Mohon tunggu...
Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Mohon Tunggu... Penulis - Lulusan fakultas ushuluddin jurusan akidah dan filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Sifat Skeptis yang Merusak Kejiwaan

23 Maret 2024   20:15 Diperbarui: 23 Maret 2024   20:37 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://aktual.com/wp-content/uploads/2021/07/ulama-1.jpg

"لاَ يُشَكِكَنَّكَ فِي الوَعدِ عَدَمُ وُقُوعِ المَوعُودِ وَإن تَعَيَّنَ زَمَنُهُ، لِئَلاَ يَكُونَ ذَلِكَ قَدْحاً فِي بَصِيرتِكَ، وَإخمَادًا لِنُورِ سَرِيرَتِكَ"

"Jangan karena atas janji Tuhan yang tak terwujud maka membuatmu skeptis akan janji-Nya, meski janji tersebut diberikan di waktu yang jelas. Hal itu agar tak merusak kejernihan batinmu dan memadamkan cahaya rohmu."

Sifat skeptis terbagi menjadi dua sebagaimana terbaginya dua sekte kelompok ini secara garis besar dalam dunia filsafat. Skeptis terpuji dan skeptis tercela.

Skeptis bisa menjadi sesuatu yang terpuji jika kita gunakan dalam kondisi yang sedang dalam masa pencarian, masa pencarian ini pasti memiliki bagian akhir yang dimana akan meneguhkan suatu keyakinan seseorang, seperti apa yang dilakukan oleh Al-Ghazali. Sebaliknya, justru akan menjadi tercela jika kita gunakan terhadap sesuatu yang sudah pasti dan mutlak akan kebenarannya.

Sebagai seorang muslim yang bertuhan pastilah kita meyakini bahwa janji Tuhan adalah sesuatu yang pasti. Seperti terkabulnya doa, terjaminnya kita akan perkara-perkara duniawi selama kita berusaha dan lain-lain. Skeptis akan hal-hal yang sudah disebutkan hanya akan menyebabkan kerusakan serta kotornya keadaan jiwa.

Bagian ini adalah lanjutan dari hikam sebelumnya yang mana kita sudah banyak diberikan motivasi untuk selalu yakin bahwa doa dan usaha kita akan Tuhan kabulkan dengan cara-Nya. Janji Tuhan adalah sesuatu yang pasti. Suatu nasihat agar kita tidak putus asa terhadap segala doa dan usaha walau belum kunjung terwujud sedangkan Tuhan sudah menjanjikan atas terkabulnya doa dan usaha tersebut.

Keputusasaan dapat menyebabkan tercemarnya lingkungan sekitar kita oleh polusi kejiwaan yang tidak sehat. Tidak ada kedamaian serta ketentraman dalam menikmati kehidupan jika perjalanan dari ambisi kita berakhir demikian. Sedangkan agama mengajarkan kita untuk dapat hidup dalam kedamaian dan kebersihan jiwa sebagaimana yang dicontohkan oleh teladan kita yaitu Rasulullah shallahualaihi wassalam dan nabi-nabi terdahulu.

Nabi Musa dan Nabi Harun butuh waktu 40 tahun (dibanyak pendapat) untuk dikabulkannya sebuah doa atas usaha yang selalu mereka berdua panjatkan kepada Tuhan agar binasanya harta benta para pengikut Fir'aun. Kemudian doa Nabi Ibrahim yang membutuhkan waktu lama untuk dikabulkannya ketika menginginkan agar tanah arab menjadi tanah yang subur dan makmur. Begitulah doa-doa para nabi dan rasul, walau sudah jelas waktu pengabulannya akan tetapi masih membutuhkan kesabaran untuk menunggu kapan terjadinya.

Maka bersabarlah dan berhusnudzan terhadap keputusan Tuhan. Ibnu Ajibah memberikan nasihat dalam menjelaskan hikam ini dengan mengatakan "lihatlah dengan makna yang lebih luas, dan carilah jalan keluar terbaik atas kejadian yang tidak kau inginkan" yang kemudian prinsip inilah yang selalu dinasihatkan kepada murid-murid (salik) atas keputusan terbaik yang sudah ditentukan oleh seorang guru (mursyid).

Sebuah solusi ketika kenyataan yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Maka lihatlah dari perspektif lain, dari kejadian tersebut alihkanlah terhadap makna yang lebih luas maka itu adalah sebaik-baiknya jalan keluar.

Rasa kecewa adalah perasaan yang manusiawi, tetapi jika tidak dialihkan kepada hal-hal baik seperti nasihat Ibnu Ajibah sebelumnya maka akan terawat dan berubah menjadi bentuk protes dan tidak terimanya kita terhadap keputusan Tuhan, yang bahkan bisa berujung pada sifat ragu dan suudzan kepada Tuhan dan menyebabkan jiwa kita menjadi sangat kotor.

Agama berperan untuk mengontrol jiwa-jiwa agar senantiasa dalam kedamaian dan kebersihan. Selayaknya wudhu dalam ilmu fiqh maka dalam ilmu tasawuf terdapat wudhu secara batin yaitu ritual penyucian dimana dengannya kita dapat membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela.

Jika wudhu secara lahir menjadi syarat untuk bisa sah nya seseorang dalam shalat begitupun wudhu secara batin menjadi syarat untuk bisa sah nya seseorang dalam mewujudkan keikhlasan dalam setiap amal perbuatan. (Dijelaskan lebih dalam pada hikam selanjutnya)

Kemudian dari shalat ini menjadikan diri kita terhindar dari perbuatan keji dan munkar, maka dari rasa ikhlaslah akan menjadikan diri kita terhindar dari perbuatan tercela yaitu ragu dan suudzan!

Sebenarnya banyak sekali perbuatan tercela, tetapi pada sifat ragu dan suudzan inilah yang banyak merusak kejiwaan manusia yang pada puncaknya sering menjadikan manusia berada pada posisi sebagai kemungkinan terburuk menjadi seorang hamba yaitu kufur secara nikmat!

Kufur nikmat ini jika meminjam istilah Ibnu Athaillah adalah ikhmad annur sariratik dimana cahaya mata hati kita sudah padam. Berada satu level lebih atas dengan tertutupnya mata hati. Jika masih tertutup boleh jadi akan menjadi terbuka oleh cahaya mata hati yang masih menyala. Tetapi jika cahaya tersebut sudah padam maka hanya Tuhan lah yang mampu memberikan cahaya-Nya agar cahaya yang sudah mati tersebut kembali menyala.

Secara tidak sadar kita banyak termasuk kepada kategori yang hampir padam cahaya hatinya. Aku akan coba membaginya kepada contoh kecil dan contoh besar.

Contoh kecilnya seperti ragu-ragunya kita akan rezeki yang pada faktanya sudah Tuhan jamin selama kita berusaha. Seperti sebuah pernyataan akan keraguan mengenai rezeki makan di hari besok. Kemudian dari pernyataan tersebut naiklah ke level lebih tinggi dengan berkata "besok sepertinya saya tidak akan bisa makan". Itulah sifat suudzan yang menyebabkan padamnya cahaya mata hati!

Kemudian contoh besarnya seperti dalam satu kasus yang banyak sekali menjadikan kita sebagai umat muslim kufur nikmat, yaitu skeptis atau ragu akan datangnya hari kemenangan kita atas dunia ini. Karena pada faktanya seluruh umat muslim di dunia ini terbelakang dan bahkan terpinggirkan dikalahkan oleh dominasi budaya dan pengetahuan dari barat.

Banyak sekali para pemikir modern muslim yang banyak menyalahkan kemunduran dan keterbelakangan islam atas barat terjadi karena ilmu tasawuf, yaitu ilmu yang sedang kita pelajari saat ini lewat aforisma indah Ibnu Athaillah. Lantas, apakah benar?

Jika kita merujuk pada setiap hikam yang dibahas justru Ibnu Athaillah selalu memberikan solusi-solusi indah atas permasalahan kejiwaan kita yang sebelumnya sering hancur karena dihantam oleh realita keadaan yang selalu dipandang tidak adil. Yang padahal ketidakadilan ini hanyalah ilusi untuk menutupi kelemahan manusia terhadap penerimaannya atas sunnatullah.

Pada faktanya jika kita membaca hikam Ibnu Athaillah ini secara universal dan objektif akan menjadi sebuah pandangan dan pedoman hidup yang sangat realistis, terlebih jika kita sandingkan dengan konteks-konteks sosial kekinian.

Mencoba mendialogkan antara teks keagamaan yang bahkan bersifat mistis dengan realitas adalah suatu kemajuan agama dalam bertransformatif. Jaman selalu berkembang dan teks keagamaan kita yang bersifat ijtihadi mesti selalu dapat beradaptasi dengan kemajuan daya intelektualitas, sains hingga pandangan serta pedoman baru dalam berkehidupan.

Sekali lagi, bahwa janji Tuhan adalah suatu kepastian. Pasti akan terkabul dan terwujudnya sebuah masa dimana islam akan memimpin kembali peradaban dunia, tetapi boleh jadi justru ketertinggalnya islam karena masih kurang terbukanya kita terhadap pandangan serta pedoman hidup baru, masih kurang aware nya kita terhadap permasalahan serta isu sosial yang kita kira bersifat jauh dari agama tetapi justru bisa kita dialogkan atau bahkan dicarikan sebuah solusi oleh agama itu sendiri.

Seperti tasawuf yang sangat sering dikatakan jauh dari realitas, tidak bisa menjawab persoalan-persoalan sosial sehingga menjadi biang keladi kemunduran islam adalah tuduhan yang tidak mendasar. Justru boleh jadi dengan pandangan seperti itu yang membuat kita semakin memundurkan janji Tuhan, alih-alih untuk mempercepatnya.

Tasawuf mengajarkan kita untuk ikhlas tapi bukan untuk rela terhadap kedzaliman, untuk qana'ah tetapi bukan untuk menjadi seorang yang miskin, untuk mengejar akhirat tetapi bukan untuk meninggalkan keduniawian, dan untuk menciptakan kemakmuran dan kedamaian secara kejiwaan bukan untuk menutup mata akan isu-isu mengenai kesehatan mental.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun