenangan hanya saja pada metode awal yaitu untuk lebih condong mendidik hawa nafsu sangat diperentukan bagi para mereka yang baru ingin mengenal lebih dalam mengenai ilmu mistis islam ini.

Karena jika para mereka yang masih newbe ini ketika diawal perkenalannya dengan tasawuf kemudian langsung diberikan metode untuk memutuskan seluruh nafsunya yang terjadi mungkin mereka akan terkaget-kaget dan langsung lari tanpa ingin kembali lagi. Karena perlu diingat bahwa nafsu ini memang sangat lekat kaitannya dengan hal-hal yang bersifat fana.

Dengan kondisi kita yang sangat terlalu banyak hidup di dunia tanpa jeda dan beristirahat, mungkin akan menjadi suatu yang mengagetkan seketika disaat diperintahkan untuk meninggalkan segala kebutuhan duniawinya.

Tetapi kembali lagi bahwa dalam hal ini, untuk berjalan menuju Tuhan, sangat menjadi sesuatu yang mutlak untuk membuat syahwat atau nafsu ini tidak membelenggu kita, atau mungkin dapat tunduk dalam arti lain. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu 'Ajibah bahwa "ar-rahiil ma'atakbiil la yajtami'an" bahwa perjalanan menuju Tuhan dengan kondisi hati yang terbelenggu nafsu adalah sesuatu yang mustahil.

Maka ketundukan nafsu atau terbebasnya hati dari belenggu syahwat akan membuat diri kita dapat mengontrol agar tidak condong terhadapnya atau bahkan untuk tidak meliriknya sekalipun. Maka kemudian kita akan dapat mulai melanjutkan kembali perjalannya untuk memulai menghadirkan Tuhan atau syuhud didalam diri kita secara batin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun