Mohon tunggu...
Steve Elu
Steve Elu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

STF Driyarkara_2007; Wartawan Majalah HIDUP. Bergiat menulis puisi dan cerpen. Buku puisi pertama: sajak terakhir (Juni 2014)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ritmik-Mekar Sapardi Djoko Damono

30 Juli 2015   16:46 Diperbarui: 12 Agustus 2015   03:38 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai Novel

Ketika “Hujan Bulan Juni” tersaji sebagai novel, SDD menghadirkan Sarwono dan Pingkan sebagai tokoh utama. Sementara tempat, SDD memilih Jakarta (Universtias Indonesia), Yogyakarta (Universitas Gadjah Mada), Makassar, dan Jepang. Tempat ini pun tidak terlepas dari dunia kampus. Rasanya, SDD yang berprofesi sebagai dosen di masa karya memberi kontribusi besar baik bagi pemilihan tempat maupun latar belakang novel ini.

Tapi di sini saya tidak ingin mengisahkan lagi apa yang diceritakan dalam HBJ. Saya hanya ingin mengambil sari-sari yang bisa saya tangkap dari novel HBJ. Bahwa Sarwono dan Pingkan yang berprofesi sebagai dosen terperangkap dalam permainan hati yang disebut jatuh cinta.

Orang sering mengatakan bahwa intensitas pertemuan dapat menelurkan benih cinta. Itulah yang bisa dilabelkan kepada Sarwono dan Pingkan. Dua-duanya yang bekerja sebagai asisten dosen di Universitas Indonesia memungkinkan mereka untuk berjumpa tiap hari. Dari situlah cikal bakal lahirnya rasa kagum dan akhirnya bermekar jadi cinta yang kait-mengait, tarik-menarik, dan cetar-menggetarkan.

Lantas,dimanakah konteks ketabahan HBJ, mengingat novel ini adalah perpanjangan dari puisi HBJ? Hemat saya, ketabahan itu muncul pada perbedaan asal Sarwono (Solo) dan Pingkan (Menado), yang kemudian berimbas ke kultur dan pola pikir. Agama yang dianut kedua tokoh; Sarwono (Islam) dan Pingkan (Katolik), juga ikut berkontribusi. Selain itu, ‘gangguan’ dari pihak ketiga yakni seorang dosen asal Jepang, tante dan keluarga besar Pingkan yang menginginkan Pingkan menikah dengan calon yang direkomendasikan mereka, flek di paru-paru Sarwono yang membuatnya sering batuk, serta keberangkatan Pingkan ke Jepang untuk melanjutkan studi adalah pernak-pernik lain yang turut menguji seberapa tabah cinta Sarwono dan Pingkan.

Ketika merangkaki halaman-halaman novel ini, pertanyaan besar saya adalah mengapa SDD yang mengambil sebagain besar latar belakang novel Indonesia tiba-tiba memasukkan Jepang sebagai sisi lain dalam pengujian ‘tak ada yang lebih tabah’ itu?

Saya menduga, SDD memilih mekarnya bunga sakura di Jepang, yang biasa diagung-agungkan hampir seantero masyarakat dunia, sebagai analagi mekar sekaligus tabahnya cinta Sarwono-Pingkan. Dan, bunga sakura memang mekar di sekitar awal bulan semi. Di elaborasi bagian puisi sebelumnya, saya sudah menyebutkan bahwa musim semi di negara-negara yang punya siklus empat musim dimulai antara akhir Mei sampai pertengahan Juni. Dalam rentang waktu itu masih memungkinkan turunnya hujan dan juga bunga dan pohon, salah satunya bunga sakura, mulai bermekaran.

Hal ini kemudian dipertegas ketika Pingkan benar-benar ada di Jepang. Ditemani seorang rekannya, Kyoto, Pingkin menghabiskan hari-harinya dengan menikmati awal musim semi, permulaan mekarnya bunga sakura. Tak henti-henti dalam whatsapp (WA), Pingkan mengirimkan foto selfi dengan bunga sakura, atau mengajak Sarwono untuk menyusulnya ke Jepang.

Tapi kemudian SDD berbelot dari eufornia mekarnya bunga sakura itu dengan memulangkan Pingkan ke Indonesia. Dan ketika ia tiba di Bandara Soekarno-Hatta barulah ia tahu bahwa Sarwono yang tidak membalas WA-nya sejak satu minggu terakhir sudah sekarat di rumah sakit di Solo. Pingkan, yang semula bertugas menjadi pemandu mahasiswa Jepang yang akan studi banding di Indonesia harus lekas-lekas mengejar kubang cintanya yang sudah sekarat itu.

Di bagian akhir novel, ini juga yang membuat saya ‘memaki-maki’ SDD usai membaca novel ini, Pingkan tidak berhasil menemui Sarwono kecuali ketiga sajak Sarwono yang pernah dimuat di Koran. SDD seolah membuat pembaca merana lantaran tidak tahu apakah Pingkan sempat bertemu Sarwono atau malah meninggal sebelum Pingkan tiba. Dari ibu Sarwono hanya diketahui bahwa Sarwono menitipkan koran (yang berisi tiga puisi Sarwono) untuk Pingkan.

Ketiga puisi itu saya kutip secara lengkap di sini karena bagi saya ia adalah bahasa paling sunyi dari kebatahan yang mau disampaikan SDD lewat puisi HBJ dan cinta Sarwono-Pingkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun