"مَا نَفَعَ القَلْبَ شَيْءٌ مِثْلُ عُزْلَةٍ يَدْخُلُ بِهَا مَيْدَانَ فِكْرَة"
"Tidak ada sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi hati kecuali uzlah (mengasingkan diri) dengan penuh tafakur (merenung)."
Kita sudah berbicara pada bagian hikam awal mengenai pembagian 2 jenis manusia menurut Ibnu 'Atha'illah. Jika kita gunakan kosa kata yang sudah kita bahas sebelumnya mereka adalah manusia ekstrovert dan introvert.
Khusus dalam beberapa pembahasan sebelumnya kita sebenarnya sedang dibawa oleh Ibnu 'Atha'illah untuk menyelami dunia psikis maupun mistis para manusia introvert. Dimulai dari menjelaskan tentang jenis perbuatan atau amal, mencoba mengerti makna Ikhlas, riyadhah agar mencapai nilai Ikhlas, hingga pada puncaknya adalah bagaimana nanti kita berusaha menuju syuhud atau terbukanya batin kita kepada Tuhan. Dan pada hikam kali ini kita akan membahas fase sebelum menuju puncak kebatinan tersebut.
Dalam dunia mistis tasawuf kata 'uzlah adalah suatu kata yang sudah tidak asing lagi didengar. 'Uzlah jika dialih maknakan secara bahasa berarti mengasingkan diri. Sebagaimana yang kita ketahui dalam madzhab akidah islam terdapat satu aliran yang menyebutkan diri mereka sebagai mu'tazialh. Mu'tazilah berawal dari ketidaksepaham seorang murid bernama Washil bin 'atha terhadap gurunya Hasan Al-Bashri.
Washil baranggapan bahwa pelaku dosa besar dalam islam terambang diantara surga dan neraka, berbeda dengan pandangan sang guru. Maka dari itu Washil memutuskan diri untuk mengasingkan diri dari ajaran sang guru yang akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya madzhab akidah mu'tazilah.
Kembali pada 'uzlah dari sisi ilmu tasawuf, jelas bahwa maknanya disini tidak diambil sesuai dengan kisah Washil sebelumnya. Dalam tasawuf 'uzlah menjadi sebuah fase sebagai batu loncatan bagi mereka yang menginginkan kedamaian hati untuk dapat mengenal lebih dalam dirinya sebagai wasilah menuju Tuhan.
Banyak dari beberapa sarjana-sarjana muslim melahirkan karyanya sebagai buah hasil dari masa pengasingan dirinya. Contohnya seperi kisah Al-Ghazali. Al-Ghazali menjadi salah seorang sarjana muslim yang mempunyai dua fase hidup dalam perjalanan intelektualnya. Fase sebelum periode pengasingan dirinya dan fase di periode setelahnya.
Periode sebelum Al-Ghazali mengasingkan dirinya ditandai dengan beberapa karyanya yang sering menyinggung bahkan mengkritisi para filsuf muslim yang menurut hematnya telah melenceng dari islam.
Sebutlah seperti kitab maqashid al-falasifah dan tahafut al-falasifah yang lahir dimasa sebelum Al-Ghazali ber-'uzlah. Kemudian kita mendapati salah satu magnum opus nya yaitu kitab ihya yang ditulis setelah masa pengasingan dirinya. Sangat kontras dan terdapat banyak perbedaan dari gaya kepenulisan hingga corak intelektual, dan tentu kebijaksanaan yang sangat terlihat jelas didalam ihya ulum ad-din dibanding dengan kitab-kitab yang sudah dia tulis sebelumnya.
Kisah Al-Ghazali menyampaikan sebuah pesan bahwa kondisi dari sebuah watak intelekual dapat berubah seiring dengan berjalannya waktu, terlebih ketika kita memutuskan untuk memilih jalan 'uzlah sebagai salah satu metode berpikir.
Sesuai dengan yang disampaikan dalam hikam ini. Ibnu 'Atha'illah menegaskan bahwa setelah menganjurkan kita untuk membenamkan diri di dalam tanah yang penuh dengan kesunyian atau dalam arti ketidaktenaran. Kemudian beliau melanjutkan bahwa sebaik-baiknya diri kita dalam masa pengasingan tersebut adalah dengan ber-tafakur atau berpikir. Karena terdapat beberapa jenis manusia yang memutuskan ketika menjalani periode ini dengan hanya sebagai pelariannya atau kekecewaannya terhadap dunia sosial tanpa ada makna dibaliknya.
Tidak dapat bisa kita pungkiri, saat ini kita berada didalam kondisi dimana melihat orang-orang yang pamer dengan segala bentuk pencapaiannya adalah hal yang terasa menyakitkan. Maka yang timbul adalah kekecawaan dan perasaan sedih karena merasa sudah gagal ketika melihat orang-orang di umur yang sama bahkan lebih muda memamerkan pencapaiannya.
Menurut hematku hal tersebut adalah suatu keniscayaan karena arus media sosial yang menormalisasi itu. Justru yang perlu kita kontrol adalah diri kita. Bahwa membandingkan pencapaian orang lain dengan diri kita bukanlah suatu yang baik. Jika ingin membandingkan dalam konteks islam adalah diri kita dengan diri kita di hari kemarin. Seperti jika hari ini kita lebih buruk dari kemarin berarti kita dikategorikan sebagai golongan orang-orang yang merugi atau jika tidak maka sebaliknya.
Jika memang kita bisa mengontrol, bagaimana kalau tidak? Maka yang terjadi adalah kekecewaan yang aku singgung sebelumnya, yang terjadi hanya lari dan bersembunyi dari dunia yang menurutnya sangat kejam dan tidak berpihak padanya. Sungguh sangat miris karena keadaan tersebut sangat tidak sehat secara mental dan kejiwaan.
Golongan-golongan mereka yang berada dalam kondisi ini dikategorikan sebagai mereka yang ber-'uzlah secara tidak disengaja, berbeda dengan 'uzlah Al-Ghazali dan para penganut paham tasawuf pada umunya.
Kondisi yang sudah terlanjur menimpa sebagian dari generasi saat ini yang merasa kecewa terhadap hidupnya dan akhirnya memilih mengurung diri dari dunia luar dapat kita sisipi dengan nasihat dari Ibnu 'Atha'illah pada hikam ini agar pengasingannya lebih bermanfaat dan sehat.
Bukankah hal yang cukup baik juga jika kita beristirahat sejenak dari hiruk pikuk dunia luar yang menyebalkan karena penuh dengan kompetisi hidup? Dan akan lebih baik lagi jika di masa pengasingan tersebut diisi dengan ber-tafakur.
Dalam kegiatan tersebut contohnya bisa diisi dengan bermeditasi agar kita lebih rileks dan santai dalam menjalani hidup. Untuk membuat hati lebih tenang bahwa tidak apa-apa untuk tidak baik-baik saja, dan untuk tidak apa-apa jika kita merasa gagal dan tertinggal. Latihan tersebut yang dapat menjadi salah satu sarana kegiatan pada periode 'uzlah. Berkompetisi dalam mengejar dunia tidak akan mendapatkan ujung, jika mengutip salah satu orang bijak berkata wasilah bila al-ghayah. Semakin kita kejar dunia maka semakin berlarilah dia.
Ibnu 'Ajibah dalam menjelaskan bagian hikam ini beliau menyebutkan ada 10 manfaat ketika kita melakukan pengasingan ini. Salah satu yang ingin aku soroti adalah pada bagian manfaat yang ke-10. Beliau mengatakan
"تفكر ساعة خير من عبادة سبعين سنة"
"Berpikir atau bermeditasi sejenak lebih baik dari pada beribadah 70 tahun lamanya"
Menarik untuk aku soroti karena Ibnu 'Ajibah mengkomparasikan meditasi dalam 'uzlah dengan ritual ibadah. Bentuk perbandingan yang mungkin akan terlihat mengganjal untuk beberapa kalangan ketika mendengarnya. Mengapa bisa demikian? mari kita sedikit ulas di bagian sebelum penutup ini.
Banyak dari para ulama muslim ketika menjelaskan ibarah dengan perkataan bahwa yang dimaksudkan lebih utama daripada shalat 70 tahun adalah shalat yang kategorinya sebagai shalat sunnah, bukan shala wajib. Tapi dengan tanpa mengurangi penghormatan ta'dzhim kepada mereka, aku pribadi berpendapat mengenai pernyataan ini untuk lebih condong kepada bagian yang lebih ekstrim yaitu bahwa maksud shalat disana adalah shalat secara umum, baik wajib maupun sunnah. Mengapa demikian?
Dalam banyak literatur islam disebutkan bahwa hakikat shalat sebagai ritual ibadah selain menjadi kewajiban bagi muslim adalah sebagai pembelajaran agar kita bisa berbenah dan menjadi lebih baik "as-shalatu tanha 'an fahsya wa al-munkar". Tetapi pada prakteknya banyak muslim yang tidak dapat mengambil pembelajaran dari shalatnya. Seperti masih banyaknya praktek-praktek yang bertentangan dengan agama yang terjadi pada kehidupan dirinya sehari-hari. Hanya menjadikan shalat sebagai penggugur kewajiban saja bukan pembelajaran.
Berbeda dengan ber-'uzlah. Para pemikir muslim berpendapat bahwa mengasingkan diri mengandung banyak pembelajaran dibanding ibadah yang belum tentu darinya muslim bisa mendapatkan pembelajaran. Pada hakikatnya semua ini hanyalah mengenai sebuah jaminan dimana setiap muslim yang menjalani 'uzlah dengan bermeditasi dan ber-tafakur akan lebih besar berpeluang mendapatkan pembelajaran dibanding menjalani ritual ibadah yang hanya sebagai penggugur kewajiban.
Aku ingin lebih menyederhanakan lagi dengan sebuah kisah yang ditulis oleh Gus Ulil dalam pengantar buku "Menjadi Manusia Rohani". Beliau mengutip sebuah kisah salah satu ulama nusantara yang bernama Mbah Idris Brebes.
Idris muda ketika awal pertemuannya dengan kitab hikam dia menguncikan dirinya di kamar santri selama satu minggu lamanya. Tentu saja dia lupa dengan shalat. Dan ketika mencoba di dobrak oleh teman-teman santrinya, Idris muda ditemukan dalam keadaan masih tenggelam dengan teks-teks kitab hikam, sehingga ketika coba untuk disadarkan oleh temannya kemudian dia pingsan.
Kondisi tersebut dikenal sebagai jadzab dalam terminologi tasawuf. Layaknya seseorang yang tidak berakal, disebabkan dirinya tertetarik oleh magnet hikam, dalam literatur fiqh kondisi tersebut tidak dijatuhi hukum taklif. Maka shalat tidak diwajibkan kepada yang tidak mukallaf.
Pada penutup bagian ini setidaknya nasihat itulah yang ingin disampaikan oleh Ibnu 'Atha'illah. Sedikit menambahkan kembali bahwa keadaan pengasingan atau menyepi ini dapat kita isi dengan meditasi atau tafakur ketika selain fisik kita yang terasing, hati pun ikut benar-benar sunyi dari keramaian.
Karena terdapat keadaan orang-orang yang menyepi hanya dalam konteks fisiknya saja tetapi hatinya tetap ramai dan diisi oleh hal-hal fana, syahwat, dan kelalaian lainnya yang menyibukannya sebagaimana dia hidup normal di tengah-tengah keramaian manusia. Lebih dalam lagi akan kita ulas di bagian hikam selanjutnya yang menjadi bagian akhir dari serial hikam Ramadhan ini dan akan terbagi menjadi 3 kontemplasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H